Sampai Kapan Indonesia Keluar dari Darurat Kejahatan Seksual?
Rubrik | 2025-04-17 15:16:53
Tulisan oleh Ariefdhianty Vibie (Muslimah Pegiat Literasi, Bandung)
Berita sepekan ini kita dikejutkan dengan aksi bejat oknum dokter dalam kasus asusila yang berturut-turut. Bukan hanya satu oknum, bahkan ketika fakta-fakta yang berkaitan dengan pelecehan seksual ini dikumpulkan, jumlahnya begitu banyak. Bukan oleh dokter saja– yang seharusnya bertugas memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat– melainkan juga oleh dosen, guru besar, juga aparat keamanan yang seharusnya mengayomi dan mengedukasi masyarakat.
Masyarakat tentu geram. Ingin rasanya mencabik-cabik mereka yang telah mencederai harga diri dan kehormatan korban. Di balik profesi dan jabatan tinggi, mereka justru melakukan kesewenang-wenangan di luar batas moral, nurani, dan agama. Di lingkungan yang seharusnya memberikan ruang aman, sesuatu yang mengerikan terjadi. Jika para pendidik dan pelayan kesehatan sudah mencederai kehormatan, maka negeri ini sudah diambang kegagalan dan kehancuran. Entah sampai kapan headline “Indonesia Darurat Kejahatan Seksual” akan berakhir. Faktanya kekerasan seksual kerap terjadi menit per menit di seluruh penjuru negeri.
Data yang diinput dan ditayangkan dari Januari hingga 16 April 2025 oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat telah terjadi 6.524 kasus kekerasan. Dari jumlah itu, kekerasan seksual dominasi kasus kekerasan di Indonesia dengan persentase lebih dari 40% yakni 2.737 kasus. Angka ini menjadikan kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan tertinggi, melampaui kekerasan fisik (2.052 kasus) dan kekerasan psikis (2.043 kasus) (haimalang, 16/04/2025).
Tentu data-data yang tercatat di atas hanyalah sebatas data yang terlaporkan. Sementara itu, data yang tidak tercatat dan terlaporkan pasti jauh lebih tinggi. Ini merupakan fenomena gunung es. Korban yang tidak berani speak up atau mendapat ancaman ada jauh lebih banyak. Sungguh memilukan!
Kadang kita bertanya-bertanya, sebenarnya apa yang menjadi akar permasalahan kasus kekerasan atau pelecehan seksual ini kerap terjadi? Sebagian orang berpendapat karena isi pikiran kotor para pelaku. Sebagian orang juga menuduh korban karena bersikap atau menggunakan pakaian yang ‘mengundang’ perilaku bejat. Jadi, siapa yang salah?
Sebagai seorang muslim, saya akan mengambil perspektif Islam sebagai sudut pandang analisis dari kejadian ini.
Hari ini kita mendapati akses yang begitu mudah terhadap konten-konten pornografi dan pornoaksi di berbagai situs internet dan jejaring sosial. Efek negatif dari globalisasi dan internet ini tampaknya sudah merata di semua tempat. Belum lagi dengan pergaulan bebas, konsumsi miras dan narkoba, dan pengadopsian nilai-nilai Barat yang liberal dan hedon. Hal-hal semacam ini eksis karena penerapan sekulerisme yang datang dengan budaya Barat lewat penjajahannya. Yang kemudian diadopsi oleh masyarakat, lalu menjadi gaya hidup. Hal ini menjadikan masyarakat kita, termasuk Muslim, tidak lagi peduli dengan nilai-nilai agama, bahkan melabrak batas moral dan norma kemanusiaan. Akidah dan keimanan luntur akibat sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
Inilah akar permasalahan kenapa pelaku kriminal seksual merebak di negeri ini dan juga negeri lainnya.
Lagipula solusi dan langkah antisipatif dari pemerintah juga kurang efektif dan konkrit. Seperti misalnya, edukasi seksual sejak dini tanpa menerapkan nilai-nilai agama, atau sekedar melakukan pendampingan psikologis terhadap korban, sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Undang-undang yang mengatur berkaitan dengan kasus ini pun masih pasal karet, sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Apalagi hukuman terhadap pelaku kriminal sungguh jauh dari keadilan, bahkan masih bisa dibeli dengan uang. Yakinlah, negeri ini akan tetap berada pada kondisi darurat kekerasan seksual selama nilai-nilai sekulerisme dan liberalisme masih jadi pegangan.
Pornografi adalah masalah besar dalam sistem sekulerisme ini. Oleh karena itu, negara haruslah serius menyikapi dan membuat solusi konkrit untuk memberikan perlindungan dan keamanan kepada setiap individu warga negara. Jangan hanya cukup memblokir pada konten-konten porno saja, tetapi mengabaikan sistem sosial kemasyarakatan. Perlu adanya solusi sistemik yang menyeluruh dan komprehensif, dan itu hanya bisa dilakukan ketika Islam diterapkan.
Islam dimulai pendidikan karakter individu dengan menancapkan akidah dan keimanan yang kokoh. Dari sinilah akan lahir generasi yang bertakwa, yaitu mengerjakan amal saleh dan takut berbuat maksiat. Selain itu, pendidikan berbasis akidah juga tidak hanya dilakukan di dalam rumah saja melainkan sekolah juga. Dengan begitu kepribadian Islam akan mewarnai karakter individu-individu ini, mereka akan senantiasa berhati-hati dalam berperilaku karena segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Selain pembentukan kepribadian Islam, kehidupan bermasyarakat juga diatur oleh Islam. Misalnya, terpisahnya kehidupan antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam beberapa perkara saja yang berkaitan dengan muamalah, pendidikan, kesehatan, dan keadilan. Hal ini membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam perkara yang tidak perlu. Islam juga melarang aktivitas khalwat (berdua-duaan) dan ikhtilat (bercampur baur), yang bisa saja mengantarkan pada aktivitas zina. Lagipula ketika keluar rumah, individu-individu ini wajib memperhatikan cara berpakaian yang harus menutup aurat, menjaga pandangan, dan tidak ber-tabaruj (berlebihan dalam riasan).
Selain itu, negara harus menyaring segala informasi, publikasi, dan konten-konten yang beredar di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga akidah umat dari serangan pemahaman asing.
Tidak ketinggalan, sistem sanksi dan hukum akan memberikan keadilan bagi pelaku dan korban jika kejahatan benar-benar terjadi. Hukum Islam bersifat jawabir (penebus) dan zawajir (pencegahan), juga memberikan efek jera agar kasus serupa tidak terulang lagi. Misalnya berkaitan dengan perzinaan, maka akan ditegakkan had zina sebagai sanksi bagi para pelaku. Bagi ghairu muhsan (belum menikah) adalah 100 kali cambuk, sedangkan muhsan (telah menikah) berupa hukuman rajam. Inilah yang akan meminimalisir berbagai kejahatan yang ada.
Begitulah mekanisme Islam dalam mencegah adanya perilaku dan kejahatan seksual, ataupun yang berkaitan dengan pornografi. Solusi ini menurut hemat saya benar-benar solutif dan menyentuh pada akar permasalahan. Hanya saja, kita mungkin tidak akan bisa merasakan keadilan sampai Islam itu diterapkan pada ranah kebijakan pemerintahan.
Wallahu'alam bishowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
