Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anfiana Zami Rohmah

Fleksibilitas Tanpa Perlindungan: Realitas Pahit Pekerja Gig Economy

Humaniora | 2025-03-26 12:48:42
Sumber ilustrasi: Canva

Era digital telah membawa perubahan yang besar dalam dunia kerja. Salah satunya, fenomena baru dalam dunia kerja, yaitu gig economy. Gig economy telah menjadi topik hangat dalam diskusi ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan digitalisasi, semakin banyak orang yang beralih ke gig economy baik sebagai pengemudi ojek online, kurir, penerjemah, pekerja lepas (freelancer) hingga tenaga profesional di berbagai bidang.

Pekerjaan gig menawarkan fleksibilitas dan kebebasan bagi para pekerja untuk menentukan waktu dan tempat kerja mereka. Banyak individu kini memiliki kebebasan untuk memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan waktu mereka. Gig economy memang membuka peluang kerja, tetapi juga mengancam kesejahteraan sosial dan merugikan pekerja. Di balik kebebasan yang tampak menarik, ada risiko yang sering terabaikan.

Pertumbuhan Gig Economy di Indonesia

Perkembangan teknologi digital telah mendorong perubahan besar dalam sistem ketenagakerjaan melalui gig economy. Mayoritas pekerja gig berasal dari sektor informal sesuai data BPS per Agustus 2024 mencapai 57,95% dari total 144,64 juta pekerja di Indonesia.

Menurut Aisha, sebanyak 88,68% penduduk di Jakarta tergolong kelas menengah (Arafat, dkk 2025), dan banyak dari mereka memanfaatkan pekerjaan gig untuk menambah penghasilan dan menjaga stabilitas finansial. Dengan demikian, pekerjaan gig di Indonesia terus meningkat, terutama di sektor transportasi dan pergudangan seperti ojek online, kurir, dan lainnya. Selain itu, pada sektor informasi dan komunikasi mengalami pertumbuhan yang cepat juga, meliputi desain, animasi, penulisan, dan pengembangan perangkat lunak.

Permasalahan yang Dihadapi Pekerja Gig

Meskipun memberikan kesempatan untuk bekerja dengan fleksibel, gig economy juga menghadirkan sejumlah tantangan serius bagi para pekerjanya.

Pertama, kebebasan yang berisiko. Pekerja gig tetap terikat oleh algoritma yang ditetapkan oleh platform atau oleh permintaan pasar. Contohnya, pengemudi ojek online harus terus aktif menggunakan aplikasi agar mendapatkan pesanan. Jika kinerja mereka menurun atau tidak mencapai target, mereka berisiko kehilangan akses akun tanpa adanya peringatan sebelumnya. Freelancer pun menghadapi ketidakpastian proyek-proyek. tanpa jaminan penghasilan tetap.

Kedua, minimnya perlindungan dan hak pekerja. Berbeda dengan pekerja formal yang mendapatkan gaji bulanan, asuransi kesehatan, dana pensiun atau pesangon saat di-PHK, pekerja gig tidak memiliki hak-hak tersebut.

Seperti pengemudi ojek online, statusnya yang dianggap sebagai mitra perusahaan, membuat mereka sulit mengakses perlindungan sosial. Lebih lanjut, sebagian besar pekerja gig juga tidak terdaftar dalam program jaminan sosial. Misalnya, di NTB hingga Desember 2024, pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dari sektor informal hanya 19% atau 208.558 orang dari 1,09 juta potensi peserta.

Ketiga, persaingan ketat dan pendapatan tidak menentu. Melihat pada sektor transportasi online, jumlah pengemudi yang terus meningkat serta perubahan dalam skema insentif mengakibatkan pendapatan yang tidak stabil. Situasi serupa juga terjadi di dunia freelance, di mana para pekerja harus bersaing dengan tenaga kerja global dan menghadapi tawaran tarif yang lebih rendah.

Riset Arafat, dkk (2025) menunjukkan bahwa pekerja gig berusia 15 tahun ke atas memiliki selisih pendapatan 293.432 rupiah dibanding bukan pekerja gig dan di sektor transportasi, selisihnya meningkat menjadi 1.559.339 rupiah. Meskipun pendapatan pekerja di sektor gig meningkat dua kali lipat, mereka masih akan tetap berada di bawah ambang batas kemiskinan.

Keempat, eksploitasi terselubung oleh platform. Banyak platform yang mengklaim hanya sebagai "perantara", namun mereka mengendalikan hampir semua aspek pekerjaan tanpa bertanggung jawab sebagai pemberi kerja.

Misalnya, perusahaan transportasi online yang menurunkan tarif dasar tanpa memperhitungkan biaya operasional pengemudi atau platform freelance yang menaikkan komisi tanpa memperhatikan keberlanjutan pendapatan pekerja. Meskipun gig economy menawarkan fleksibilitas, banyak pekerja gig yang menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan mereka memiliki risiko kerja lebih tinggi dibanding pekerja formal.

