
Lebaran di Perantauan: Antara Kesepian dan Keteguhan Hati
Agama | 2025-03-25 03:35:52
Lebaran selalu identik dengan kebersamaan. Takbir yang berkumandang, aroma ketupat yang merebak di dapur, hingga gelak tawa keluarga yang berkumpul di ruang tamu — semua itu adalah gambaran lebaran yang dirindukan banyak orang. Namun, bagi sebagian orang yang menjalani hidup di tanah rantau, lebaran justru menjadi momen yang penuh dengan rasa sepi dan kerinduan yang mendalam.
Aku masih ingat jelas bagaimana suasana lebaran di rumah. Ayah selalu menjadi orang pertama yang mengumandangkan takbir di ruang keluarga, suaranya yang berat dan penuh penghayatan seolah mampu menenangkan hati. Ibu sibuk di dapur, menyiapkan opor ayam dan rendang yang selalu menjadi hidangan khas keluarga kami. Aku dan adik-adikku dulu sering berlomba mengenakan baju baru, saling bercanda, dan memamerkan uang hasil 'salam tempel' dari para kerabat. Itu adalah kenangan lebaran yang hangat dan sempurna.
Namun, tahun ini berbeda. Aku duduk sendirian di kamar kos yang sempit. Takbir memang masih terdengar samar dari masjid terdekat, tapi rasanya hampa. Tak ada suara ayah, tak ada aroma masakan ibu, dan tentu saja, tak ada gelak tawa adik-adikku. Aku hanya menatap layar ponsel, melihat pesan singkat dari ibu, "Jaga diri baik-baik, Nak. Ibu dan Ayah rindu." Pesan itu seketika membuat dadaku sesak. Ingin rasanya aku memesan tiket dan pulang saat itu juga, tapi aku tahu itu mustahil. Tugas dan tanggung jawab di perantauan menahanku untuk tetap bertahan.
Pagi lebaran datang dengan kesunyian yang asing. Aku berangkat salat Id sendiri, menatap jamaah lain yang datang bersama keluarga mereka. Usai salat, aku kembali ke kamar, menyeduh secangkir kopi, dan mencoba mengalihkan rasa sepi dengan menonton acara televisi yang menayangkan tradisi lebaran di berbagai daerah. Tapi semuanya terasa kosong.
Ketika siang menjelang, panggilan video dari keluarga pun masuk. Kulihat wajah ibu yang tersenyum meski matanya sedikit sembab. Ayah seperti biasa bersikap tegar, sementara adik-adikku berebut ingin menyapaku. "Kakak kapan pulang?" tanya mereka hampir bersamaan. Aku hanya bisa tersenyum tipis dan menjawab, "Nanti kalau semuanya sudah selesai."
Lebaran di perantauan memang tak pernah mudah. Tapi dari sini aku belajar tentang arti keteguhan. Aku tahu suatu saat aku akan pulang, membawa kebanggaan dan kebahagiaan untuk mereka. Untuk saat ini, aku hanya bisa berdoa semoga Allah menjaga mereka dalam sehat dan bahagia, sampai waktu itu tiba.
Lebaran di perantauan adalah tentang menahan rindu, menjaga harapan, dan mempercayai bahwa jarak bukan penghalang untuk tetap merasakan kasih sayang keluarga. Aku percaya, sejauh apa pun langkahku, doa ibu dan ayah akan selalu sampai. Dan pada akhirnya, lebaran bukan hanya soal kebersamaan secara fisik, tapi juga tentang kehangatan yang terjaga di dalam hati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook