Sunyi dalam Keramaian: Fenomena Hikikomori
Kultura | 2025-04-17 02:41:26
Fenomena sosial hikikomori mulai mencuat ke permukaan sejak akhir dekade 1990-an di Jepang. Istilah ini dipopulerkan oleh psikiater Saitō Tamaki yang mendeskripsikannya sebagai kondisi di mana seseorang, terutama remaja dan dewasa muda, mengisolasi diri secara ekstrem dari lingkungan sosial dan mengurung diri di rumah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun (Saitō, 2013).
Masyarakat Jepang dikenal menekankan keseragaman, pencapaian, dan kontrol sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sistem seperti ini, individu yang tidak sesuai dengan kerangka “ideal” sering kali dianggap menyimpang dan menghadapi tekanan sosial yang besar, terutama pada masa transisi menuju kedewasaan. Budaya malu (shame culture) dan nilai kolektivitas yang kuat memperkuat norma untuk selalu menyesuaikan diri dengan kelompok. Nilai-nilai seperti gaman (bertahan dalam kesulitan), enryo (menahan diri), dan tatemae-honne (perbedaan antara ekspresi luar dan perasaan dalam) membentuk cara individu bersosialisasi sejak usia dini. Remaja yang merasa gagal memenuhi standar sosial, misalnya tidak lulus ujian masuk universitas ternama, kerap mengalami rasa malu mendalam hingga enggan menunjukkan diri di hadapan orang lain. Dalam situasi tersebut, hikikomori muncul bukan sebagai bentuk pemberontakan, melainkan sebagai “jalan keluar” yang sunyi dan menyakitkan. Individu memilih untuk menghilang dari pandangan masyarakat demi menjaga wajah, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya.
Saitō menyebut bahwa masa remaja di Jepang kini cenderung memanjang, bahkan stagnan, karena banyak individu yang tidak kunjung menyelesaikan proses menuju kedewasaan secara sosial. Fenomena ini mencerminkan adanya krisis dalam proses pendewasaan di tengah masyarakat yang masih sangat normatif dan kompetitif. Sekolah, sebagai institusi pembentuk karakter, sering kali justru memperparah tekanan yang dirasakan siswa, alih-alih menjadi tempat yang suportif. Akibatnya, ketika seseorang merasa gagal di sistem pendidikan, ia pun seolah kehilangan “jalan” untuk masuk ke dunia dewasa. Dalam banyak kasus, rumah menjadi satu-satunya ruang yang tersisa, meskipun ruang itu tidak selalu menyembuhkan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, hikikomori bukan semata-mata bentuk pelarian, melainkan bentuk perlawanan sunyi terhadap masyarakat yang terlalu menuntut. Mereka yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam sistem kerja, pendidikan, atau hubungan sosial yang dianggap disfungsional sesungguhnya sedang menyuarakan kritik terhadap sistem yang gagal merangkul keragaman potensi manusia. Dalam hal ini, hikikomori menjadi refleksi dari kegagalan institusi keluarga, sekolah, dan negara dalam memahami dan memfasilitasi individu yang tidak sesuai dengan standar arus utama. Salah satu bentuk paling nyata dari kegagalan ini dapat dilihat dalam struktur keluarga Jepang. Konsep amae yang dijelaskan oleh Doi Takeo sebagai bentuk ketergantungan emosional pada orang tua, membuat banyak anak muda tetap tinggal bersama orang tua bahkan setelah dewasa. Dalam konteks ini, hikikomori bisa dipahami sebagai bentuk keterjebakan dalam relasi keluarga yang tidak sepenuhnya sehat. Orang tua, terutama ibu, sering kali tidak tega “melepaskan” anak mereka, dan akhirnya secara tidak sadar mendukung pola hidup menyendiri dengan tetap memberikan nafkah dan toleransi atas kondisi tersebut. Saitō menekankan bahwa hikikomori bukan hanya soal individu, tapi juga hasil dari sistem keluarga dan masyarakat yang tidak mampu menyediakan jalur keluar bagi mereka yang merasa “tertinggal”.
