Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muammar Khadafi

Seni Mengikhlaskan, Suatu Jalan yang Mengasyikan BAGIAN 2

Eduaksi | Friday, 18 Feb 2022, 23:59 WIB

Pada artikel sebelumnya Kita telah membahas tentang apa itu ikhlas dan menjadikan Allah sebagai puncak dari keikhlasan Kita. Ikhlas bermakna murni dan mengikhlaskan bermakna memurnikan. Kita telah memahami bahwa hal pertama yang wajib diikhlaskan oleh Kita adalah hati Kita. Sebab hati atau bentuk rilnya adalah pikiran dan jantung Kita dimana tempat terjadinya proses berpikir dan merasa. Setelah hati Kita diikhlaskan dari segala ketidakmurnian, maka hal selanjutnya yang harus dimurnikan adalah lisan Kita.

Lisan Ikhlas Dipenuhi Dzikrullah

Buah nyata dari pohon pikiran dan perasaan Kita adalah kata-kata yang diucapkan lisan Kita. Hati yang ikhlas selalu diikuti oleh lisan yang murni. Lisan yang murni itu pasti hanya mengucapkan kata-kata yang bermanfaat untuk Sang jiwa. Kita terkadang mengucapkan kata-kata yang sia-sia atau minim makna. Padahal kata-kata itu sangat memiliki efek yang sangat besar dalam kehidupan yang Kita alami. Kita bisa melihat ketika ada seseorang dihardik “bodoh, tolol, atau sejenisnya”, maka orang yang dihardik itu akan merasa sangat marah dan Kita bisa melihat hal itu dari ekspresi mukanya. Prinsip ini sebenarnya juga memiliki efek yang sama terhadap diri Kita sendiri. Coba saja Kita katakan terhadap diri sendiri, “Aku ini sebenarnya bukan gagal, tapi sedang dalam proses menuju berhasil.” Kita pasti akan merasa setiap beban di pundak itu hilang seketika sebab kata-kata itu telah merubah perspektif kita tentang kegagalan yang bersifat “maya”. Allah subhanahuwataala telah memerintahkan “Dan hendaklah mengucapkan perkataan-perkataan yang baik (husna) kepada manusia” (Al-Baqarah [2]: ayat 83). Dan sebaik-baiknya kata yang bisa Kita produksi adalah kata-kata yang membuat Kita mengingat Allah subhanahuwataala. Hati yang ikhlas itu dipenuhi dengan Allah subhanahuwataala begitu juga dengan lisan yang ikhlas itu dipenuhi dengan mengingat Allah subhanahuwataala (dzikrullah). Kita sangat perlu sekali memperbanyak dzikrullah. Saat lisan Kita dipenuhi dengan mengingat-Nya di saat itu juga lisan Kita dipenuhi daya-daya ilahiah.

Dzikrullah dalam Berbagai Konteks

Hal selanjutnya yang harus Kita pahami adalah dzikrullah itu dilakukan dalam berbagai keadaan atau konteks. Allah subhanahuwataala dan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kepada Kita tentang zikir-zikir yang bisa lafalkan di lisan kita semisal lailahaillallah, astagfirullah, subhanallah, alhamdullillah, dan sejenisnya. Zikir-zikir yang terdapat pada Quran dan Sunnah adalah zikir-zikir yang paling baik dari segala zikir yang ada. Akan tetapi dzikrullah itu juga bisa dilakukan sesuai dengan keadaan dan latar belakang dari orangnya. Semisal ketika Pembaca melihat kejadian luar biasa, tapi Pembaca bingung harus membaca zikir apa, maka pembaca boleh mengatakan “Sungguh luar biasa, semua ini terjadi dengan seizin Allah”. Atau ketika Pembaca sedang dalam keadaan bahagia lalu Pembaca mengucapka “Terima kasih ya Allah atas semua ini”, semua itu adalah hal-hal yang sah-sah aja sebab Allah subhanahuwataala adalah Tuhan yang Mahamengerti. Lalu juga dzikrullah dalam konteks selanjutnya adalah ketika Kita mengingatkan sesama untuk sama-sama mengingat Tuhan. Entah mengingatkan supaya orang-orang disekitar kita supaya membaca bismillahirrahmanirrahim sebelum memulai segala sesuatu, memperbanyak istigfar kepada Allah subhanahuwataala ketika melakukan berbagai macam aktivitas, atau hal-hal sejenis lainnya.

Allah subhanahuwataala berfirman, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha [20]: Ayat 124)

Bersambung...

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image