Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Lailatul Aini

Pasar Larangan Sidoarjo: Penggerak Ekonomi atau Beban Tata Kota?

Sejarah | 2025-04-15 18:57:41
Sumber gambar: jawapos.com

Pasar tradisional telah menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Dari sekadar tempat barter sederhana, pasar kini berkembang menjadi pusat ekonomi lokal yang mendukung mata pencaharian jutaan orang, sekaligus menjadi ruang interaksi sosial dan budaya. Namun, di tengah pesatnya urbanisasi, pasar tradisional sering kali menghadapi tantangan serius, terutama terkait tata kota dan infrastruktur. Salah satu contoh nyata adalah Pasar Larangan di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menjadi cerminan dilema antara peran ekonomi dan dampaknya terhadap tata ruang perkotaan.

Pasar Larangan terletak di Desa Larangan, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, sebuah wilayah strategis yang dilalui jalur utama penghubung Surabaya dan Pasuruan. Pasar ini berada di tepi jalan raya yang ramai oleh kendaraan umum seperti angkutan kota (angkot), dengan Terminal Larangan di sampingnya. Lokasi yang strategis ini menjadikan Pasar Larangan sebagai salah satu pasar tradisional tersibuk di Sidoarjo, menarik pembeli dari berbagai wilayah.

Secara historis, Pasar Larangan bermula sebagai pasar sederhana yang melayani kebutuhan masyarakat desa pada beberapa dekade lalu. Seiring waktu, pertumbuhan populasi, perkembangan kawasan pemukiman, dan kedekatannya dengan zona industri mendorong pasar ini berkembang pesat. Pasar Larangan memiliki peran penting sebagai penggerak ekonomi lokal. Pasar ini menjadi sumber mata pencaharian bagi ribuan orang, mulai dari pedagang, pengemudi ojek, petugas parkir, hingga pekerja informal lainnya seperti porter dan penjual makanan. Harga barang yang kompetitif dan variasi produk yang beragam membuat pasar ini tetap menjadi pilihan utama masyarakat.

Selain itu, pasar ini memperkuat ikatan sosial melalui interaksi langsung antara penjual dan pembeli. Tradisi tawar-menawar tidak hanya menciptakan hubungan yang personal, tetapi juga memberikan fleksibilitas harga yang menguntungkan pembeli dengan daya beli terbatas. Dalam konteks ekonomi kerakyatan, Pasar Larangan adalah contoh nyata bagaimana pasar tradisional dapat menjadi solusi bagi kemiskinan dengan menyediakan lapangan kerja dan akses barang murah bagi masyarakat.

Namun, manfaat ekonomi ini tidak datang tanpa biaya. Pertumbuhan pasar yang tidak terkontrol telah menimbulkan dampak negatif, terutama dalam hal tata ruang dan lingkungan, yang pada akhirnya juga memengaruhi efisiensi ekonomi itu sendiri. Pasar Larangan kini menghadapi berbagai masalah, seperti kemacetan lalu lintas, pengelolaan limbah yang buruk, dan infrastruktur yang minim. Kondisi ini mencerminkan pola perkembangan pasar tradisional di banyak kota di Indonesia yang tumbuh secara organik tanpa intervensi yang memadai dari pemerintah hingga akhirnya menjadi beban tata kota.

Salah satu masalah utama Pasar Larangan adalah kemacetan lalu lintas. Karena pasar ini berada di jalur utama transportasi Sidoarjo, arus kendaraan pembeli dan pengantar barang sering meluber ke jalan raya. Keterbatasan lahan parkir juga memperparah situasi, sehingga banyak pengunjung terpaksa parkir di pinggir jalan. Hal ini menyebabkan penyempitan akses bagi kendaraan lain.

