Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Raras Kartika Muluk

Beban berat, Gaji limit: Mengapa Kesejahteraan buruh pabrik masih terabaikan?

Kolom | 2025-03-28 08:40:19
Sumber ilustrasi: Canva

Di tengah pesatnya perkembangan industri, kesejahteraan tenaga kerja, khususnya buruh pabrik, masih menjadi masalah yang sering terabaikan. Meskipun produktivitas karyawan meningkat seiring dengan kemajuan teknologi dan proses produksi, kenyataannya banyak buruh yang terpaksa bekerja dalam kondisi fisik yang berat dengan imbalan upah yang tidak sebanding. Upah yang rendah, jam kerja yang panjang, dan minimnya fasilitas pendukung kesehatan serta keselamatan kerja menjadi realitas pahit yang harus diterima oleh banyak buruh. Padahal, kontribusi mereka sangat penting bagi kelancaran operasional pabrik dan pertumbuhan ekonomi perusahaan. Ketimpangan antara tenaga yang diberikan dan upah yang diterima ini menimbulkan ketidakadilan sosial dan memperburuk kualitas hidup mereka.

Mengapa kesejahteraan tenaga kerja masih sering terabaikan, padahal mereka adalah garda terdepan dalam dunia industri?

Kesejahteraan tenaga kerja adalah salah satu aspek penting dalam hubungan industrial yang adil dan seimbang antara pengusaha dan pekerja. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kesejahteraan pekerja menjadi salah satu pilar utama dalam menciptakan hubungan industrial yang adil dan seimbang antara pengusaha dan pekerja. Pasal 1 ayat (3) dari UU ini bahkan menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan layak sesuai dengan martabat kemanusiaan dalam lingkungan kerja yang aman, sehat, dan bebas dari diskriminasi.

Namun, meskipun ketentuan hukum ini telah ada, kenyataannya banyak buruh pabrik yang masih merasakan ketidakadilan dalam hal upah, jam kerja, dan kondisi kerja yang kurang memadai. Ketidakseimbangan antara tenaga yang diberikan dan upah yang diterima oleh buruh pabrik menjadi salah satu penyebab utama kesejahteraan tenaga kerja yang masih terabaikan.

Salah satu alasan utama ketidakadilan ini adalah adanya ketimpangan antara beban kerja yang harus dipikul oleh buruh pabrik dan upah yang mereka terima. Buruh pabrik seringkali dipaksa untuk bekerja dalam jam-jam yang panjang dengan tugas yang berisiko tinggi, baik dalam hal fisik maupun keselamatan kerja, namun imbalan yang mereka terima tidak sebanding dengan kontribusi tersebut. Meskipun produktivitas mereka meningkat, upah yang diterima justru tidak sesuai atau bahkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Hal ini menimbulkan ketimpangan ekonomi, di mana buruh yang memberikan tenaga dan waktu terbaiknya tidak mendapatkan penghargaan yang setimpal.

Upah buruh pabrik yang rendah seringkali diikuti dengan minimnya jaminan sosial dan fasilitas kesehatan yang memadai. Dalam banyak kasus, buruh pabrik harus bekerja di lingkungan yang berisiko tinggi tanpa perlindungan yang cukup dari perusahaan. Penyakit akibat kerja, cedera, atau bahkan kecelakaan fatal sering kali menjadi akibat dari kurangnya perhatian terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Padahal, menurut UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja berhak bekerja dalam kondisi yang aman dan sehat. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pengusaha sering kali lebih fokus pada efisiensi produksi dan keuntungan finansial dibandingkan dengan kesejahteraan karyawan mereka.

Selain itu, meskipun pemerintah telah menetapkan Upah Minimum Regional (UMR) sebagai batas minimum upah yang harus dibayar kepada pekerja, kenyataan di banyak pabrik menunjukkan bahwa upah yang diberikan masih jauh dari cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak. Banyak buruh yang bekerja dengan gaji yang tidak mencukupi untuk kebutuhan dasar mereka, seperti tempat tinggal, pendidikan anak, dan kesehatan. Hal ini menyebabkan mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan meskipun telah bekerja keras sepanjang waktu. Selain masalah upah, diskriminasi dalam tempat kerja juga menjadi faktor yang menghambat kesejahteraan tenaga kerja. Terkadang, buruh perempuan atau pekerja migran sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil, baik dari segi kesempatan kerja maupun upah yang diterima. Padahal, Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas menyebutkan bahwa setiap pekerja berhak atas perlakuan yang adil dan layak.

Mengapa kesejahteraan tenaga kerja masih terabaikan meskipun ada regulasi yang mengaturnya? Salah satu faktor utama adalah kurangnya pengawasan yang efektif dari pemerintah terhadap penerapan hukum ketenagakerjaan. Banyak perusahaan yang melanggar hak-hak pekerja tanpa konsekuensi yang signifikan. Selain itu, kelemahan dalam implementasi kebijakan upah minimum dan ketidakmampuan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya juga menjadi hambatan dalam mewujudkan kesejahteraan mereka. Untuk itu, diperlukan upaya bersama antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang adil. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan, sementara pengusaha harus lebih memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan pekerja mereka. Hanya dengan kerjasama ini, kesejahteraan tenaga kerja akan tercapai, dan hubungan industrial yang harmonis dapat diwujudkan.

Ketidakseimbangan antara tenaga yang dikeluarkan oleh buruh pabrik dan upah yang diterima merupakan masalah yang cukup serius di banyak sektor industri Indonesia. Meskipun buruh menjadi tulang punggung produksi, kenyataannya, mereka sering kali hanya menerima gaji yang minim dan tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal ini terjadi karena sebagian besar upah yang diterima buruh masih berada di bawah standar kebutuhan hidup layak (KHL), sementara jam kerja yang panjang dan kondisi kerja yang terkadang berisiko tinggi semakin menambah beban mereka. Penyebab utama dari ketimpangan ini adalah sistem ekonomi dan bisnis yang mengutamakan efisiensi dan keuntungan, sering kali mengabaikan hak-hak dasar buruh. Dalam banyak kasus, pengusaha lebih mementingkan pengurangan biaya produksi dari pada meningkatkan kesejahteraan pekerja. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan ketenagakerjaan, yang menyebabkan banyak buruh tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Solusi untuk mengatasi ketidakadilan ini memerlukan reformasi yang menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat regulasi mengenai upah minimum dan menjamin perlindungan hak-hak buruh, seperti jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan waktu istirahat yang memadai. Selain itu, perusahaan juga harus diingatkan bahwa kesejahteraan buruh bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga investasi jangka panjang bagi produktivitas mereka. Dengan memperhatikan kesejahteraan buruh, perusahaan akan mendapatkan tenaga kerja yang lebih termotivasi dan loyal, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan daya saing perusahaan itu sendiri. Sebuah keseimbangan antara keuntungan dan hak pekerja harus menjadi prioritas, karena kesejahteraan buruh adalah kunci untuk menciptakan industri yang berkelanjutan dan adil.

Ketidakseimbangan antara tenaga yang diberikan buruh pabrik dan upah yang diterima mencerminkan masalah struktural yang harus segera diperbaiki. Kesejahteraan buruh tidak hanya penting untuk kehidupan mereka, tetapi juga untuk keberlanjutan industri itu sendiri. Pemerintah harus memperketat pengawasan terhadap kebijakan ketenagakerjaan dan memastikan upah layak serta perlindungan sosial bagi buruh. Di sisi lain, pengusaha perlu menyadari bahwa investasi pada kesejahteraan pekerja akan berdampak langsung pada produktivitas dan loyalitas tenaga kerja. Dengan demikian, keseimbangan antara hak pekerja dan keuntungan perusahaan harus dicapai, agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan. Tanpa perhatian serius terhadap kesejahteraan buruh, pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan akan sulit tercapai.

Penulis: Raras Kartika Muluk, Mahasiswa aktif Prodi Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Yogyakarta

Referensi:

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Cindy, V., & Dalimunthe, N. (2025). Analisis hukum ketenagakerjaan terhadap kesejahteraan karyawan. Jurnal Paris Hukum, 1-6.

Malikah, A. (2021). Hak kesejahteraan progresif untuk buruh. Jurnal kajian islam interdiasipliner, 49-55.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image