
Idul Fitri dari Masa ke Masa
Agama | 2025-04-10 10:16:42
Di sepanjang masa, kaum muslim berbahagia memasuki 1 Syawal, dengan pakaian terbaik mereka, hidangan yang lezat, serta harapan dan rasa syukur yang melangit ke haribaan Ilahi Rabbi. Maka seluruh kemeriahan dipersiapkan menyambutnya, bersama sanak keluarga, kerabat yang dekat maupun yang jauh.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idulfitri dan Iduladha (hari Nahr)”
(HR An-Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Begitu pula yang terjadi ketika umat merayakan hari raya saat pertama kalinya pada 1 Syawal 2 H (624 M), bersamaan dengan perayaan kemenangan pasukan muslim dalam Perang Badar. Takbir berkumandang di seluruh penjuru, baik di rumah-rumah, di jalan, masjid, pasar dan di tempat-tempat lainnya.
Anak-anak mendendangkan syair dan nasyid diiringi suara rebana. Para pemuda Habasyah (Ethiopia-Somalia) menarikan tarian perang. Aisyah menyandarkan kepalanya di bahu Nabi, menyaksikan pertunjukan tadi. Bahkan saat Abu Bakar ra. melarang mereka melakukan hal itu, Rasulullah saw. pun mencegahnya. Dalam satu riwayat, Muhammad saw. bersabda kepada Abu Bakar ra., “Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan hari raya kita adalah hari ini”.
Beberapa tahun setelahnya, pasca-fathul Makkah (20 Ramadan 8H), syiar Islam semakin tampak di sana. Kaum muslim membersihkan Ka'bah dan seisi kota, dari ratusan berhala, gambar, dan sesembahan. Setelahnya, mereka melakukan i'tikaf di 10 malam terakhir dan umrah di Masjidil Haram. Mereka berhari raya dengan kerabat di kampung halaman mereka, Makkah, dalam suasana yang penuh kedamaian.
Pada tanggal 4 Syawal masih di tahun yang sama, dan suasana Lebaran masih terasa, terjadi pertempuran melawan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif di Lembah Hunain. Pasukan muslim terdiri 15 ribu pasukan siaga dan 7 ribu dari Quraisy mu'alaf. Ghanimah sebanyak 100 - 200 ekor unta diberikan pada pasukan Quraisy mu'alaf. Sedangkan pasukan siaga dari Madinah tidak mendapatkan apapun. Sebagian dari mereka tampak bingung dengan keputusan Rasulullah, hingga Rasulullah saw. mengatakan, "Tidakkah kalian merasa bahagia bahwa Rasulullah pulang bersama mereka, sedangkan orang Quraisy pulang membawa unta".
Di sini tampak keimanan pasukan siaga diuji, bahwa tidak ada kebaikan yang lebih tinggi di muka bumi ini ketimbang kemuliaan Rasulullah saw. Buah penempaan 30 hari Ramadan, kaum Anshar dan muslim lainnya yang berada dalam pasukan tadi, akhirnya bisa menerima keputusan Rasulullah dan mengatakan, "Kami rida engkau pulang bersama kami". Rasul pun mendoakan mereka, "Wahai orang Anshar semoga Allah mencurahkan kebaikan pada anak-anak dan cucu kalian."
Tak jauh berbeda saat Lebaran di era sahabat. Mereka mewarisi pula kepemimpinan Rasulullah saw. dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Mereka mengganti perayaan Nairuz dan Mahrazan di antara orang Arab yang merupakan warisan Persia. Lampu-lampu dinyalakan di masjid, rumah-rumah, dan fasilitas umum. Para khalifah menetapkan awal dan akhir Ramadan, dan kaum muslim pun mengikutinya. Meski pada akhirnya wilayah Daulah meluas hingga 2/3 dunia, namun tak ada perbedaan hari raya. Bahkan khalifah menjadi khatib salat id di pemerintahan Daulah Islam.
Di masa Umawiyah, takmim khalifah di Damsyiq (Damaskus) yang mengumumkan berakhirnya Ramadan. Pelabuhan Damsyiq kala itu masih di bawah kekuasaan Romawi. Saat terjadi pandemi black death di Eropa, pelabuhan menjadi pintu masuk wabah tadi memasuki negeri muslim. Bimaristan (Darus Syifi) berupaya mengatasinya. Komunikasi dan transportasi antar wilayah juga terhalang. Maka ketika 1 Syawal sudah ditetapkan di Damaskus, Makkah - Madinah belum mendapatkan berita tersebut. Ba'da zuhur datang utusan menyampaikan hal tersebut.
Di masa Kekhalifahan Umayyah, kaum muslim pernah berhari raya di tengah peperangan, yaitu tatkala Thariq bin Ziyad dengan 15 ribu pasukannya menuju Gibraltar, Wadi Lakah Guadalette. Peperangan terjadi sejak 28 Ramadan hingga 5 Syawal 711 M. Ini adalah bentuk ketinggian keimanan kaum muslim pada waktu itu, yang tetap melaksanakan jihad fii sabilillah meski di hari Lebaran.
Di masa Abasiyah, Lebaran dirayakan 3 hari berturut-turut. Di sepanjang jalan dihiasi lampu-lampu dengan beragam ornamen yang diiringi nasyid dan instrumentalia. Setelah salat id, kaum muslim saling berbagi eidia (hadiah) kepada anak-anak di antara mereka. Eidia bisa berupa uang, permen, penganan, coklat atau madu yang dimasukkan dalam kotak dengan hiasan warna-warni.
Tak hanya itu, mereka juga melakukan ziarah kubur sebagai dzikrul maut. Mungkin itu sebabnya tradisi ini berlanjut sampai sekarang, datang ke makam sebelum memasuki Ramadan atau Syawal.
Tak hanya itu, mereka juga melakukan ziarah kubur sebagai dzikrul maut. Mungkin itu sebabnya tradisi ini berlanjut sampai sekarang, datang ke makam sebelum memasuki Ramadan atau Syawal.Daulah Mamlukiyah di Kairo, Al-Qahirah, pun tak jauh berbeda. Namun kali ini Khalifah membagikan hadiah kepada rakyatnya, tidak hanya untuk anak-anak.
Pada masa pemerintahan Utsmaniyah, khalifah akan memberikan takmim ru'yatul hilal, apakah diputuskan Ramadan telah berakhir atau digenapkan hingga 30 hari. Berakhirnya Ramadan akan ditandai dengan dentuman meriam di Anadholu Hisari oleh Beyazid.
Khalifah pun melakukan parade diiringi 30 ribu pasukan sekaligus merupakan bentuk show of force, serta menyapa warga yang hadir dan mengundang mereka agar hadir di jamuan makan di Topkapi Sarayi.
Di masa Khalifah Abdul Hamid II, para aghniya bersedekah membebaskan utang gharimin mustadh'afin (orang lemah, fakir, miskin) yang ada di antara masyarakat. Kantung-kantung uang digantungkan di ranting-ranting pohon, agar setiap orang yang membutuhkan dapat langsung mengambilnya. Mereka juga mendatangi para pedagang di pasar-pasar, dan menutupi utang orang-orang yang berutang. Meskipun mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki motivasi membantu, meringankan beban sesama muslim, mengasihi dan senang berbagi.
Inilah gambaran hari raya kaum muslim di sepanjang masa. Jika kita masih melihat beberapa kesamaan aktivitas kita saat mengisi Lebaran, dengan kaum muslim di masa lampau, bisa jadi karena tradisi tersebut memang diturunkan dari masa ke masa. Namun tak hanya bersenang-senang di hari Lebaran, sebab jihad fii sabilillah pun dapat ditegakkan di hari raya.
Karena sejatinya kezaliman tidak boleh mendapat panggung, atau dibiarkan begitu saja. Tetapi harus segera dienyahkan dan membebaskan siapapun yang berada dalam tekanan kekuatan jahat. Maka sangat mungkin bagi kita melaksanakannya, di bawah komando satu kepemimpinan umat, untuk membantu saudara muslim Palestina yang berada dalam petaka genosida. Taqabalallahu minna wa minkum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook