Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image syafira aulia

Homogenitas sebagai Mitos: Menelusuri Realitas Etnisitas di Jepang

Edukasi | 2025-04-21 14:48:25

Syafira Aulia

Bahasa dan Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keberagaman etnisitas. Setiap daerah di Indonesia memiliki kelompok etnisnya masing-masing, seperti suku Jawa, Sunda, Bali, Batak, Bugis, dan masih banyak lagi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Etnisitas di Indonesia sendiri dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan sejarah, nenek moyang, asal-usul, serta bahasa yang tercermin melalui simbol-simbol khas seperti agama, pakaian adat, dan tradisi budaya S, M. I. (2023). Oleh karena itu, etnisitas di Indonesia memainkan peran penting dalam membentuk pola interaksi sosial dan struktur masyarakat yang majemuk hingga saat ini. Namun, pemahaman mengenai konsep etnisitas tidaklah bersifat universal. Jepang, misalnya, memiliki pandangan yang berbeda mengenai etnisitas. Di Jepang, etnisitas sering kali dipandang sebagai bagian dari identitas yang tersubordinasi di bawah identitas nasional Jepang yang bersifat lebih seragam dan homogen. Dalam konteks ini, identitas etnis bukanlah sesuatu yang ditonjolkan secara bebas, melainkan dilebur ke dalam kerangka identitas nasional yang kuat.

Perbedaan pandangan ini tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan sosial-politik masing-masing negara. Sejarah panjang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan latar belakang kolonialisme, kemerdekaan, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika membentuk pemahaman bahwa keberagaman adalah bagian integral dari identitas nasional. Sementara itu, menurut Widiandari (2021) pemerintah jepang menganggap bahwa Jepang adalah negara homogen seperti yang diu sejarah Jepang yang dianggap homogen. Meski pada kenyataannya tidak seperti itu. .

Awal mula etnisitas di jepang

Jepang selama ini dikenal sebagai negara homogen yang masyarakatnya dianggap memiliki kesamaan ras, bahasa, dan budaya, namun anggapan tersebut mulai dipertanyakan sejak munculnya isu kemajemukan etnis di era modern. Kemunculan wacana multietnisitas di Jepang mulai menguat sejak tahun 1990-an, ketika pemerintah Jepang mulai merekrut pekerja asing secara besar-besaran untuk mengisi sektor industri berat sebagai respons terhadap dampak resesi ekonomi. Periode pertumbuhan ekonomi yang pesat pada 1960-an telah mendorong transformasi masyarakat dari sektor agraris ke industri manufaktur, menjadikan Jepang sebagai pemain global dalam industri teknologi dengan merek-merek besar seperti Sony dan Mitshubishi. Namun, saat resesi melanda pada 1990, perusahaan-perusahaan mengubah sistem perekrutan dengan melibatkan pekerja asing, terutama dari Asia Tenggara dan Brazil. Kehadiran para pekerja asing ini tidak hanya memberikan kontribusi signifikan terhadap industri Jepang, tetapi juga memicu diskursus mengenai keberadaan masyarakat multietnis di Jepang, sehingga menggoyahkan mitos lama tentang homogenitas bangsa tersebut.

Selanjutnya akan membahas beberapa etnisitas minoritas di Jepang yang pada saat itu mendapatkan diskriminasi oleh bangsanya sendiri. Beberapa kelompok tersebut adalah, Ainu, Burakumin, Okinawa (Orang Ryuukyu), dan Koreans (Zainichi) – Orang Korea yang tinggal di Jepang.

Etnisitas Ainu

Suku Ainu merupakan kelompok masyarakat adat yang mendiami wilayah utara Jepang, khususnya Pulau Hokkaido. Sejak abad ke-6, mereka mengalami penjajahan internal oleh pemerintah Jepang melalui kebijakan asimilasi yang sistematis, yang menyebabkan banyak aspek budaya Ainu, termasuk bahasa mereka, hampir punah. Meskipun pengakuan resmi terhadap Ainu sebagai penduduk asli baru diberikan oleh pemerintah Jepang pada tahun 2008, hal tersebut belum sepenuhnya menjamin perlindungan terhadap hak-hak budaya mereka. Hingga saat ini, masyarakat Ainu masih menghadapi tantangan berupa diskriminasi, keterbatasan akses terhadap representasi budaya, serta permasalahan dalam pelestarian identitas mereka.

