Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ata Amrullah72

Demokrasi Prosedural dan Reduksi Suara Rakyat

Humaniora | 2025-03-13 00:52:28

Demokrasi Prosedural dan Reduksi Suara Rakyat

Dialog dalam Praktikum KIE antara apoteker dan pasien bukan sekadar interaksi profesional, melainkan manifestasi dari asas "informed consent" dalam etika medis. Dalam konteks ekonomi, pasien dapat diibaratkan sebagai pembeli yang memegang hak penuh atas informasi dan pelayanan yang layak, sebagaimana dalam perdagangan di mana konsumen dianggap sebagai raja. Namun, jika kita menarik analogi lebih jauh, bagaimana dengan politik? Jika dalam demokrasi rakyat dikatakan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi—sebagaimana dikemukakan Abraham Lincoln dalam konsep, "government of the people, by the people, for the people"—mengapa suara rakyat sering kali tereduksi menjadi sekadar formalitas?

Pertanyaan fundamental muncul: "apakah kedaulatan rakyat benar-benar hadir sebagai pilar demokrasi substantif, atau hanya menjadi jargon politik yang diproduksi sebagai alat legitimasi? Apakah kebebasan bersuara yang seharusnya menjadi hak asasi manusia telah termanipulasi oleh hegemoni politik, di mana elit kekuasaan lebih peduli terhadap stabilitas status quo daripada kesejahteraan rakyat?"

Ironinya, banyak dari mereka yang menduduki kursi kekuasaan baru menyadari urgensi suara rakyat setelah merasakan langsung dampak kebijakan yang mereka buat. Seandainya salah satu anggota keluarga mereka menjadi bagian dari demonstrasi yang menuntut keadilan, barangkali kesadaran mereka akan terbangun. Namun, jika kepekaan sosial hanya lahir dari penderitaan pribadi, maka jelas ada yang keliru dalam struktur moral pengelolaan negara. Bukankah seorang negarawan sejati seharusnya memiliki compassion dan empathy tanpa harus menunggu tragedi menimpa dirinya sendiri?

Di balik retorika kebangsaan yang sering digaungkan, muncul pertanyaan krusial: apakah etika dan hukum benar-benar menjadi ruh dalam dinamika pemerintahan, ataukah hanya ornamen yang menghiasi dinding birokrasi tanpa makna substantif? Jika hukum sekadar menjadi alat legitimasi kekuasaan, dan etika hanya menjadi simbol tanpa aplikasi, maka demokrasi yang kita jalani hanyalah demokrasi prosedural, bukan demokrasi yang menjamin keadilan sosial.

Namun, tentu tidak semua aktor politik bersikap demikian. Sejumlah kebijakan telah menunjukkan keberpihakan pada rakyat, seperti regulasi keterbukaan informasi publik yang memungkinkan masyarakat mengakses transparansi pemerintahan (Freedom of Information Act di beberapa negara telah menjadi contoh keberhasilan dalam memperkuat demokrasi substantif). Oleh karena itu, perlu ada kesadaran kolektif untuk tidak hanya sekadar mengkritik, tetapi juga mengawal kebijakan yang membawa perubahan nyata.

Kesimpulan dan Refleksi Demokrasi seharusnya bukan sekadar prosedur formal, melainkan sistem yang menjamin keadilan sosial dan keterlibatan aktif rakyat dalam pengambilan keputusan. Jika suara rakyat terus-menerus direduksi menjadi formalitas belaka, maka demokrasi hanya menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan. Penting bagi masyarakat untuk kritis terhadap transparansi pemerintahan dan tidak sekadar menerima retorika politik tanpa tindakan nyata. Dengan meningkatkan partisipasi aktif dan mengedepankan kesadaran akan hak-hak sipil, kita bisa berkontribusi dalam mendorong demokrasi yang lebih substantif.

Disclaimer: Artikel ini merupakan refleksi sosial berdasarkan observasi umum terhadap dinamika demokrasi dan bukan tuduhan terhadap individu atau institusi tertentu. Pembaca dianjurkan untuk tetap melakukan verifikasi terhadap informasi dari berbagai sumber sebelum mengambil kesimpulan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image