Keadilan Gaji Dosen Swasta dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Agama | 2025-05-08 16:38:14Keadilan Gaji Dosen Swasta dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Oleh: Dr. Miftakhul Huda, S.E.I., S.H., M.Sy.
Dosen Tetap dengan Keahlian Hukum Ekonomi Syariah, IAI Faqih Asy’ari Kediri, dan Dewan Pakar LRDI- Lembaga Riset dan Inovasi Yayasan As-Syaeroji Kota Banjar, Jawa Barat.
Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, dosen merupakan pilar intelektual yang berperan besar dalam mencetak generasi unggul. Namun ironisnya, realitas gaji dosen swasta seringkali jauh dari kata layak, dan hal ini menjadi persoalan serius yang perlu ditinjau secara kritis, tidak hanya dari aspek ekonomi dan kebijakan publik, tetapi juga dari perspektif Hukum Ekonomi Syariah (Ahyani dkk. 2024).
Dalam Islam, prinsip keadilan (‘adl) dan keseimbangan (‘tawazun) menjadi fondasi utama dalam transaksi dan hubungan kerja. Al-Qur’an dalam Surah Al-Muthaffifin ayat 1-3 mengecam keras praktik pengurangan hak dalam transaksi, termasuk dalam hubungan kerja. Maka, ketika seorang dosen bekerja keras mendidik, meneliti, dan membina mahasiswa, sudah semestinya ia mendapatkan imbalan yang setara dan adil (Huda, Sumbulah, dan Nasrulloh 2024; Ihwanudin dkk. 2025).
Sayangnya, kenyataan yang terjadi di lapangan cukup memprihatinkan. Banyak dosen swasta yang menerima gaji di bawah Rp 2 juta per bulan, tanpa tunjangan profesi atau tunjangan kinerja. Di beberapa perguruan tinggi, sistem pembayaran berbasis jumlah SKS membuat pendapatan dosen menjadi tidak stabil dan bergantung pada kebijakan internal kampus yang sangat bervariasi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip ujrah mitsl dalam fikih muamalah, yaitu kewajiban memberikan upah yang layak dan setara dengan beban kerja yang dilakukan.
Lebih lanjut, dalam Hukum Ekonomi Syariah, relasi antara pemberi kerja dan pekerja harus dilandasi dengan prinsip ridha bi ridha (saling meridhai) (Ahyani dkk. 2025; Muharir, Abduloh, dan Ahyani 2025). Namun, apakah mungkin terjadi kerelaan sejati jika dosen harus mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan dasar? Kerelaan yang muncul dari keterpaksaan karena kebutuhan hidup tidak bisa dikategorikan sebagai ridha yang sah dalam syariat.
Dalam konteks maqashid syariah, ketidaklayakan gaji juga bertentangan dengan tujuan pelestarian jiwa (hifz an-nafs) dan akal (hifz al-‘aql) (Solehudin dan Ahyani 2024). Bagaimana seorang dosen bisa mengembangkan intelektualitas dan memberikan pendidikan terbaik jika ia sendiri hidup dalam tekanan ekonomi? Hal ini bukan hanya merugikan dosen secara individu, tetapi juga mengancam kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan.
Meski demikian, kita tidak menutup mata bahwa ada juga perguruan tinggi swasta yang mulai melakukan pembenahan, memberikan gaji yang lebih layak dan menyediakan tunjangan tambahan. Bahkan sebagian dosen memiliki penghasilan tambahan dari bimbingan atau penelitian. Namun, pendekatan tambal sulam seperti ini belum cukup. Diperlukan regulasi dan mekanisme nasional yang menjamin standar minimum gaji dan kesejahteraan dosen swasta.
Sebagai solusi, Hukum Ekonomi Syariah mendorong adanya hisbah atau kontrol sosial dan institusional terhadap praktik-praktik ketenagakerjaan yang tidak adil (Evi Dwi Hastri, Miftakhul Huda, dan Elfitri Yuza 2025). Pemerintah, asosiasi perguruan tinggi, dan lembaga keagamaan perlu duduk bersama menyusun sistem upah yang berbasis keadilan distributif dan tanggung jawab sosial. Gaji dosen tidak boleh hanya dilihat sebagai biaya operasional, melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi peradaban bangsa.
Sudah saatnya dunia pendidikan tinggi swasta di Indonesia berbenah. Menyejahterakan dosen bukan hanya amanah konstitusi, tetapi juga perintah agama. Dalam semangat rahmatan lil ‘alamin, mari kita wujudkan sistem pengupahan dosen yang lebih adil, bermartabat, dan sesuai nilai-nilai syariah.
---
Sumber Rujukan
Ahyani, Hisam, Naelul Azmi, Sérgio António Neves Lousada, Miftakhul Huda, dan Agus Yosep Abduloh. 2025. “Legal Protection and Welfare for Private Lecturers: Addressing Sub-Minimum Wage Challenges in West Java.” Jurnal Media Hukum 32 (1): 21–39. doi:10.18196/jmh.v%vi%i.23436.
Ahyani, Hisam, Arifuddin Muda Harahap, Miftakhul Huda, Naeli Mutmainah, Naelul Azmi, dan Imron Hamzah. 2024. “Social Justice in the Welfare of Private Lecturers: A Legal Review of Salaries, Certification, and BPJS Ketenagakerjaan in Indonesia.” Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan 12 (3). doi:10.29303/ius.v12i3.1501.
Evi Dwi Hastri, Miftakhul Huda, dan Elfitri Yuza. 2025. Hukum Internasional Era Society 5.0. Sumedang: CV. Mega Press Nusantara. https://megapress.co.id/product/hukum-internasional-era-society-5-0/.
Huda, Miftakhul, Umi Sumbulah, dan Nasrulloh. 2024. “Normative Justice and Implementation of Sharia Economic Law Disputes: Questioning Law Certainty and Justice.” Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Syariah 9 (1). doi:https://doi.org/10.22373/petita.v9i1.279.
Ihwanudin, Nandang, Sidi Ahyar Wiraguna, Miftakhul Huda, dan Hisam Ahyani. 2025. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: CV. Widina Media Utama.
Muharir, Agus Yosep Abduloh, dan Hisam Ahyani. 2025. Ilmu Al-Quran & Tafsir Pendekatan Maqashid. Bandung: CV. Widina Media Utama.
Solehudin, Ending, dan Hisam Ahyani. 2024. “Legal Compliance on Sharia Economics in Halal Tourism Regulations.” Petita: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Syariah 9 (1): 58–79. doi:10.22373/petita.v9i1.224.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