Pengalaman diskriminatif yang dialami oleh masyarakat Ainu menunjukkan kemiripan dengan bentuk penindasan terhadap masyarakat adat di negara lain, seperti suku Indian di Amerika Utara dan Aborigin di Australia. Diskriminasi terhadap Ainu terjadi tidak hanya dalam bentuk struktural melalui kebijakan, tetapi juga dalam bentuk simbolik dan sosial, terutama terkait ciri-ciri fisik mereka yang berbeda dari mayoritas masyarakat Jepang. Rambut yang lebih lebat, warna kulit yang lebih gelap, dan warna mata yang tidak sesuai dengan standar homogen masyarakat Jepang menjadikan mereka sasaran marginalisasi. Pandangan nasionalisme Jepang yang cenderung menekankan keseragaman identitas kultural turut memperkuat posisi subordinat kelompok Ainu dalam masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Rahwati (2021), upaya revitalisasi budaya Ainu melalui inisiatif-inisiatif lokal seperti proyek Urespa di Sapporo menunjukkan adanya keinginan kuat dari generasi muda Ainu untuk mempertahankan dan mengembangkan identitas budaya mereka di tengah tantangan modernisasi dan homogenisasi budaya nasional.

Etnisitas Burakumin

Kelompok ini merupakan bekas golongan terendah dalam sistem sosial tradisional Jepang, dengan jumlah populasi diperkirakan mencapai 2 hingga 3 juta orang. Burakumin sering kali dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam sejarah Jepang karena profesi mereka berkaitan erat dengan kematian dan pengolahan hewan—aktivitas yang dinilai "kotor" menurut ajaran Shinto dan Buddhisme. Hal ini menyebabkan mereka mengalami diskriminasi sosial dan segregasi wilayah tempat tinggal di kawasan yang dikenal sebagai buraku. Tidak sedikit dari komunitas burakumin yang memilih menyembunyikan identitas mereka demi menghindari perlakuan diskriminatif.

Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat perkembangan positif dalam upaya penghapusan diskriminasi terhadap burakumin. Sekitar dua pertiga dari komunitas ini mengaku tidak pernah mengalami diskriminasi, dan sebanyak 75 persen dari mereka telah menikah dengan individu dari luar kelompok buraku. Istilah peyoratif seperti “eta”—yang berarti “sangat kotor”—sudah jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, sekitar lima persen burakumin masih bergantung pada bantuan sosial, sebuah angka yang tujuh kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Para pemimpin komunitas burakumin mengkhawatirkan ketergantungan mereka pada bantuan sosial serta masalah sosial.

Orang Ryuukyu (Okinawa)

Okinawa, yang kini menjadi bagian dari wilayah Jepang, dulunya merupakan sebuah kerajaan independen sebelum akhirnya dianeksasi oleh Jepang pada tahun 1879. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, wilayah ini sempat berada di bawah kekuasaan militer Amerika Serikat hingga tahun 1972. Meskipun secara administratif Okinawa telah tergabung dengan Jepang, terdapat perbedaan signifikan dalam hal budaya dan sejarah yang dirasakan oleh masyarakat Okinawa dibandingkan dengan masyarakat Jepang dari wilayah daratan utama. Sebagian penduduk Okinawa mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok etnis yang berbeda, sementara sebagian lainnya merasa menjadi bagian dari masyarakat Jepang secara umum. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul gerakan yang bertujuan untuk melestarikan identitas Okinawa dan memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk aspirasi untuk memperoleh otonomi yang lebih besar, bahkan hingga tuntutan kemerdekaan.

