Pajak Orang Kaya Naik ala Prabowo: Ambisi Keadilan atau Mimpi Siang Bolong?
Info Terkini | 2025-05-08 22:36:41
Pajak orang kaya naik? Bagi yang gajinya pas-pasan, kabar ini mungkin terdengar seperti lagu dangdut di tengah kemacetan – bikin semangat sesaat. Tapi di balik gebrakan Prabowo ini, ada pertarungan ideologi yang serius: haruskah yang kaya 'dihukum' karena sukses, atau justru ini cara paling adil untuk menyeimbangkan ekonomi? Sebelum kita serukan 'hore' atau gebrak meja protes, mari bedah dulu: apa benar kebijakan ini bukan sekadar ilusi di negeri yang data wajib pajaknya masih semrawut?
Orang Kaya Dikejar, APBN Diselamatkan?
Prabowo baru saja mengguncang jagat media dengan wacananya: pajak orang kaya naik! Ide ini muncul di tengah fakta bahwa 1% orang Indonesia menguasai 47% kekayaan nasional. Rencananya, kelompok High Wealth Individual (HWI) atau orang super kaya akan dikenakan tarif pajak progresif lebih tinggi, bahkan mungkin ada pajak kekayaan (wealth tax) untuk aset mewah seperti properti atau jet pribadi.
Tujuannya mulia: menutup defisit APBN yang diprediksi mencapai Rp600 triliun di 2025 sekaligus membiayai program sosial seperti makan siang gratis dan BPJS untuk rakyat miskin. Tapi, benarkah orang kaya bakal "loyo" bayar pajak? Data mengejutkan: kontribusi pajak orang kaya saat ini cuma 0,7% dari total penerimaan pajak. Artinya, banyak harta yang masih "kabur" dari jerat pajak.
Core Tax vs. Kantong Bolong
Agar kebijakan ini tak sekadar wacana, pemerintah akan menggebrak dengan sistem Core Tax mulai 1 Januari 2025. Sistem ini dijanjikan mempermudah pelaporan pajak dan memangkas celah penghindaran pajak. Edukasi sudah diberikan ke 52.964 wajib pajak "kakap", tapi apakah cukup?Masalahnya, orang super kaya punya segudang trik: dari alihkan aset ke luar negeri, mainkan laporan keuangan, sampai manfaatkan loophole aturan. Contohnya, di Indonesia, tarif pajak tertinggi untuk penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun hanya 35%, lebih rendah dari Finlandia (56,95%) atau Denmark (55,9%). Kalau tarif dinaikkan, mereka bisa kabur ke negara pajak rendah—seperti yang terjadi di Prancis saat wealth tax diterapkan.
Duit Pajak Buat Siapa? Jangan Sampai Jadi Bansos 2.0
Pertanyaan terbesar: bisakah rakyat percaya uang pajak tak lagi dikorupsi? Publik masih trauma dengan skandal korupsi pajak Rp300 triliun atau anggaran fiktif Kementerian Kelautan. Prabowo perlu buktikan bahwa reformasi pajak ini bukan sekadar "pindah kantong", tapi benar-benar untuk rakyat.bisakah rakyat percaya uang pajak tak lagi dikorup
Bayangkan jika Rp81,6 triliun dari pajak 50 orang terkaya bisa membangun 339 ribu rumah murah atau biayai program makan siang gratis 15 juta orang. Tapi semua itu butuh transparansi ekstra. Tanpa audit independen dan partisipasi publik, uang pajak bisa kembali "nyangkut" di proyek mercusuar atau kantong pejabat.
Jangan Cuma Gebuk Orang Kaya, Tapi Lupakan Investasi
Di balik ambisi ini, ada risiko besar: investor kabur. Prabowo sendiri mengingatkan, "Kalau investor tidak datang, tidak ada pabrik, kalian tidak bekerja". Kebijakan pajak progresif harus diimbangi dengan insentif untuk UMKM dan kemudahan berinvestasi.
Contohnya, alih-alih hanya menaikkan PPh, pemerintah bisa terapkan pajak mewah (seperti yacht atau mobil sport) atau naikkan cukai rokok—kebijakan yang sekaligus mendukung kesehatan masyarakat. Ini lebih adil ketimbang menaikkan PPN yang justru membebani rakyat kecil.
Penutup:
Reformasi pajak Prabowo ibarat resep dokter: bisa menyembuhkan, tapi bisa juga jadi racun jika takarannya salah. Di satu sisi, ini peluang emas memperbaiki ketimpangan. Di sisi lain, risiko capital flight dan resistensi elit tak boleh diabaikan. Kuncinya ada di tiga hal: transparansi, penegakan hukum pajak, dan kebijakan pendukung untuk menjaga iklim investasi.
Kalau pemerintah serius, mungkin suatu hari kita bisa seperti Norwegia: pajak tinggi, tapi rakyat percaya uangnya dikelola untuk kesejahteraan bersama. Tapi kalau gagal? Ya, cerita lama berulang: orang kaya makin licin, rakyat kecil makin muak.
Ajakan Partisipasi:
Setuju pajak orang kaya harus lebih tinggi, atau takut ekonomi jadi lesu? Share pendapatmu di kolom komentar! ????
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
