Generasi Senior Tersingkir di Era Digital: Saat Pengalaman Kalah oleh Usia
Curhat | 2025-06-19 23:38:31
Ledakan ekonomi digital yang seharusnya membuka peluang bagi semua, nyatanya menciptakan tembok tak kasatmata bagi para pekerja senior. Generasi Baby Boomers (kelahiran 1946-1964), dengan segudang pengalaman dan etos kerja teruji, justru semakin terpinggirkan. Di tengah dominasi talenta muda, diskriminasi usia atau ageism menjadi praktik tersembunyi yang merugikan, bukan hanya bagi individu, tetapi juga bagi kemajuan ekonomi bangsa.
Stereotip bahwa pekerja senior gagap teknologi, kaku, dan kurang inovatif telah mengakar kuat. Perusahaan rintisan (startup), teknologi finansial (fintech), dan e-commerce lebih sering melirik tenaga kerja muda yang dianggap lebih "klik" dengan dinamika zaman. Padahal, mengabaikan potensi generasi senior sama artinya dengan menyia-nyiakan akumulasi pengetahuan, jaringan, dan kearifan yang tak ternilai.
Kesenjangan Digital yang Nyata
Keterpinggiran ini bukan sekadar soal persepsi, tetapi juga diperparah oleh kesenjangan digital yang faktual. Data Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 menunjukkan tingkat penetrasi internet di kalangan Baby Boomers baru mencapai 60,52%. Angka ini tertinggal jauh dari Generasi Milenial (93,17%) dan Gen Z (87,02%).
Kesenjangan ini berlanjut pada adopsi teknologi krusial seperti kecerdasan buatan (AI). Laporan Microsoft 2024 mengungkap bahwa hanya 73% pekerja intelektual dari generasi Baby Boomers yang menggunakan AI, sementara Gen Z memimpin dengan 85%. Keterbatasan akses dan adaptasi ini secara langsung menghambat partisipasi mereka dalam ekosistem kerja modern.
Praktik Diskriminasi di Depan Mata
Diskriminasi usia sering kali terjadi secara terang-terangan, tersembunyi di balik persyaratan lowongan kerja. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 memang menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja, namun realitasnya berbeda.
Sebagai contoh nyata, pada tahun 2022, BUMN PT Balai Pustaka (Persero) pernah membuka lowongan untuk posisi Sekretaris Direksi dengan syarat usia maksimal 23 tahun. Persyaratan semacam ini tidak hanya menutup pintu bagi mereka yang lebih tua, tetapi juga mengabaikan fakta bahwa pengalaman dan kematangan justru bisa menjadi aset berharga untuk posisi tersebut. Ini adalah cermin dari bias usia yang masih mengakar kuat di dunia kerja Indonesia.
Jalan Keluar: Menuju Dunia Kerja yang Inklusif
Mengatasi masalah sistemik ini memerlukan intervensi dari berbagai pihak. Berdasarkan praktik terbaik global dan riset, berikut adalah tiga langkah strategis yang bisa ditempuh:
1. Perlindungan Hukum yang Tegas
Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang secara eksplisit melarang diskriminasi usia dalam setiap tahap ketenagakerjaan, mulai dari rekrutmen hingga promosi. Aturan ini harus disertai sanksi yang jelas dan pembentukan lembaga pengawas independen untuk menindaklanjuti laporan. Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa kerangka hukum yang kuat terbukti efektif menekan praktik diskriminasi.
2. Rekrutmen Adil Berbasis Kompetensi
Perusahaan harus mereformasi sistem rekrutmen dengan menghapus bias usia. Praktik seperti blind recruitment (menyembunyikan informasi usia dan foto pelamar pada tahap awal) terbukti meningkatkan peluang pekerja senior dipanggil wawancara. Fokus seleksi harus sepenuhnya pada kompetensi, keahlian, dan potensi kontribusi, bukan pada tanggal lahir.
3. Mengubah Persepsi Melalui Edukasi
Kampanye kesadaran publik diperlukan untuk membongkar stereotip negatif tentang pekerja senior. Menampilkan kisah sukses perusahaan yang berhasil berkat tim lintas generasi dapat menjadi inspirasi. Program edukasi di tempat kerja juga terbukti efektif mengurangi bias dan mendorong kolaborasi antar generasi, yang pada akhirnya meningkatkan inovasi dan menurunkan tingkat pergantian karyawan.
Menciptakan dunia kerja yang inklusif bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Sudah saatnya kita memandang usia bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai spektrum pengalaman yang memperkaya. Kolaborasi antar generasi adalah kunci untuk membangun ekonomi digital yang adil, kuat, dan berkelanjutan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
