Membangun Pembelajaran Mandiri Versi Generasi Z
Eduaksi | 2022-02-19 07:26:38PEMBELAJARAN MANDIRI ALA GEN-Z
HERY WIBOWO[1]
Kajian ilmiah yang terangkum dalam Higher Education in the Era of the Forth Industrial Revolution karya Gleason (2019) menyatakan bahwa -dalam menghadapi kerasanya persaingan dan turbulensi industry 4.0- bekal pendidikan tinggi (SMU/SMK) saja tidak cukup, Sarjana saja tidak cukup, program Master dan Doktoral saja juga tidak cukup. Setiap orang saat ini bertanggung jawab pada pembelajaran seumur hidup dan peningkatan keterampilan yang berkelanjutan (lifelong learning and upskilling). Karena, adalah keterampilan yang terus terbarukan yang akan menyelamatkan dan menjamin keberlanjutan kehidupan para lulusan pada era dimana isi (konten) terus akan berubah. Maka inilah isu utama pendidikan masa depan, yaitu keterampilan yang berkelanjutan (terus dikembangkan dan cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman).
Hasil kajian dimuka, tentu merupakan sebuah ‘kode keras’ untuk tidak hanya menganggungkan pendidikan formal, dan mendewakan kurikulum pembelajaran generik. Diperlukan jauh lebih dari itu untuk membangun kesiapan bersaing dan bertahan hidup di masa depan era digital.
Melalui karya bukunya Strawberry Generation (Kasali, 2017) menyatakan bahwa yang dibutuhkan adalah pola pikir yang bertumbuh (growth mindset). Mereka selalu merasa diri “bodoh” dan selalu berpikir untuk membangun kompetensi serta kapabilitas baru (keterampilan yang spesifik). Merasa kurang belajar, adalah kata kunci untuk memompa motivasi agar dapat terus menggali pengetahuan baru dan mengeksplorasi jenis keterampilan yang dipersyaratkan.
Sehingga, para pencari kesuksesan instan tidak akan mendapatkan tempat di era ini. Bahkan, bukan hanya generasi strawberry yang hanya leyeh-leyeh saja yang akan tersingkir, namun juga bagi mereka yang hanya fokus berteori tanpa serius membangun keterampilan.
Maka, kesadaran seluruh pihak-pihak yang memegang kepentingan dan kewenangan dalam proses pendidikan perlu dibangun. Kurikulum pendidikan perlu diskemakan untuk membangun kemandirian dan mendorong pola pikir yang bertumbuh (growth mindset).
Model pendidikan jadoel dimana pembelajaran didoktrin dan disuapi wajib ditinggalkan (teacher center learning). Sebaliknya, sosialisasi pemahaman tentang pentingnya membangun pembelajaran secara mandiri (self directed learning) seluruh kapabilitas yang diperlukan di masa depan wajib diprioritaskan.
Generasi yang dibentuk adalah generasi yang memiliki kesadaran penuh bahwa hidup mereka di masa depan adalah tergantung proses pembelajaran mandiri mereka di masa kini. Skema kurikulum pada pendidikan formil, hanya salah satu dimensi mikro dari keseluruhan bangunan pembelajaran mandiri (self directed learning). Sedangkan rencana pembelajaran (progressive roadmap) subjektif/pribadi justru merupakan hal penting dan prioritas bagi individu pembelajar di era revolusi industry 4.0 ini.
Kemandirian
Saatnya para pelaku pendidikan hari ini, perlu mengajarkan semangat kemandirian (independency) sejak dini. Konteks dan konten industry yang terus berubah, tidak lagi menawarkan pekerjaan tetap dan terjamin sepanjang hayat. Maka, sebuah proses belajar wajib melibatkan peta jalan peningkatan kompetensi pribadi, untuk dapat beradaptasi dengan cepat dan benar pada tuntutan dunia industri maupun entrepreneurship.
Revolusi industry 4.0 telah mengubah level kecepatan perubahan jaman. Terminologi ‘revolusi’ menunjukkan perubahan yang radikal dan mendadak (Scwab, 2019). Teknologi digital telah berubah dengan cepat dengan kuantitas dan kualitas yang sangat mengagumkan. Sehingga akan banyak meninggalkan korban (powerless object) yang tidak mampu berpikir dan belajar cepat untuk menyesuaikan diri.
Seiring dengan hal tersebut, perubahan kepribadian dan karakter generasi z (kelahiran 2001-2010) dan generasi Alpha (2010-sekarang) -dibandingkan gerenasi sebelumnya- menjadi semakin nyata. Marcomm (2019) menjelaskan setidaknya terdapat terdapat sejumlah karakteristik umum generasi ini: (1) Melek digital, (2) Cenderung konsumtif, (3) Bersedia menabung untuk sesuatu yang diinginkan, (4) rasa ingin belajar (tahu) yang tinggi/knowledgeable (5) Digital sebagai media komunikasi, (6) Menjadi Entrepreneur tanpa persiapan, (7) Mengutamakan fasilitas dan apresiasi di dunia kerja, (8) Rise of the Experential, (9) Radical Transparancy, (10) Fear of Missing Out/FOMO.
Sehingga, ketidakpedulian praktisi pendidikan untuk tidak segera menyesuaikan kurikulum terhadap karakter generasi ini adalah sebuah ‘dosa besar’ yang berujung pada praktik kontra produktif. Pembelajaran berbasis siswa (student center learning) merupakan sebuah keniscayaan yang tidak boleh dinafikan begitu saja. Inilah skema untuk mendorong mereka bertanggung jawab atas proses belajaranya. Sehingga para pendidik dan orang tua, perlu terus selalu mendorong para pembelajaran generasi Z ini untuk terus memaknai tanggung jawab ini sebagai mandatori pribadi untuk terus dikuatkan. Student Center Learning, mewajibkan pembelajaran paham terkait arah pendidikan yang ditempuhnya, dan mampu mendorong dirinya mengikuti peta jalannya.
Melalui karakter ‘digital’ dimuka, tampak bahwa generasi ini telah sangat siap untuk membangun peta jalan kompetensi mereka sendiri. Sehingga yang diperlukan adalah pendamping cerdas yang mampu meluruskan jalannya dan memastikan mereka mencapai tujuan-tujuan dan visinya. Bukan malah terus mendoktrin dengan pengalaman masa lampau serta menjejalkannya dengan teori-teori yang sudah kadaluarsa.
Ekosistem sosial dan digital yang memayungi generasi ini, berpotensi kondusif untuk mendorong mereka menjadi pembelajar mandiri, yang sadar penuh akan tanggung jawab kehidupan masa depannya.
AMANAH INSAN
Amanah setiap insan untuk menjadi pembawa maslahat dan manffat dimuka bumi tentunya adalah pondasi dasar bagi semangat pembelajaran mandiri ini. Maknanya, tuntutan untuk berkinerja optimal pada mahluk manusia adalah setiap saat, sehingga tidak tersisa waktu untuk melakukan hal yang sebaliknya, -yaitu berbuat kerusakan.
Tidak mengusahakan untuk membangun pembelajaran mandiri, adalah langkah yang menyalahi fitrah. Fitrah insan individu adalah untuk selalu iqro dan membangun kapabilitas pribadi, sehingga menjadi mahluk bermartabat dan bermasalah, alih-alih hanya menjadi benalu.
Maka, pekerjaan rumah para pendidik di era dimana setiap orang dapat menjadi pintar dan memintarkan dirinya ini, adalah tentu soal spiritualitas, moral dan etika. Perlu selalu dibangun kearifan pendidikan, agar para pembelajar tidak keluar pagar. Maka, pekerjaan rumah selanjutnya adalah menata seluruh skema pendidikan agar tidak membuat para pembelajar, -dengan bertambahnya ilmu yang dikuasinya- menjadi “jumawa berlebihan” dengan ilmu yang dikuasainya, namun justru semakin “tawadhu” dan kerdil dihadapan Sang Maha Pencipta.
Daftar pustaka
As Sufi, Shaykh AbdalQadir. 2013. Akar Pendidikan Islam (judul sli Root Islamic Education). Depok-Jawa Barat. Penerbit Pustaka Adina
Gleason, Nancy W (editor). 2019. Higher Education in the Era of the Forth Industrial Revolution. Singapure. Palgrave Macmillian. Springer Nature Singapure, Ptd, Ltd
Kasali, Renald. 2017. Strawberry Generation. Cetakan ketiga. Jakarta. Penerbit Mizan
Kasali, Renald. 2018. The Great Shifting: Series on Disruption. Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan keempat
Marcomm, Mix. 2019. Millenials. (penyunting: Danas). Jakarta. PT Sembilan Cahaya Abadi.
Savitri, Astrid. 2019. Revolusi Industri 4.0; Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Penerbit Genesis.
Schwab, Claus. 2019. Revolusi Industri Keempat. (judul asli: the forth Industiral Revolution) Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
Unduhan Digital
Diunduh dari https://ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2018/05/Layout-Majalah-Ristekdikti-I-2018-Update-Page-20180426.pdf
[1] DOSEN KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN MANAJER AKADEMIK FISIP UNPAD
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.