Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Mazhab Ciputat dan Politik Identitas: Menerobos Sekat, Menolak Polarisasi

Agama | 2025-05-08 17:49:24

Politik identitas bukanlah hal baru. Sejak republik ini berdiri, identitas — baik suku, agama, ras, maupun kelompok ideologis — telah menjadi medan tarik-menarik kuasa. Namun hari ini, politik identitas menjelma jadi instrumen polarisasi yang paling efektif. Ia bekerja bukan hanya di bilik suara, tetapi di ruang publik, ruang digital, bahkan ruang keluarga. Di sinilah Mazhab Ciputat mengambil posisi kritis: ia tak menafikan identitas, tapi menolak fetisisme identitas sebagai alat eksklusivitas dan pengabaian akal sehat.

Mazhab Ciputat lahir dari semangat keberagaman: mahasiswanya datang dari berbagai daerah, dosennya dari beragam latar belakang pemikiran, dan diskusinya seringkali penuh perdebatan. Tapi yang menyatukan bukan kesamaan identitas, melainkan kegigihan dalam menautkan iman dengan akal, tradisi dengan perubahan, lokalitas dengan universalisme. Identitas dilihat sebagai titik berangkat, bukan titik beku. Sebagai pintu dialog, bukan tembok pemisah.

Ketika politik hari ini sibuk mengkapitalisasi perbedaan demi elektabilitas, Mazhab Ciputat justru mendekonstruksi nalar eksklusif itu. Ia mengingatkan: yang perlu dilawan bukan identitas orang lain, tapi kuasa yang memanipulasi identitas demi mengukuhkan dominasi. Maka musuh utama bukan ‘yang berbeda’, melainkan kebodohan dan kesombongan yang membungkus diri dengan simbol-simbol kesalehan atau kesukuan.

Politik identitas, dalam banyak kasus, telah melahirkan dua kutub ekstrem: fanatisme dan apatisme. Di satu sisi, kelompok-kelompok merasa identitasnya terancam lalu merespons dengan eksklusivisme. Di sisi lain, sebagian mencibir pembicaraan identitas dan memilih menjauh dari politik sama sekali. Mazhab Ciputat menawarkan jalan ketiga: memahami politik identitas sebagai medan kritik. Membedah relasi kuasa di baliknya. Merawat identitas tanpa jatuh pada chauvinisme. Mengkritik negara tanpa harus menihilkan peran agama. Menghadirkan Islam sebagai kekuatan etis, bukan sekadar identitas simbolik.

Dalam pusaran politik identitas yang membutakan nalar dan membelah masyarakat, Mazhab Ciputat memanggil kita untuk kembali ke akar: berpikir jernih, berdialog dengan empati, dan menolak dikotomi palsu antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Ia mengajak kita untuk tidak menjadi ‘korban’, apalagi ‘alat’ dari permainan elite yang menjadikan perbedaan sebagai komoditas kekuasaan.

Karena bagi Mazhab Ciputat, perbedaan bukan ancaman, melainkan peluang untuk saling menguatkan. Dan politik, jika tak diwarnai oleh nalar, hanya akan jadi teater ketakutan yang tak kunjung usai. (srlk)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image