Infrastruktur di sekitar pasar juga sangat minim. Tidak ada zona pemuatan barang yang terorganisir, jalur pejalan kaki yang memadai, atau sistem drainase yang baik. Kios-kios informal yang menjamur di trotoar semakin memperburuk kepadatan, sementara pengelolaan limbah yang buruk menyebabkan genangan air dan bau tidak sedap, terutama saat musim hujan. Kondisi ini tidak hanya mengurangi kenyamanan pengunjung, tetapi juga menciptakan risiko kesehatan dan lingkungan.

Pemerintah daerah tampaknya belum memberikan perhatian yang cukup terhadap pasar tradisional seperti Pasar Larangan. Sumber daya lebih banyak dialokasikan untuk pengembangan mal modern atau pusat perbelanjaan, sementara pasar tradisional hanya mendapat dana terbatas untuk perbaikan infrastruktur. Akibatnya, kondisi fisik Pasar Larangan sangat kontras dengan perkembangan modern di sekitarnya, menciptakan kesenjangan yang mencolok antara tradisi dan modernitas.

Pasar Larangan mewakili ketegangan antara tradisi dan modernitas yang sering terjadi di kota-kota berkembang di Indonesia. Di satu sisi, pasar ini adalah simbol ketahanan ekonomi kerakyatan, memberikan ruang bagi pekerja informal dan mendukung kehidupan masyarakat lokal. Di sisi lain, pasar ini menyoroti tantangan dalam mengintegrasikan sistem ekonomi tradisional ke dalam tata kota modern. Jika tidak dikelola dengan baik, pasar tradisional dapat menjadi sumber disfungsi perkotaan, seperti kemacetan, polusi, dan ketidaknyamanan publik.

Intervensi pemerintah sering kali datang terlambat atau tidak sesuai dengan kebutuhan pedagang dan konsumen. Salah satu solusi yang sering diusulkan adalah relokasi pasar. Namun, dalam kasus Pasar Larangan, rencana relokasi telah menuai penolakan keras dari pedagang dan warga setempat. Mereka bergantung pada lokasi strategis pasar yang dekat dengan pemukiman dan jalur transportasi. Relokasi tanpa strategi yang matang justru dapat memutus mata pencaharian mereka dan mengurangi aksesibilitas bagi pembeli.

Untuk menyeimbangkan peran Pasar Larangan sebagai penggerak ekonomi dan mengurangi dampaknya terhadap tata kota, diperlukan pendekatan yang holistik. Pertama, pemerintah daerah perlu berinvestasi dalam perbaikan infrastruktur, seperti pembangunan lahan parkir yang memadai, zona pemuatan barang, jalur pejalan kaki, dan sistem drainase yang lebih baik. Kedua, pengelolaan limbah harus ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.

Selain itu pemerintah dapat melibatkan pedagang dan komunitas lokal dalam proses perencanaan. Misalnya dengan membentuk koperasi pedagang untuk mengatur tata letak kios dan memastikan kepatuhan terhadap aturan tata ruang. Pendekatan partisipatif ini dapat mengurangi resistensi terhadap perubahan dan memastikan solusi yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. penting untuk. Pemerintah juga dapat mengintegrasikan Pasar Larangan ke dalam program pariwisata lokal denganmempromosikan pasar tradisional sebagai bagian dari identitas budaya Sidoarjo, misalnya dengan menyelenggarakan pasar malam atau festival kuliner, sehingga pasar ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat ekonomi, tetapi juga sebagai daya tarik budaya.

Pasar Larangan adalah cerminan dari dinamika perkotaan di Indonesia, sebuah ruang yang penuh potensi ekonomi, tetapi juga sarat dengan tantangan tata kota. Sebagai penggerak ekonomi, pasar ini telah mendukung kehidupan ribuan orang dan mempertahankan tradisi budaya yang kaya. Namun, tanpa intervensi yang tepat, pasar ini dapat menjadi beban bagi tata ruang dan lingkungan. Dengan perencanaan yang lebih baik, keterlibatan komunitas, dan investasi infrastruktur yang memadai, Pasar Larangan dapat terus menjadi aset berharga bagi Sidoarjo, bukan hanya sekadar sumber masalah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image