
Peluru Pena
Sastra | 2025-03-17 01:18:19
Pukul dua belas mengetuk sunyi
Lonceng berdentang lantang,
Isyarat perang telah di mulai.
Dalam sepersekian detik,
Ranjau meledak liar di pekarangan.
Seruan komandan membelah cakrawala,
Satu, dua, lima, sepuluh kompi melaju tanpa jeda.
Sementara daku berlari menuju utara,
Mencari segenggam asa di reruntuhan nestapa.
Di sudut puing-puing yang tersisa,
Kepalaku bergetar di ujung laras,
Disambut kilat yang menyambar tak kunjung lepas.
Hatiku menyala dalam gelap,
Memantik bara di relung-relung sendi.
Dalam rapal doa yang kupanjatkan,
Tak ada peluru yang tersisa.
Hanya ada pena,
Senjata terakhir melawan takhta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.