Zainichi, Orang Korea yang Tinggal di Jepang

Kelompok etnis Korea yang tinggal di Jepang masih menghadapi berbagai bentuk diskriminasi sosial, yang sebagian besar berakar dari sejarah penjajahan Jepang atas Korea. Pada masa Perang Dunia II, sejumlah besar warga Korea dibawa ke Jepang untuk dijadikan tenaga kerja paksa. Hingga tahun 2000, tercatat lebih dari 635.000 warga keturunan Korea menetap di Jepang. Meskipun mayoritas dari mereka merupakan generasi kedua dan ketiga yang lahir di Jepang, mereka tetap diperlakukan sebagai warga asing karena sistem kewarganegaraan Jepang tidak secara otomatis memberikan status kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir, kecuali jika salah satu orang tua memiliki kewarganegaraan Jepang.

Namun, telah terjadi sejumlah perubahan positif terkait status hukum etnis Korea di Jepang. Sejak tahun 1993, mereka tidak lagi diwajibkan untuk melakukan pencatatan sidik jari sebagai bagian dari regulasi bagi warga asing. Selain itu, beberapa pemerintah daerah mulai membuka kesempatan kerja bagi mereka, meskipun hal ini belum diadopsi oleh pemerintah pusat. Persyaratan untuk mengganti nama menjadi nama Jepang dalam proses naturalisasi juga telah dihapuskan, dan individu yang sebelumnya mengganti nama mereka kini diperbolehkan kembali menggunakan nama Korea asli mereka.

Kesimpulan

Meskipun Jepang selama ini dikenal sebagai negara yang homogen, kenyataannya terdapat beragam kelompok etnis minoritas yang memiliki sejarah panjang dan kompleks dalam struktur sosial Jepang. Keberadaan kelompok seperti Ainu, Burakumin, Okinawa, dan Zainichi Korea menunjukkan bahwa Jepang sebenarnya merupakan masyarakat multietnis yang telah lama menghadapi isu diskriminasi dan marginalisasi. Ainu mengalami penindasan budaya dan kehilangan identitas akibat kebijakan asimilasi, Burakumin dikucilkan karena stigma religius terhadap profesi mereka, Okinawa menanggung beban sejarah kolonialisme internal dan identitas yang tidak sepenuhnya diterima oleh Jepang daratan, sementara komunitas Zainichi Korea masih berjuang untuk pengakuan dan perlakuan yang setara meskipun telah tinggal secara turun-temurun.

Namun demikian, kondisi Jepang saat ini menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan dalam mengatasi diskriminasi terhadap kelompok-kelompok ini. Pemerintah telah memberikan pengakuan resmi terhadap hak-hak masyarakat adat seperti Ainu, menghapus regulasi yang mendiskriminasi warga keturunan Korea, serta membuka lebih banyak ruang partisipasi bagi kelompok-kelompok minoritas dalam kehidupan sosial. Isu keberagaman etnis pun semakin diakui dalam diskursus publik dan akademik, menandakan adanya pergeseran menuju masyarakat yang lebih inklusif. Meskipun masih terdapat tantangan, arah kebijakan dan kesadaran masyarakat Jepang menunjukkan harapan positif bagi terciptanya kesetaraan yang lebih adil bagi seluruh kelompok etnis yang tinggal di negara tersebut.

Daftar Pustaka

Bestor, V. L. (2011). Routledge Handbook of Japanese Culture and Society. New York: Routledge.

S, M. I. (2023). Etnisitas dalam Birokrasi (Studi Kasus Etnis Jawa di Lingkup Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara). Indonesia: Universitas Hasanuddin, Departemen Ilmu Politik.

Sugimoto, Y. (2010). An Introduction to Japanese Society, Third Edition. United States of America: Cambridge University Press.

Wawat Rahwati, B. M. (2021). Historical Memory of Ainu through Material Culture in Japanese Literary Text: An Analysis of Tsushima Yuko’s Work. IZUMI, Volume 10 No 1,, 109-115.

Widiandari, A. (2021). Keberadaan Kelompok Minoritas: Mitos Homogenitas. Kiryoku: Jurnal Studi Kejepangan, 251-252.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image