Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ellie Umi

Marak Paylater dan Pinjol Berbasis Ribawi

Agama | 2025-04-19 00:08:11

Miris! Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Februari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun. Meski nominal tersebut sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada pada nominal Rp22,57 triliun, secara tahunan (yoy) justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebesar 36,60%. Tak hanya itu, Menurut data OJK, pada Mei 2023 total utang pelaku UMKM yang berasal dari pinjol mencapai Rp19 triliun, lalu pada Maret 2024 Bank Indonesia melaporkan bahwa kredit pinjol sudah melampaui angka Rp64 triliun. Ini menunjukkan betapa cepat pertumbuhan dan mudahnya masyarakat terjerat pinjol karena dianggap sebagai solusi saat membutuhkan uang cepat tanpa ribet.

Maraknya penggunaan paylater ataupun pinjol tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup konsumerisme yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dengan paylater/pinjol, mereka menghalalkan segala cara demi memiliki uang, meski harus melalui utang yang disertai riba. Implikasinya, mereka akan merasa bahagia dan lebih bergengsi saat tampil memiliki uang/harta atau barang baru dengan model terkini.

Bagi kapitalisme, realitas seperti ini tentu sangat menguntungkan karena masyarakat rela berutang dan membelanjakan uang dari utang tersebut tanpa ragu, bahkan sangat mengesankan pemborosan. Padahal nyatanya Paylater ataupun pinjol menyusahkan di kemudian hari, terlebih dengan bunga yang tinggi serta penagihan yang tidak ubahnya teror dan berujung kekerasan. Kita tentu mengetahui mirisnya realitas pinjol yang tidak jarang berakhir dengan aksi bun*h diri pelaku akibat tidak mampu melunasi utang pinjol. Kasus bun*h diri akibat lilitan pinjol bahkan ada yang dilakukan sekeluarga sebagaimana yang pernah terjadi di Kediri maupun Tangerang beberapa waktu lalu. Hal ini seharusnya menjadi peringatan agar tidak terus melahirkan korban baru.

Disisi lain himpitan ekonomi membuat masyarakat memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak sedikit yang berutang dengan memanfaatkan paylater (pembayaran nanti) dalam belanjanya. Apalagi belanja saat ini bisa dilakukan secara online hingga paylater dianggap memudahkan. Sebagai catatan, menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, masyarakat banyak meminjam uang ke pinjol karena sulitnya meminjam uang di bank. Di satu sisi, katanya, ada kalangan yang memang membutuhkan pembiayaan, termasuk untuk memenuhi kebutuhan hidup. Melonjaknya jumlah masyarakat yang berutang ke pinjol berkaitan dengan daya beli masyarakat, apalagi banyak dari mereka yang terkena PHK. Namun di sisi lain, sebanyak 70% dana pinjol relatif masih digunakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif. Pasalnya, mayoritas pengguna pinjol berasal dari kalangan anak muda yang ingin memenuhi gaya hidup.

Namun sayang, Paylater dan pinjol yang marak saat ini berbasis ribawi, yang haram dalam pandangan Islam. Sejatinya alih-alih menyolusi, paylater/pinjol justru berpotensi menambah beban masalah masyarakat, dan juga menambah dosa, yang tentu saja akan menjauhkan keberkahan darinya. Miris, saat ini negara hanya memberantas paylater ataupun pinjol ilegal. Sedangkan paylater yang legal, diberikan izin operasi, padahal sebenarnya tetap haram dalam pandangan syariat. Demikianlah keniscayaan yang terjadi di dalam sistem sekuler kapitalisme.

Padahal sejatinya negara sangat berperan penting dalam mengondisikan suasana takwa di tengah-tengah umat sehingga aktivitas mereka sesuai dengan tuntunan syarak dan tidak mudah terjebak arus perilaku konsumerisme. Keberadaan paylater yang meskipun legal, tetap terdapat riba di dalamnya.

Larangan riba dalam Islam sangat tegas, apa pun bentuk dan modelnya, serta berapa pun jumlahnya.

Ini sebagaimana firman Allah Taala, “Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 275).

Wallahu’alam Bish shawa

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image