Kastanisasi Pendidikan: Bahaya Tersembunyi di Balik Lebel Sekolah
Pendidikan dan Literasi | 2025-04-28 09:10:54
Langkah dunia pendidikan di Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang mengundang kekhawatiran. Fenomena segregasi sekolah yang kian mencolok, mulai dari label "Sekolah Rakyat" seolah diperuntukkan bagi kelompok ekonomi lemah, hingga "Sekolah Unggulan Garuda" yang digadang-gadang sebagai gerbang menuju universitas ternama dunia, mengindikasikan persoalan yang lebih mendasar: kastanisasi pendidikan. Istilah "kastanisasi" sendiri merujuk pada pembentukan hierarki sosial yang rigit, dan dalam konteks ini, merayap masuk ke ranah pendidikan.
Sekolah, yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi proses pembelajaran, bertransformasi menjadi simbol status sosial yang kuat. Cap "Sekolah Rakyat" seringkali lekat dengan keterbatasan sumber daya dan siswa dari kalangan ekonomi bawah, berbanding terbalik dengan citra "Sekolah Unggulan Garuda" yang menawarkan fasilitas mewah, tenaga pengajar internasional, dan kurikulum berorientasi global. Ini bukan sekadar perbedaan sarana dan prasarana atau kurikulum semata; ini berpotensi menimbulkan dampak sosial yang serius, seperti lahirnya hierarki antar sekolah yang kaku dan berpotensi melanggengkan kesenjangan.
Pengalaman pahit dengan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menjadi pelajaran berharga. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Akil Mochtar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pengelompokan kasta dalam sekolah semacam SBI dan RSBI adalah bentuk diskriminasi yang nyata dan bertentangan dengan amanat konstitusi. Beliau bahkan menekankan bahwa RSBI yang telah berjalan seharusnya dikembalikan menjadi sekolah reguler, dan pungutan biaya yang diterapkan dalam sistem RSBI harus dihentikan karena merupakan wujud ketidakadilan terhadap hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang setara.
Memang, gagasan di balik sistem RSBI/SBI konon didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme yang menitikberatkan pada pengembangan eksistensi peserta didik dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan individu serta masyarakat. Namun, filosofi ini justru bertolak belakang dengan landasan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang berakar pada Pancasila dan bertujuan untuk mengembangkan potensi, membentuk karakter, serta membangun peradaban bangsa yang bermartabat.
Ironisnya, siswa yang berasal dari keluarga berada atau memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk menempuh pendidikan di RSBI atau SBI. Sementara itu, siswa dari keluarga sederhana atau kurang mampu seringkali hanya memiliki pilihan terbatas untuk diterima di sekolah umum dengan segala keterbatasannya. Ini adalah potret ketidakadilan yang nyata, sebuah pengkastaan di tengah masyarakat yang seharusnya telah dihapuskan oleh semangat revolusi kemerdekaan nasional.
Lantas, apakah wajah pendidikan seperti ini yang kita dambakan? Jika tujuan luhur pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi setiap anak bangsa tanpa diskriminasi, maka model segregatif ini justru menggerogoti esensi kesetaraan. Pendidikan seharusnya menjadi ruang interaksi yang inklusif, tempat bertemunya beragam latar belakang, di mana setiap anak merasa dihargai dan memiliki nilai yang sama, bukan malah terkotak-kotak dalam kelas-kelas sosial yang rigit dan membatasi.
Kita tidak serta-merta menentang keberadaan sekolah unggulan atau inovasi pendidikan seperti Sekolah Garuda. Namun, jika eksistensinya justru memperlebar jurang akses dan meruntuhkan rasa percaya diri antar siswa, maka ada yang keliru dalam pendekatan ini. Pemerintah dan para pemangku kebijakan pendidikan perlu meninjau kembali secara mendalam apakah sistem yang cenderung elitis ini benar-benar mendidik atau justru secara halus mengklasifikasikan anak-anak berdasarkan garis status sosial ekonomi orang tua mereka.
Solusi yang dibutuhkan tidak sekadar memberikan subsidi parsial pada sekolah tertentu atau melabeli sekolah lain dengan stigma "biasa-biasa saja". Kita memerlukan sebuah pendekatan yang lebih komprehensif dan holistik: peningkatan kualitas pendidikan secara merata di seluruh pelosok negeri, pelatihan guru yang setara dan berkelanjutan, serta penghapusan narasi keliru yang mengagungkan kesuksesan hanya milik sekolah-sekolah tertentu. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan yang merajut persatuan, bukan tembok pemisah yang justru memperdalam jurang kesenjangan sosial.
Jika kita terus membiarkan arah pendidikan ini berjalan tanpa koreksi yang signifikan, kita berpotensi menanam benih-benih ketimpangan yang akan tumbuh subur menjadi tembok sosial tak kasatmata di masa depan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adil dan inklusif, yang membuka pintu kesempatan yang sama lebar bagi setiap anak bangsa untuk berkembang dan mencapai potensi maksimal mereka, tanpa terhalang oleh label sekolah atau status sosial ekonomi keluarga. (hes50)
Referensi:
https://edukasi.kompas.com/read/2013/01/08/18431250/Ini.Alasan.MK.Batalkan.Status.RSBISBI
https://www.antikorupsi.org/id/article/rsbi-harus-dihapus-karena-ingkari-kesamaan-akses-terhadap-pendidikan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
