Pentingnya Diplomasi Cermat Hadapi Tarif Resiprokal Amerika Serikat
Politik | 2025-04-14 23:11:34
Pengenaan tarif resiprokal sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia bukan sekadar kebijakan perdagangan biasa. Ini adalah sinyal keras yang merefleksikan memburuknya dinamika hubungan dagang antara dua negara yang selama ini menjalin kemitraan strategis. Kebijakan ini bukan hanya akan menghambat arus ekspor Indonesia ke AS, tetapi juga memicu efek lanjutan yang luas terhadap rantai pasokglobal yang melibatkan Indonesia, serta mengancam stabilitas sektor manufaktur dan industri dalam negeri.
Sebagai negara mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia, Amerika Serikat menyumbang sekitar 10,3 persen terhadap total ekspor nasional. Maka, kebijakan tarif yang tinggi tentu akan langsung memukul ekspor komoditas unggulan seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, produk pertanian, dan perikanan. Tak hanya itu, efek tidak langsung juga akan terasa ketika mitradagang Indonesia lainnya seperti Tiongkok, yang juga terdampak tarif serupa dari AS, mengurangi permintaanterhadap bahan baku dan komponen dari Indonesia. Inilah yang kemudian menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kontraksisektor produksi nasional secara menyeluruh.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dampak dari tarif ini terhadap pertumbuhan industri sangat signifikan. Sektor tekstil dan pakaian jadi diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif hingga -7,34 persen, sementara komponen elektrik dan peralatan elektrik masing-masing akan menurun hingga -6,25 persen dan -10,14 persen. Industri manufaktur lainnya bahkan diperkirakan terkontraksi hingga -22,11 persen. Ujungnya, Produk Domestik Bruto (PDB) nasional akan terkikis, meski tidak separah negara-negara tetangga seperti Vietnam atau Tiongkok. Namun, angkapenurunan 0,05 persen terhadap PDB tetaplah ancaman serius di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi dan krisisglobal.
Sayangnya, respons Pemerintah Indonesia terhadap dinamika ini belum mencerminkan kesiapan yang optimal. Kekosongan posisi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat adalah sinyal lemahnya antisipasi terhadap potensi konflik dagang. Padahal, keberadaan seorang duta besar di Washington bukan hanya penting secara administratif, tetapi juga strategis dalam membangun komunikasi intensif, melakukan lobi kebijakan, dan menjembatani diplomasi bilateral secara langsung. Dalam konteks seperti ini, diplomasi tidak bisa ditunda, apa lagi dilakukan setengah hati.
Laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menjadi dasar utama pengenaan tarif tersebut. Dalam laporan itu, AS menuding Indonesia menerapkan berbagai hambatan perdagangan, baik tarif maupun nontarif. AS mempermasalahkan regulasi terkait fiskal, perpajakan, imporpangan, sertifikasi halal, hingga syarat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang dinilai terlalu rumit dan diskriminatif. Namun, tudingan tersebut seharusnya tidak langsung diterima begitu saja, apalagi dijadikan dasar pembenaran untuk tarif sepihak. Pemerintah Indonesia harus aktif menyuarakan klarifikasi dan membalikkan narasi bahwa AS pun telah memberlakukan berbagai kebijakan yang merugikan Indonesia.
Sebagai contoh nyata, produk tekstil Indonesia yang masuk kepasar AS dikenai tarif sebesar 12,7 persen. Sebaliknya, produk tekstil AS yang masuk ke pasar Indonesia hanya dikenai tarif sebesar 1,7 persen. Ketimpangan semacam ini mencerminkan relasi perdagangan yang tidak setara dan harus disoroti dalam forum diplomatik. Indonesia perlu tegas menunjukkan bahwa prinsip perdagangan adil harus berjalan dua arah. Dalam konteksini, data dan fakta menjadi senjata utama dalam memperkuat posisi tawar.
Lebih jauh, Pemerintah Indonesia juga perlu menjadikan laporan NTE sebagai bahan refleksi dan evaluasi terhadap sistem perdagangan nasional. Apakah benar peraturan-peraturan domestik sudah terlalu kompleks hingga menimbulkan persepsi proteksionisme? Jika ya, maka inisiatif Presiden RI untukmelakukan deregulasi dan menyederhanakan kebijakan perlu dilaksanakan secara konkret dan menyeluruh. Birokrasi yang efisien, kepastian hukum yang kuat, serta transparansi dalam perizinan akan memperkuat kepercayaan dunia internasional terhadap iklim usaha di Indonesia.
Namun, perlu diingat bahwa deregulasi tidak boleh mengorbankan kepentingan nasional. Misalnya, kewajiban sertifikasi halal atau persyaratan TKDN bukan semata bentuk hambatan, tetapi bagian dari kedaulatan regulasi dan perlindungan konsumen. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem agar lebih efisien dan mudah diakses, tanpa menghilangkan substansi kebijakannya. Dengan begitu, Indonesia tetap bisa menjaga prinsip nasionalisme ekonomi tanpa terjebak dalam persepsi negatif dari mitra dagang.
Selain itu, data menunjukkan bahwa kebijakan nontarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat justru lebih banyak dibandingkan Indonesia. Pada 2024, AS tercatat menerapkan 495 hambatan teknis terhadap perdagangan (technical barriers to trade/TBT) dan kebijakan sanitasi dan fitosanitasi (sanitary and phytosanitary/SPS), sementara Indonesia hanya menerapkan 32 TBT dan SPS. Ini adalah bukti konkret bahwa AS juga sangat protektif terhadap pasarnya. Fakta ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menunjukkan bahwa narasi “Indonesia merugikan perdagangan AS” adalah argumentasi yang lemah dan bias.
Tarif resiprokal ini adalah ujian besar bagi kapasitas diplomasi ekonomi Indonesia. Di tengah kondisi global yang semakin tidak menentu, Indonesia harus mengambil langkah strategis, bukan hanya sebagai reaksi terhadap krisis, tetapi sebagai petajalan menuju kemandirian ekonomi yang berdaya saing tinggi. Indonesia tidak boleh bersikap inferior dalam forum dagang internasional. Justru inilah saatnya membuktikan bahwa negara ini memiliki kapabilitas untuk berdiplomasi dengan tegas, cerdas, dan bermartabat.
Negosiasi dengan Amerika Serikat harus dilakukan dengan prinsip saling menghormati, saling menguntungkan, dan berbasis pada data yang obyektif. Pemerintah juga harus memperkuat sinergi lintas kementerian dan lembaga untuk menyusun argumen, strategi, dan langkah diplomasi yang solid. Di sisi lain, dunia usaha, asosiasi industri, dan pelaku ekspor juga perlu dilibatkan aktif dalam perumusan kebijakan agar solusi yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan di lapangan.
Akhirnya, Indonesia harus memandang krisis ini bukan sebagai akhir, melainkan sebagai momentum untuk memperbaiki diri. Dengan memperkuat regulasi domestik, meningkatkan kualitas diplomasi, dan membangun kerja sama yang berimbang, Indonesia dapat melewati tantangan ini dan berdiri lebih kuat di pentas perdagangan global.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
