
Fenomena #KaburAjaDulu, Pesan Singkat Yang Membentuk Wacana Publik.
Pendidikan dan Literasi | 2025-03-18 12:15:05
Fenomena viral hashtag #KaburAjaDulu di media sosial mencerminkan keresahan sosial yang mendalam, terutama di kalangan generasi muda. Saya telah menemukan lebih dari 70,6 ribu unggahan di mesin pencarian Instagram , hashtag ini bukan sekadar tren digital, tetapi juga refleksi dari realitas sosial yang dihadapi masyarakat. Konten yang mendapat engagement tinggi menunjukkan bahwa isu ketimpangan ekonomi, keterbatasan peluang kerja, dan perasaan "terjajah di negeri sendiri" menjadi topik utama yang mendorong warganet untuk menggunakan tagar ini.
Salah satu unggahan dengan interaksi tinggi saat ini berasal dari akun satitiheni, yang menyoroti bagaimana Indonesia kaya akan sumber daya alam tetapi rakyatnya tetap merasa terpinggirkan. Unggahan lain dari irwanprasetiyo, yang berkolaborasi dengan budhal.id, menggambarkan realitas bahwa lulusan universitas ternama seperti UGM lebih memilih bekerja sebagai cleaning service di luar negeri karena gaji yang lebih besar dibandingkan di Indonesia. Fakta bahwa postingan ini mendapatkan ribuan like, komentar, dan ribuan kali dibagikan menunjukkan bahwa warganet telah membangun keterlibatan (engagement) tinggi di media sosial.
Dari perspektif komunikasi digital, penggunaan hashtag ini berfungsi sebagai alat untuk menggalang solidaritas dan menyebarkan narasi tentang kondisi sosial-ekonomi yang dianggap tidak adil. Berdasarkan teori konstruksi sosial, makna dari #KaburAjaDulu tidak hanya terbentuk dari satu perspektif tunggal semata, melainkan hasil dari berbagai interpretasi warganet yang telah berkontribusi dalam diskusi di media digital. Bagi sebagian orang yang telah lihat, ini adalah bentuk kritik terhadap sistem, sementara bagi yang lain, ini adalah ajakan eksplisit untuk mencari peluang di luar negeri.
Selain itu, penggunaan sarkasme dan humor dalam banyak unggahan juga mencerminkan bagaimana generasi digital saat ini terbukti mampu menggunakan strategi komunikasi yang ringan namun mengena untuk menyampaikan kritik namun tidak merugikan secara fisik seperti yang terjadi demo demo penolakan yang sampai merusak fasilitas misalnya. Meme dan konten humor yang mengiringi hashtag ini menunjukkan bahwa warganet tidak hanya menyuarakan keluhan, tetapi juga menjadikan kritik ini sebagai bagian dari budaya digital yang lebih luas.
Namun, yang perlu dikritisi adalah bagaimana fenomena ini dapat mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Jika #KaburAjaDulu hanya menjadi simbol pelarian tanpa ada usaha untuk memperbaiki keadaan, maka fenomena ini berpotensi memperkuat sikap apatis terhadap perubahan sosial. Sebaliknya, jika digunakan sebagai medium untuk menyadarkan masyarakat dan menuntut kebijakan yang lebih baik, maka tagar ini memiliki potensi besar dalam membentuk wacana publik yang konstruktif.
Pada akhirnya, #KaburAjaDulu bukan sekadar tulisan yang disajikan di ruang digital, tetapi juga cerminan dari perasaan kolektif masyarakat yang merasa stagnan dalam sistem yang ada. Jika pemerintah dan pemangku kepentingan tidak segera menangkap pesan ini dan memberikan solusi nyata, bukan tidak mungkin fenomena ini akan berkembang menjadi gerakan sosial yang lebih besar.
Agung Putra Mulyana mahasiswa S3 Asia E University, Malaysia;
Peneliti Komunikasi media digital & Pengamat Interaksi Media Sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook