
Sampai Kapan Terus Mencari Kesetaraan Gender?
Agama | 2025-03-23 22:54:46
Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret , tema tahun ini adalah "#AccelerateAction" yang menekankan pentingnya mengambil langkah cepat dan tegas untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Unicharm mengadakan kegiatan bincang-bincang daring dan mengusung tema "United in Uniqueness: Dukung Potensi Perempuan Indonesia Bersama Unicharm." Dengan harapan Unicharm bisa memotivasi para perempuan khususnya generasi muda untuk terus menggali potensinya yang tak terbatas di tengah masih banyaknya isu diskriminasi dan ketidaksetaraan terhadap perempuan (republika.co.id, 21-3-2025).
Dikatakan, bahwa perempuan memiliki peran penting dalam masyarakat, menjadi tulang punggung keluarga dan berkontribusi dalam pertumbuhan serta perkembangan masyarakat. Namun, diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi hingga saat ini. Untuk itu menurut Kabid Pengarusutamaan Gender (PUG) Dinas Perlindungan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (PPPA) Kabupaten Karawang, Siti Komarianingsih, dibutuhkan kemitraan antara pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat sipil untuk mendukung program pemberdayaan perempuan. Jika kolaborasi tersebut bisa dilakukan, perempuan akan berdaya, dan mereka akan memiliki kondisi ekonomi yang stabil.
Lebih jauh, perempuan dapat berkontribusi dalam perekonomian baik di keluarga maupun di masyarakat. Ketika memiliki wawasan yang luas maka perempuan dapat lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan berkontribusi dalam memecahkan masalah di berbagai bidang.
Psikolog Lalu Ayoe Sutomo pun menyampaikan, generasi muda dapat turut berkontribusi dalam pemberdayaan perempuan. Sebab generasi muda juga memiliki peran penting dalam mempromosikan pemberdayaan perempuan, yang bisa dimulai dari diri sendiri misalnya dengan meningkatkan self awareness, menempuh pendidikan formal maupun informal setinggi mungkin, aktif di organisasi maupun kegiatan volunteer untuk menambah wawasan dan pengalaman, menemukan role model yang bisa dijadikan sosok panutan, serta terus mencari tantangan dan peluang baru agar dapat terus berkembang.
Berbicara pemberdayaan perempuan, Menteri Agama (Menag) RI Nasaruddin Umar menegaskan sangat penting, sebab pemberdayaan perempuan sebagai fondasi ketahanan keluarga dan bangsa. Nasaruddin menyampaikan pendapatnya ini dalam seminar yang diadakan olehTanwir I 'Aisyiyah di Tavia Hotel Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025.
Nasaruddin menambahkan, kaum perempuan, hari ini, termasuk para ibu, berperan utama dalam menciptakan generasi Indonesia yang berkualitas. Itulah mengapa pemerintah memandang pemberdayaan perempuan sebagai sebuah prioritas utama. Tidak ada ketahanan nasional tanpa kekuatan perempuan. Generasi yang baik hanya bisa lahir dari perempuan yang diberdayakan.
Menang juga menyoroti kesetaran gender di Indonesia. Masih ada ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan menjadi akar dari berbagai masalah sosial, termasuk kekerasan seksual. Dalam sosiologi, relasi kuasa merujuk pada dominasi kekuatan satu pihak terhadap pihak lain. Ketimpangan ini, ungkap Menag, disebabkan antara lain adanya legitimasi penafsiran agama dan budaya masyarakat yang patriarkis yang kemudian memicu patologi sosial.
Nasaruddin berpendapat pentingnya reinterpretasi terhadap pemahaman agama, khususnya fikih perempuan dalam rangka menghapus tafsir-tafsir yang bias gender. Sebab relasi kuasa yang timpang menyebabkan munculnya problem lain seperti perceraian. Pada 2023 lalu, sebesar 40 persen perceraian terjadi dalam lima tahun pertama pernikahan, dengan 80 persen kasus cerai gugat terjadi di kota-kota besar. Perceraian cenderung melahirkan orang miskin baru, terutama dari kalangan perempuan dan anak. Sebab, kebanyakan istri pada akhirnya menjadi single parent dan menanggung nafkah keluarga (republika.co.id, 16-1-2025).
