Remaja dan Budaya Self Branding di Media Sosial
Gaya Hidup | 2025-04-23 16:14:46Media sosial kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari remaja. Bukan lagi sekadar tempat berbagi momen, platform seperti instaram, TikTok, dan X (Twittter) telah berubah menjadi ruang untuk membentuk citra diri atau yang sering disebut dengan self-branding. Di kalangan remaja, tren ini semakin kuat seolah setiap unggahan adalah cara untuk menunjukkan siapa mereka di mata publik.
Self-branding pada dasarnya bukan hal yang salah. Banyak remja memanfaatkannya untuk menunjukkan bakat, minat, hingga membangun portofolio digital. Bahkan tak sedikit dari mereka yang mendapatkan peluang seperti beasuswa, undangan kerja sama dengan brand hingga menjadi content creator. Artinya media sosial bisa menjadi wadah positif untuk pengembangan diri.
Namun, sisi lain dari fenomena ini juga tak bisa diabaikan. Banyak remaja merasa perlu tampil sempurna di media sosial demi validasi dari orang lain. Tekanan untuk mendapatkan banyak likes dan followers sering kali membuat mereka membandingkan diri, bahkan merasa kurang berharga. Sebuah penelitian oleh Universitas Indonesia pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sekitar 45% Generasi Z mengalami kecemasan dan depresi yang berkaitan dengan penggunaan media sosial. Efek negatif ini sering kali disebabkan oleh perbandingan sosial, cyberbullying, dan tekanan untuk tampil sempurna di dunia maya.
Selain itu, penggunaan media sosial yang intens dapat memengaruhi suasana hati remaja. Survei Talk Research pada tahun 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 52% remaja mengaku suasana hati mereka sering dipengaruhi secara negatif oleh media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa media sosial dapat memberikan dampak psikologis pada kesehatan mental remaja, seperti peningkatan proporsi orang yang mengalami kecemasan dan depresi.
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, perlu ada pendekatan dari berbagai pihak. Orang tua bisa lebih terbuka berdialog dengan anak tentang apa yang mereka lihat dan rasakan di media sosial. Sekolah juga dapat memasukkan literasi digital dalam kurikulum agar remaja memahami cara bermedia yang sehat. Selain itu, platform media sosial sebaiknya menyediakan fitur yang lebih mendukung kesehatan mental, seperti pengingat waktu penggunaan dan kontrol terhadap konten yang muncul. Remaja sendiri juga bisa mulai membatasi waktu online dan fokus pada kegiatan nyata yang lebih bermakna seperti olahraga, hobi, atau berinteraksi langsung dengan teman dan keluarga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
