
Ekonomi di Titik Kritis: IHSG Anjlok, Investor Kabur, Korupsi Merajalela
Update | 2025-03-20 05:37:36
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam hingga 2%, menandakan adanya guncangan besar dalam perekonomian nasional. Investor berbondong-bondong menarik modalnya, tak lagi percaya pada stabilitas ekonomi yang semakin rapuh. Kondisi ini bukan sekedar mencerminkan pasar biasa, melainkan cerminan dari masalah mendalam: regulasi, korupsi yang mengakar, serta jaminan pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang sehat.
Turunnya IHSG bukan hanya angka di papan bursa, melainkan pertanda nyata bahwa Indonesia kehilangan daya tariknya sebagai tujuan investasi. Kapitalisasi pasar yang menyusut menunjukkan keengganan investor untuk bertahan di tengah ketidakstabilan kebijakan. Modal asing yang selama ini menopang perekonomian mulai beralih ke negara-negara dengan regulasi yang lebih jelas dan perlindungan hukum yang lebih kuat.
Di sisi lain, korupsi semakin menggila. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pemulihan ekonomi justru mengalir ke kantong para elite politik dan birokrat yang rakus. Proyek-proyek infrastruktur mangkrak karena anggaran dikorupsi, bantuan ekonomi salah sasaran, dan kebijakan ekonomi lebih menguntungkan segelintir oligarki dibandingkan rakyat banyak.
Sementara itu, investasi yang masuk sebagian besar merupakan “uang panas” yang hanya bersifat spekulatif. Begitu ada tanda-tanda ketidakstabilan, dana ini segera ditarik, meninggalkan kekosongan yang membuat situasi semakin diterima. Tidak ada investasi jangka panjang yang berkelanjutan karena Indonesia gagal memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi investor yang ingin membangun industri nyata.
Dampaknya sudah terasa di berbagai sektor. Perusahaan besar maupun kecil mulai gulung tikar, tidak mampu bertahan dalam kondisi ekonomi yang memburuk. Gelombang PHK semakin tak terbendung, menyebabkan penurunan kualitas dan penurunan daya beli masyarakat. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang semakin sulit diatasi: desakan bisnis, konsumsi turun, dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Lebih parahnya lagi, iklim investasi yang seharusnya menjadi harapan justru semakin terhambat oleh ulah oknum organisasi masyarakat (ormas) yang menjadikan investasi sebagai lahan bisnis gelap mereka. Dengan modus “pengamanan” dan “pengawalan”, mereka menekan investor, mengamankan perizinan, dan bahkan melakukan pemerasan terang-terangan. Ini bukan hanya menghambat investasi, tetapi juga menciptakan ketakutan bagi pengusaha lokal maupun asing yang ingin beroperasi di Indonesia.
Negara lain sibuk menciptakan regulasi yang ramah investasi, sementara Indonesia justru terjebak dalam birokrasi koruptif dan premanisme ekonomi. Tak heran jika banyak perusahaan memilih hengkang ke negara-negara yang lebih stabil. Akibatnya, sektor manufaktur melemah, kesulitan berkembangnya UKM, dan industri lokal kehilangan daya saing di pasar global.
Di sektor keuangan, bank dan lembaga kredit semakin ketat dalam menyalurkan pinjaman karena tingginya risiko gagal bayar. Akibatnya, usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi semakin sulit mendapatkan modal. Krisis keuangan ini mempercepat kehancuran bisnis lokal yang sudah kesulitan menghadapi tekanan ekonomi global.
Pemerintah seharusnya hadir sebagai solusi, namun justru terlihat kehilangan arah. Kebijakan yang diambil cenderung reaktif dan tambal sulam, tanpa menyentuh akar masalah. Bukannya membenahi sistem, pemerintah justru sibuk membangun pencitraan, seolah-olah keadaan masih terkendali.
Reformasi birokrasi yang sudah lama dinantikan tetap menjadi angan-angan. Ketidakpastian dalam perizinan, lemahnya penegakan hukum, serta aturan yang tumpang tindih semakin mendukung kondisi investasi. Investor yang ingin masuk harus dihadapkan pada proses berbelit-belit, pungutan pembohong, dan izin hukum yang membuat mereka enggan bertahan lama.
Di sisi fiskal, kebijakan anggaran yang tidak transparan semakin mengikis kepercayaan masyarakat. Banyak proyek pemerintah yang pada akhirnya hanya menjadi ladang korupsi tanpa memberikan dampak nyata bagi pertumbuhan ekonomi. Ketika rakyat semakin terhimpit oleh tekanan ekonomi, para elit politik justru terus menumpuk kekayaan tanpa rasa malu.
Gelombang relokasi industri ke luar negeri semakin nyata. Banyak perusahaan yang sebelumnya berinvestasi di Indonesia kini memilih pindah ke Vietnam, Thailand, atau Malaysia yang lebih ramah bagi bisnis. Hal ini menandakan bahwa Indonesia semakin kehilangan daya tariknya sebagai pusat investasi di kawasan Asia Tenggara.
Daya saing industri dalam negeri terus melemah, terutama karena kurangnya inovasi dan pengembangan teknologi. Alih-alih mendorong pertumbuhan industri berbasis teknologi, kebijakan pemerintah lebih banyak fokus pada eksploitasi sumber daya alam tanpa strategi berkelanjutan.
Krisis ini mengungkap betapa rapuhnya struktur perekonomian Indonesia. Selama ini, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh investasi spekulatif dan kebijakan yang tidak konsisten. Begitu terjadi guncangan, seluruh sistem langsung limbung tanpa ada mekanisme perlindungan yang kuat.
Tanpa reformasi menyeluruh, kekaburan investor dan penurunan IHSG hanya akan menjadi permulaan dari krisis ekonomi yang lebih besar. Jika kondisi ini terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh dunia usaha tetapi juga rakyat yang semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Pengangguran yang terus meningkat akan memicu ketidakstabilan sosial. Ketika masyarakat kehilangan sumber penghasilan, potensi meningkatnya angka kriminalitas dan konflik sosial menjadi ancaman yang nyata.
Sementara itu, para pemimpin politik masih disibukkan dengan agenda pribadi mereka, seolah tidak peduli dengan kondisi rakyat yang semakin terhimpit. Tidak ada langkah konkret yang diambil untuk menstabilkan perekonomian, hanya janji-janji kosong yang semakin tidak dapat dipercaya publik.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Jika pemerintah tetap diam dan membiarkan situasi ini memburuk, maka krisis yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu.
Satu-satunya jalan keluar adalah melakukan reformasi struktural secara menyeluruh. Regulasi harus diperbaiki, korupsi diberantas, dan birokrasi yang menghambat investasi harus dirombak total. Tanpa langkah ini, perekonomian Indonesia akan terus terpuruk, sementara negara lain terus melaju meninggalkan kita jauh di belakang.
Saat ini, dunia sedang berubah dengan cepat. Negara-negara yang mampu beradaptasi akan berkembang, sementara yang gagal akan tertinggal. Jika Indonesia tidak segera mengambil langkah nyata, maka bangsa ini hanya akan menjadi penonton di panggung ekonomi global.
Krisis ini adalah ujian bagi kepemimpinan nasional. Apakah mereka akan membiarkan Indonesia semakin terpuruk, ataukah mereka akan bertindak tegas untuk menyelamatkan ekonomi bangsa? Jawabannya ada di tangan mereka—dan di tangan rakyat yang semakin kehilangan kesabaran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.