Salah Menganalisa Fakta Jelas Salah Memberi Solusi
Masalah gender dan pemberdayaan perempuan hampir menjadi satu pokok pembicaraan yang abadi. Dibahas kapan pun, dimana pun dan siapa pun. Seolah kedua hal itulah yang menjadi momok tidak sejahteranya sebuah negara, bahkan hingga dikatakan mengancam ketahanan negara. Semua seolah salah perempuan yang tidak pernah diberi ruang bereksplorasi yang luas.
Benarkah demikian? Sungguh malang nasib perempuan jika begitu. Padahal, sejak Islam belum datang, perempuan telah menjadi obyek ketidaksetaraan, kemudian Islam datang dengan segala hukum syariatnya menjadikan perempuan mulia secara fitrah. Anehnya, serangan ketidakbahagiaan perempuan selalu ditujukan kepada Islam.
Dengan hukum Patriakinya, dengan ketentuan bahwa laki-laki adalah qawaman (pemimpin) dianggap sebagai ketimpangan, dengan hak waris yang tidak sama dengan pria, kewajiban untuk patuh kepada suami, kewajiban menutup aurat dan sebagainya, hingga berujung pada pendapat yang diamini barat penjajah bahwa perempuan harus berdaya secara ekonomi agar bisa hidup mulia.
Di Indonesia, kesetaraan gender telah diadopsi sebagai dokumen pembangunan global Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai tujuan ke-5. Padahal sejatinya, kesetaraan gender telah menjadi alat penjajahan Barat yang diselubungi utopia kesejahteraan perempuan. Semua “pemufakatan” internasional tentang gender—baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs, ataupun SDGs—sebagaimana UU internasional yang digagas Barat tidak lepas dari agenda penjajahan Barat.
Barat memandang perempuan tak lebih dari salah satu faktor produksi. Keunggulannya harganya murah dan cenderung tidak banyak tuntutan dibanding tenaga kerja pria. Maka, boleh dikata, “Kemajuan” gender yang dipropagandakan hanyalah mantra yang membius perempuan dan keluarganya untuk mau diberdayakan (dieksploitasi).
Para kapitalis yang serakah terus-menerus mengeksploitasi perempuan demi mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Dunia yang disetir oligarki pengendali multinational corporation (MNC) strategis telah menguasai SDA vital dan bisnis global.
Persaingan ekonomi yang keras menekan perempuan untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Peradaban kapitalisme juga telah mereduksi nilai perempuan hanya dianggap berharga jika mandiri secara finansial.
Wajar jika kerap terjadi perselisihan tentang tanggung jawab dalam pernikahan dan pengasuhan anak. Sebabnya, posisi laki-laki sebagai qawwam tidak terjadi. Pernikahan bukan lagi untuk menjalani mitsaaq[an] ghaliizha. Banyak pasangan yang tidak mampu melewati ujian pernikahan hingga perceraian menjadi pilihan logis. Apalagi ketika perempuan memiliki penghasilan, hal itu cukup menjadi pembuktian bahwa ia bisa hidup tanpa laki-laki.
Islam Solusi Terbaik untuk Sejahterakan Perempuan
Sampai kapan terus menerus mendiskusikan apa yang sebenarnya sudah jelas dalam agama? Rasulullah Saw. bersabda, “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang salihah.” (HR Muslim). Istri salihah bukan berarti seseorang yang pasif dan tidak berdaya guna. Namun ia adalah sosok yang taat kepada Allah dan Rasulnya.
Tentu kesalahannya butuh peran negara yang benar-benar menjamin seorang wanita menjadi permata yang berharga, dari sejak lahir hingga ia dewasa dan berumah tangga. Syariat tidak pernah mewajibkan perempuan mencari nafkah bahkan hingga menjadi tulang punggung keluarga, maka negaralah yang menjamin seorang ayah, suami atau saudara laki-lakinya mudah mendapatkan lapangan pekerjaan sehingga bisa menunaikan kewajiban memberi nafkah secara makruf.
Syariat mewajibkan perempuan mengenyam pendidikan setinggi mungkin, kemudian mengamalkan ilmunya, yang terutama untuk generasi dan masyarakat. Syariat juga membolehkan perempuan menjadi anggota majelis umat, yang berarti boleh memberikan pendapat untuk muhasabah kepada penguasa.
Negara ini jelas sebuah negara mandiri dan hanya menjadikan syariat sebagai aturan dasarnya. Rasulullah Saw. sebaik-baik teladan bagi kita dan seluruh umat manusia, maka masihkah mempercayai hukum selain hukum yang berasal dari Allah SWT? Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook