Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Politik Feodalisme: Ketika Kekuasaan Menjadi Warisan

Agama | 2025-04-16 21:54:13

Di negeri ini, demokrasi memang berjalan. Pemilu rutin digelar. Rakyat bebas memilih. Tapi lihat lebih dekat, siapa yang berkontestasi? Siapa yang menguasai partai? Siapa yang mendominasi jabatan? Lagi-lagi wajah-wajah itu saja. Nama-nama lama. Keluarga itu-itu juga. Kekuasaan seolah menjadi milik segelintir orang — diwariskan, dipertahankan, dipelihara.

Inilah wajah “politik feodalisme” dalam tubuh demokrasi modern. Feodalisme yang dulunya berbasis darah biru, kini berganti baju: berbasis partai, berbasis dinasti, berbasis uang.

Feodalisme politik bukan lagi soal kerajaan atau bangsawan, tetapi tentang keluarga penguasa yang menancapkan pengaruh lintas generasi. Anak, menantu, adik, ipar, bahkan cucu disiapkan menjadi penerus. Dari DPR, kepala daerah, menteri, sampai presiden — semua seperti dipetakan dari ruang makan keluarga tertentu.

Ini bukan sekadar fenomena politik dinasti. Ini mentalitas feodal yang masih hidup subur. Kekuasaan dianggap hak turun-temurun. Loyalitas dituntut bukan pada gagasan atau kapasitas, tetapi pada hubungan darah dan jaringan.

Akibatnya, demokrasi kehilangan ruh meritokrasi. Yang naik bukan yang paling cakap, tapi yang paling dekat. Yang terpilih bukan yang paling pintar, tapi yang paling punya hubungan keluarga atau patron politik.

Mazhab Ciputat tentu memandang politik feodalisme ini sebagai ancaman bagi kemajuan demokrasi. Sebab, politik mestinya adalah ruang kompetisi gagasan, bukan arena warisan. Kekuasaan bukan milik keluarga, tetapi mandat dari rakyat.

Feodalisme politik juga mematikan regenerasi. Anak muda berbakat yang tidak punya “garis keturunan” atau “akses elite” sering kali terpinggirkan. Ide-ide segar, energi perubahan, dan keberanian untuk berbeda perlahan tersumbat dalam sistem politik yang dikunci oleh keluarga tertentu.

Lebih parah lagi, politik feodal menciptakan budaya patronase: siapa dapat jabatan, harus loyal pada patron. Bukan pada rakyat, bukan pada visi. Tetapi pada orang yang memberinya posisi.

Inilah titik paling rapuh dari demokrasi kita: ketika politik tak lagi menjadi ruang pengabdian, tetapi hanya menjadi warisan dinasti.

Dan kalau dibiarkan, demokrasi kita bukan lagi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat — tapi pemerintahan dari keluarga, oleh keluarga, untuk keluarga.

Pertanyaannya kemudian:

Mau sampai kapan politik kita dikuasai feodalisme yang dibungkus demokrasi?

Maukah kita terus jadi rakyat yang hanya menonton, sementara kekuasaan hanya berpindah dari satu keluarga ke keluarga lain?

Atau kita mulai belajar meruntuhkan tembok feodalisme itu — dengan menolak tunduk, dengan berani berpikir kritis, dan dengan mempercayai bahwa politik bukan warisan — tapi ruang perjuangan? (srlk)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image