Perkembangan teknologi juga memainkan peran penting dalam memperpanjang kondisi hikikomori. Internet, game online, dan media sosial menciptakan dunia alternatif yang lebih nyaman bagi mereka yang merasa terasing di dunia nyata. Meskipun teknologi memberi akses komunikasi yang luas, ia juga menciptakan keterputusan sosial yang nyata. Hikikomori sering kali membangun rutinitas virtual yang tidak menuntut interaksi langsung, dan ini memperkuat keengganan mereka untuk kembali ke masyarakat. Di satu sisi, teknologi memberikan pelarian; di sisi lain, ia juga mempertebal dinding antara individu dan dunia luar.
Dalam menghadapi fenomena hikikomori, berbagai upaya penanganan telah dilakukan oleh pemerintah, lembaga sosial, dan komunitas di Jepang. Salah satu pendekatan utama adalah program rehabilitasi sosial yang bertujuan membantu individu keluar dari isolasi dan kembali berinteraksi secara bertahap dengan masyarakat. Terapi psikologis, seperti konseling dan terapi kognitif-perilaku, juga menjadi bagian penting untuk mengatasi masalah psikologis yang menyertai kondisi ini. Selain itu, keberadaan komunitas pendukung dan kelompok diskusi yang ramah dan non-judgmental membantu mereka merasa diterima dan memperoleh motivasi untuk memulai kembali kehidupan sosialnya. Keluarga juga memiliki peran krusial, dengan dukungan dan pengertian yang lebih besar terhadap kondisi anggota keluarga yang hikikomori. Pemerintah Jepang pun mulai mengembangkan kebijakan dan program khusus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta menyediakan layanan yang memudahkan individu yang mengalami hikikomori untuk mendapatkan bantuan. Meskipun tantangan tetap ada, langkah-langkah ini menunjukkan komitmen untuk mengurangi stigma dan membantu mereka yang terisolasi agar dapat kembali berperan aktif dalam masyarakat.
Meskipun awalnya dianggap sebagai fenomena khas Jepang, hikikomori kini mulai dikenali di negara lain, seperti Korea Selatan, Cina, bahkan beberapa negara Eropa seperti Italia dan Spanyol, kasus hikikomori mulai teridentifikasi, meskipun dengan sebutan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan sosial yang tidak sehat terhadap generasi muda bukanlah hal yang unik di Jepang saja. Namun, karakteristik budaya Jepang yang menekankan keharmonisan, norma sosial yang ketat, dan pentingnya “tidak merepotkan orang lain” (meiwaku o kakenai) membuat fenomena ini sangat menonjol dan terasa lebih kompleks di Jepang.
Kesimpulannya, fenomena hikikomori mencerminkan kompleksitas realitas sosial dan budaya Jepang modern yang tidak bisa dipandang hanya sebagai masalah individu semata. Hikikomori merupakan ekspresi diam dari generasi muda yang merasa terjebak dalam struktur sosial yang terlalu menuntut dan kaku, dengan tekanan budaya kolektivitas, tekanan akademik, dan ketergantungan keluarga yang kuat. Perkembangan teknologi juga turut memperkuat isolasi sosial mereka. Namun, penting untuk dicatat bahwa upaya penanganan dan intervensi, seperti terapi psikologis, dukungan keluarga, serta program rehabilitasi sosial, mulai dikembangkan untuk membantu mereka keluar dari isolasi dan kembali berperan aktif dalam masyarakat. Oleh karena itu, hikikomori seharusnya dipandang sebagai kritik sosial yang memerlukan perhatian serius, empati, dan kebijakan menyeluruh agar dapat memberikan solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka Doi, T. (1973). The Anatomy of Dependence. Tokyo: Kodansha International. Kinsella, S. (2019). Social Withdrawal in Japan: The Hikikomori Phenomenon. Journal of Asian Social Science, 15(2), 45-59. Saitō, T. (2013). Hikikomori: Adolescence Without End (Translated by Jeffrey Angles). Minneapolis: University of Minnesota Press. Satriatama, P. E. (2022). Fenomena Faktor Lingkungan Yang Menyebabkan Hikikomori Pada Masyarakat Di Jepang. KIRYOKU, 6(2), 170-175. Teo, A. R. (2013). A New Form of Social Withdrawal in Japan: A Review of Hikikomori. International Journal of Social Psychiatry, 59(1), 58-65.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