Kelima, kesenjangan regulasi dan perlindungan hukum.Minimnya regulasi yang jelas membuat pekerja gig rentan mengalami eksploitasi dan ketidakadilan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengakomodasi pekerja gig, sehingga mereka rentan mengalami eksploitasi. Meskipun pemerintah berupaya meningkatkan partisipasi pekerja gig dalam BPJS ketenagakerjaan, tingkat kepesertaan masih rendah.

Gig economy di Indonesia terus berkembang, tetapi masih menghadapi tantangan besar dalam perlindungan pekerja dan kestabilan ekonomi mereka. Masalah-masalah tersebut membutuhkan tindakan nyata dari berbagai pihak.

Regulasi yang Melindungi Pekerja Gig

Pemerintah harus merancang peraturan yang menjamin keadilan serta kesejahteraan bagi pekerja gig. Aturan tersebut dapat mencakup ketentuan tentang upah minimum, jaminan sosial, dan perlindungan dari eksploitasi, serta hak pekerja gig jika mengalami pemutusan kerja secara sepihak. Pemerintah juga perlu menetapkan regulasi yang agar perusahaan dapat mendiskusikan skema insentif dengan perwakilan pekerja.

Transparansi dan Perlindungan Pekerja Gig dari Perusahaan

Perusahaan platform gig juga perlu bertanggungjawab dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem kerja mereka. Mereka harus memberikan informasi yang jelas mengenai upah, jam kerja, dan hak-hak pekerja. Bahkan jika bisa, perusahaan dapat berinvestasi dalam program pelatihan untuk membantu pekerja gig meningkatkan keterampilan mereka, sehingga mereka dapat bersaing di pasar yang semakin kompetitif.

Mereka perlu menyampaikan informasi secara transparan mengenai gaji/upah, jam kerja, serta hak-hak yang dimiliki pekerja. Bahkan jika memungkinkan, perusahaan dapat mengalokasikan investasi untuk program pelatihan guna membantu pekerja gig mengembangkan keterampilan mereka, sehingga mampu bersaing di pasar kerja yang semakin ketat.

Meningkatkan Kesadaran dan Kemandirian Pekerja

Pemberian edukasi kepada pekerja gig tentang hak serta kewajiban mereka sangatlah penting. Mereka juga dapat membentuk organisasi atau serikat pekerja guna memperjuangkan kepentingan bersama. Dengan memahami hak-hak mereka, pekerja dapat lebih aktif dalam menuntut perlindungan yang lebih baik.

Pekerja juga perlu memiliki pemahaman mengenai literasi keuangan agar dapat mengelola pendapatan dengan mereka baik. Mengingat gig economy tidak selalu memberikan kestabilan dalam jangka panjang, mereka bisa mempertimbangkan opsi lain, seperti mencari pekerjaan yang lebih stabil atau merintis usaha sendiri agar tidak sepenuhnya bergantung pada pekerjaan gig.

Gig economy telah membuka peluang pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja baru, tetapi juga menghadirkan tantangan bagi hak-hak pekerja. Fleksibilitas yang ditawarkan sering kali hanya kenyamanan semu yang lebih menguntungkan perusahaan dibanding pekerja. Penting untuk memastikan bahwa pekerja gig dilindungi dari ketidakpastian dan eksploitasi.

Kini saatnya kita memandang gig economy secara lebih objektif, tidak hanya sebagai solusi, tetapi juga sebagai tantangan yang perlu dievaluasi. Agar gig economy benar-benar memberikan manfaat yang adil, diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk menciptakan ekosistem kerja gig yang lebih adil dan berkelanjutan. Regulasi saat ini belum cukup untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi pekerja gig.

Perlu adanya reformasi kebijakan yang lebih inklusif dalam bentuk jaminan sosial, regulasi upah minimum, maupun transparansi kebijakan platform serta kesadaran yang tinggi dari semua pihak agar gig economy memberikan manfaat bagi semua orang. Kita dapat memastikan bahwa perkembangan teknologi dan perubahan dalam dunia kerja tetap menjaga serta menghormati hak-hak pekerja.

Referensi:

Arafat, L. O. A., dkk. (2025). GIG Economy sebagai Sumber Ekonomi Baru Penduduk Kelas Menengah di Jakarta. Jurnal Ekonomi Kependudukan dan Keluarga, Vol 2(1), pp. 23-38.

BPS. (2025). Persentase Tenaga Kerja Formal Menurut Provinsi (Persen) Tahun 2024. Diperoleh dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTE2OCMy/persentase-tenaga-kerja-formal-menurut-provinsi--persen-.html. Diakses tanggal 21 Maret 2025.

BPS. (2024). Jumlah dan Persentase Penduduk Bekerja dan Pengangguran. Diperoleh dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTk1MyMy/jumlah-dan-persentase-penduduk-bekerja-dan-pengangguran.html. Diakses tanggal 21 Maret 2025.

BPJS Ketenagakerjaan. (2025). Baru 19 Persen, Cakupan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan untuk Pekerja Informal di NTB. Diperoleh dari https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/29268/Baru-19-Persen,-Cakupan-Kepesertaan-BPJS-Ketenagakerjaan-untuk-Pekerja-Informal-di-NTB-. Diakses tanggal 22 Maret 2025.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image