
Dunia Kerja yang Maskulin: Bagaimana Perempuan Bertahan di Tengah Budaya Patriarki?
Humaniora | 2025-03-27 14:05:20
Di era dinamika globalisasi, kehadiran perempuan di dunia kerja semakin signifikan dan tidak dapat diabaikan. Namun, kenyataan pahit masih sering dihadapi oleh mereka yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang setara. Budaya patriarki yang mengakar kuat sering kali menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang menguntungkan, menciptakan berbagai hambatan yang sulit diatasi. Kondisi ini tercermin dalam berbagai bentuk, seperti diskriminasi gaji, stereotip gender, beban ganda, hingga kurangnya representasi perempuan di posisi kepemimpinan strategis. Padahal, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja memiliki hak yang sama tanpa diskriminasi gender. Namun, implementasi peraturan ini masih menyisakan pekerjaan rumah besar bagi masyarakat dan pemerintah. Lalu, bagaimana perempuan dapat bertahan, tumbuh, dan membuktikan diri sebagai agen perubahan di tengah budaya kerja yang maskulin ini?
1. Fakta dan Data tentang Ketimpangan Gender di Dunia Kerja
Ketimpangan gender masih menjadi tantangan besar di dunia kerja. Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa perempuan sering kali menghadapi gender pay gap, di mana gaji mereka lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki meskipun memiliki posisi atau beban kerja yang sama. Pasal 6 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam kesempatan dan perlindungan kerja, tetapi kesenjangan gaji menunjukkan bahwa prinsip ini belum sepenuhnya terlaksana.
Menurut laporan ILO dan UN Women (2020), perempuan masih menerima pendapatan rata-rata 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Bahkan, meskipun memiliki kemampuan dan Pendidikan yang setara, sebagaimana dilaporkan oleh Bappenas (2021). Selain itu, posisi manajerial yang biasanya memberikan gaji cukup tinggi, masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa jenjang pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam dunia kerja yang memengaruhi kompetensi profesional tenaga kerja, yang pada akhirnya turut berdampak pada besaran upah mereka (Hadiarta, dkk., 2022).
2. Budaya Patriarki di Tempat Kerja
Budaya patriarki sering kali melanggengkan stereotip gender yang menghambat kemajuan perempuan. Contohnya, perempuan sering dianggap lebih cocok untuk peran administratif atau mendukung daripada posisi strategis atau kepemimpinan. Selain itu, perempuan yang vokal atau ambisius kadang dianggap "tidak sesuai norma," sementara pria dengan karakteristik serupa dianggap sebagai pemimpin alami. Hal ini menciptakan "glass ceiling effect” Dilansir dari bandungbergerak.com, glass ceiling dimetaforakan sebagai perempuan yang dipersilahkan menaiki tangga karirnya sambil menatap ke atas tetapi ia terhambat oleh kaca sehingga mereka hanya mampu melihat dinding kaca sambil melihat laki-laki menapaki tangga puncak karir (Singgih, 2022).
Diperjelas dalam isi Pasal Konvensi ILO yang mengatakan bahwa harus ada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di bidang ketenagakerjaan. Dalam Pasal 2 Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 yang berbunyi “Setiap negara anggota harus mempromosikan dan menjamin penerapan prinsip upah yang setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan atas pekerjaan dengan nilai yang sama, sesuai dengan metode yang digunakan untuk menetapkan nilai upah”, dijelaskan terkait penting adanya jaminan upah yang setara bagi pekerja, baik buruh maupun pekerja (Hakiki & Pratiwi, 2023).
3. Dampak pada Perempuan
Budaya kerja yang maskulin memiliki dampak serius pada kesejahteraan perempuan. Mereka sering menghadapi tekanan mental akibat diskriminasi atau beban ganda dari peran domestik dan profesional. Rasa percaya diri mereka juga sering tergerus oleh perlakuan tidak adil, seperti peluang yang lebih kecil untuk promosi atau dipandang sebelah mata ketika mengajukan ide inovatif. Bahkan, lingkungan kerja yang tidak ramah gender dapat membuat perempuan merasa terisolasi dan kehilangan motivasi untuk berkembang.
4. Strategi Bertahan dan Melawan Patriarki
Meskipun tantangannya cukup besar, ada banyak cara bagi perempuan untuk bertahan dan melawan budaya patriarki di tempat kerja. Penguasaan soft skill, seperti kepemimpinan, negosiasi, dan komunikasi, menjadi penting untuk mendobrak batasan stereotip gender. Selain itu, membangun jaringan profesional dan mencari mentor perempuan dapat memberikan inspirasi dan dukungan yang diperlukan untuk menghadapi tekanan dalam lingkungan kerja. Dengan terus meningkatkan kapasitas diri, perempuan tidak hanya membuktikan nilai mereka tetapi juga menjadi panutan bagi generasi berikutnya.
Pendidikan memainkan peran penting dalam membantu perempuan memahami hak-hak mereka dan menangani berbagai bentuk diskriminasi maupun kekerasan yang mungkin mereka hadapi. Perempuan dapat belajar cara melindungi diri, memperjuangkan hak mereka, serta menjadi penggerak perubahan untuk melawan ketidakadilan. Selain itu, perempuan yang memiliki akses pendidikan memiliki peluang lebih besar untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Mereka mampu memberikan kontribusi dalam pembangunan komunitas, mengatasi berbagai masalah sosial, serta mendorong perubahan yang membawa dampak positif (Halimah, 2024).
Perempuan di dunia kerja memiliki potensi besar untuk menjadi penggerak transformasi, khususnya dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan inklusif. Dengan memanfaatkan fakta dan data sebagai dasar argumen, mereka dapat mengadvokasi perubahan kebijakan, seperti transparansi dalam sistem gaji dan program mentoring untuk perempuan. Peran aktif dalam dialog dengan manajemen dan aliansi bersama kolega menjadi kunci untuk mewujudkan perubahan kolektif. Sebagai agen perubahan, perempuan juga dapat berkontribusi melalui edukasi, membuka ruang diskusi tentang pentingnya kesetaraan, dan menjadi teladan bagi lingkungan kerja yang lebih baik untuk semua pihak.
5. Peran Perusahaan dan Masyarakat
Perusahaan memiliki peran penting dalam mendobrak glass ceiling effect dengan mempromosikan perempuan ke posisi strategis melalui pelatihan kepemimpinan dan program mentoring. Kebijakan yang mendukung kesetaraan, seperti pemberian cuti melahirkan yang setara dan fleksibilitas kerja, dapat mendorong perempuan untuk tetap produktif tanpa terbebani peran domestik. Selain itu, membangun budaya kerja yang inklusif, misalnya dengan memberikan pelatihan anti-diskriminasi kepada karyawan, dapat mengurangi stereotip gender yang menghambat perempuan.
Masyarakat berpengaruh dalam mengubah narasi terkait peran gender. Dengan pendidikan yang inklusif sejak dini, stereotip dapat diminimalisir sehingga baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk berkontribusi. Pendidikan formal dan informal tentang hak pekerja perempuan juga dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender di lingkungan profesional. Upaya kolaboratif tersebut akan mendorong perubahan yang signifikan, menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan memberdayakan. Perempuan tidak hanya mampu bertahan di tengah budaya patriarki, tetapi juga berkembang menjadi pemimpin yang membawa pengaruh positif di segala aspek kehidupan. Dengan demikian, kita tidak hanya menghormati hak perempuan, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih baik bagi seluruh elemen masyarakat.
Penulis: Putri Aulia Cahyaning Firdaus/Mahasiswa Aktif Departemen Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Hukum dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Yogyakarta.
References
Hadiarta, dkk. (2022). Kajian Pengarusutamaan Gender : Analisis Ketimpangan Gender Spasial dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian Wilayah. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.
Hakiki & Pratiwi. (2023). Efektivitas Konvensi Ilo Nomor 100 Tahun 1951 terhadap Kesenjangan Pemberian Upah Buruh Perempuan dan Laki-Laki dalam Melindungi dan Menegakkan Hak Asasi Perempuan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 2822-2826.
Halimah, N. (2024). Tingkatkan Peran Perempuan: Pendidikan Sebagai Pilar Utama untuk Membangun Masa Depan yang Berdaya Saing. Banten: Fakultas Hukum UNIS.
Singgih, K. O. (2022). Karier Perempuan dalam Bayang-bayang Budaya Maskulin. Bandung: BandungBergerak.id.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook