Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Sejarah Peradaban Manusia di Nusantara: Dari Homo Erectus Hingga Masuknya Islam

Sejarah | 2025-02-24 10:56:34
Ilustrasi sejarah peradaban manusia di Nusantara (Sumber: AI Chatgpt)

Pendahuluan

Pada kesempatan kali ini, kami akan mengulas mengenai asal-usul manusia di Indonesia melalui perspektif evolusi dan migrasi dengan bersumber dari tulisan karya David Van Reybrouck di dalam bukunya yang berjudul Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World.[1] Dalam pemaparannya, Van Reybrouck tidak hanya membahas peristiwa sejarah Indonesia modern, tetapi juga menelusuri jejak-jejak dari masa lalu Indonesia hingga manusia purba yang pertama kali menginjakkan kaki di kepulauan ini. Indonesia, menurut Van Reybrouck, bukan hanya saksi dari sejarah modern bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan, melainkan juga merupakan wilayah yang memainkan peran penting dalam perkembangan awal umat manusia.

Oleh karena itu, Van Reybrouck memulai analisisnya dengan memperkenalkan berbagai penemuan arkeologis dan ilmiah yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu tempat pertama di dunia yang dihuni oleh manusia purba, termasuk Homo Erectus dan kemudian oleh Homo Sapiens. Tak hanya itu, artikel analisis singkat ini juga akan menyentuh pembahasan teori-teori evolusi manusia yang berkaitan dengan wilayah ini, termasuk peran Indonesia dalam proses migrasi manusia dari Afrika ke Asia dan kemudian ke kawasan lain.

Penemuan Homo Erectus: Jejak Awal Kehidupan Manusia

Salah satu penelitian yang paling signifikan oleh Van Reybrouck adalah penemuan Java Man (Manusia Jawa), Homo Erectus, yang ditemukan oleh Eugène Dubois pada tahun 1891 di Jawa. Penemuan ini merupakan salah satu bukti paling awal yang mendasarkan hubungan manusia dengan spesies lainnya dalam kerajaan animalia, serta menjadi salah satu pembuktian dari teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Homo erectus yang ditemukan di Indonesia kini diperkirakan berusia sekitar satu juta tahun, dan bukti fosil ini menunjukkan bahwa manusia purba telah tinggal di kawasan ini jauh lebih awal daripada yang diperkirakan.

Van Reybrouck menekankan pentingnya posisi Indonesia sebagai salah satu titik utama dalam penyebaran manusia purba, mengingat wilayah ini menjadi bagian dari gelombang pertama ekspansi manusia pertama dari Afrika ke Asia. Ia menjelaskan dengan ringkas bagaimana pulau-pulau di Indonesia pada masa itu tidak terpisah seperti sekarang, di mana Sumatra, Borneo, Bali, dan Jawa masih terhubung ke daratan Asia melalui jalur dataran yang kini telah tenggelam oleh naiknya permukaan laut. Ini adalah alasan mengapa spesies-spesies daratan seperti gajah, harimau, dan orang utan dapat ditemukan di Indonesia hingga saat ini.

Evolusi dan Penyebaran Homo Sapiens di Indonesia

Penyebaran Homo Sapiens ke Indonesia terjadi sekitar 75.000 tahun yang lalu. Meskipun pada waktu yang sama di Eropa masih ada Neanderthal, manusia modern dari Afrika mulai memasuki kawasan Asia Tenggara. Van Reybrouck menggambarkan proses ini dengan menggunakan metafora a la Gen-Z yang cukup ringan, yakni: jika setiap milenium tahun adalah satu scroll-an di aplikasi Tinder, maka untuk melihat kedatangan Homo Sapiens di Indonesia, seseorang harus menggulirkan layar 925 kali. Para Homo Sapiens pertama yang datang ke Indonesia kemungkinan memiliki ciri-ciri fisik seperti Suku Melanesia—kulit gelap, rambut keriting, dan mata bulat—menurut Van Reybrouck, yang merupakan leluhur jauh dari orang Papua di New Guinea dan Aborigin di Australia.

Mereka menyeberangi garis Wallace, yaitu batas biogeografis yang memisahkan fauna Asia dan Australia, meskipun cara mereka melakukan perjalanannya masih menjadi misteri. Ada kemungkinan mereka menggunakan perahu sederhana atau rakit untuk menjelajah ke pulau-pulau yang kini menjadi bagian dari Indonesia. Kehadiran mereka ini menandai awal mula populasi manusia yang berburu dan meramu, yakni sebuah gaya hidup yang bertahan hingga lebih dari 99% sejarah peradaban manusia melakukannya.

Revolusi Pertanian dan Penyebaran Austronesia

Sekitar 7.000 tahun yang lalu, manusia-manusia ini mulai beralih dari pola hidup berburu dan meramu menjadi bertani. Mereka mulai menanam tanaman seperti talas dan singkong di New Guinea, serta sagu dan pisang. Pada saat yang bersamaan, percobaan untuk bertani juga mulai muncul di Tiongkok. Ini adalah awal dari ekspansi Austronesia, yakni proses migrasi besar-besaran yang membawa manusia dengan ciri-ciri fisik khas Asia—kulit lebih terang, rambut lurus, dan mata almond—ke berbagai wilayah, termasuk Taiwan, Filipina, Borneo, Sulawesi, dan Jawa. Proses ini terjadi sekitar 2.000 SM, dan manusia Austronesia ini dikenal dengan kemajuan dalam navigasi laut menggunakan perahu double-outrigger yang tenang dalam pelayarannya, gambarannya seperti perahu jukung yang masih digunakan di Indonesia hingga saat ini.

Van Reybrouck kemudian menggambarkan bagaimana orang-orang Austronesia membawa perubahan besar dalam gaya hidup mereka, mulai dari berburu dan meramu menjadi lebih menetap dengan bercocok tanam. Mereka membawa berbagai tanaman penting, seperti padi, jagung, dan pisang, serta ternak seperti ayam dan babi. Mereka juga mempelajari teknik pembuatan keramik dan metalurgi. Gaya hidup mereka menjadi lebih terstruktur dan sedenter, dengan hanya memiliki rumah kayu yang dibangun di atas tiang dan atap melengkung yang indah. Peninggalan budaya mereka masih terlihat di beberapa komunitas seperti suku Toraja di Sulawesi, yang terus membangun monumen dan menhir untuk menghormati leluhur mereka sampai hari ini.

Penyebaran dan Perkembangan Budaya Austronesia

Sejak sekitar tahun 2000 SM sampai memasuki tahun 1200 M, cara hidup masyarakat Austronesia menyebar ke seluruh wilayah yang luas, mulai dari wilayah Madagaskar hingga Pulau Paskah dan Hawaii. Bahasa-bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah tersebut merupakan bagian dari keluarga bahasa Austronesia, yang sebelum terjadinya imperialisme dan kolonialisme, adalah kelompok bahasa yang paling luas penyebarannya di dunia. Van Reybrouck menggambarkan mereka sebagai “pelaut termasyhur dalam sejarah hingga abad kelima belas,” karena kemampuan navigasi mereka yang luar biasa di lautan Asia Tenggara.

Mereka memanfaatkan angin muson yang berhembus secara teratur dari November hingga Maret (angin perdagangan timur laut) untuk pelayaran ke China dan India, dan angin perdagangan barat daya antara Mei dan September untuk perjalanan pulang. Kecepatan angin rata-rata yang mencapai 4 hingga 5 pada skala Beaufort membuat perjalanan mereka menjadi nyaman dan jarang terganggu oleh ombak besar atau badai yang hebat.

Namun, di sepanjang pantai selatan kepulauan Indonesia, ombak yang datang dari Antartika lebih tinggi, yang menjelaskan mengapa hubungan antara Jawa dan Australia jarang terjadi hingga munculnya kapal uap.

Pertanian Padi dan Pembentukan Masyarakat yang Lebih Kompleks

Pertanian padi mengarah pada pembentukan masyarakat yang jauh lebih kompleks. Tanaman padi yang tumbuh di sawah basah menghasilkan lebih banyak hasil daripada ladang yang kering. Akan tetapi, tanaman ini memerlukan pendekatan pertanian yang jauh lebih besar. Sawah pertama kali hanya seluas lapangan kecil, tapi seiring berjalannya waktu, seluruh dataran luas diubah menjadi sawah yang berkilauan, dan bahkan lereng gunung pun diubah menjadi ladang terasering yang menakjubkan oleh leluhur masyarakat Indonesia.

Van Reybrouck menjelaskan bahwasanya untuk mengelola sistem irigasi yang rumit ini, diperlukan lebih dari sekadar usaha seorang petani atau keluarga. Pembangunan dan pemeliharaan saluran irigasi, bendungan kecil, dan pintu air membutuhkan kerja sama dan koordinasi yang lebih besar, bahkan lintas generasi masyarakat Nusantara.

Dalam kondisi demikian, kepala suku menjadi pemimpin yang berperan penting dalam mengorganisasikan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pertanian. Dengan pertumbuhan hasil panen yang berlimpah, permintaan akan perdagangan pun meningkat.

Masyarakat mulai memperdagangkan beras, sayuran, keranjang, tembikar, dan barang-barang mewah. Baru pada abad terakhir sebelum Masehi, barang-barang seperti belati perunggu, kapak, dan gendang sudah diperdagangkan dari Vietnam hingga Indonesia dan selatan China. Masyarakat pribumi pun mulai menjadi bagian dari perdagangan di tingkat regional yang lebih besar, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai pelabuhan perdagangan penting.

Indonesia Sebagai Persimpangan Peradaban

Sebagai informasi yang menarik, Indonesia, dengan pulau-pulaunya yang tersebar, telah menjadi persimpangan peradaban, yaitu tempat pertemuan antara berbagai budaya dan agama. Melalui pelabuhan-pelabuhan utamanya, Indonesia zaman dahulu kala tidak hanya memperdagangkan barang-barang, tetapi juga bertukar agama dan kepercayaan.

Para pendeta India datang membawa Brahmanisme, yang merupakan cikal bakal Hindu masuk ke Nusantara. Bahkan pada abad kelima Masehi, seorang penguasa di Borneo memberikan hadiah berupa air, ghee, sapi cokelat, biji wijen, serta sebelas sapi kepada para Brahmana, yang tercatat dalam prasasti sebagai teks tertua yang masih ada di Indonesia.

Pada dua abad berikutnya, pengaruh Buddha dari China makin hari makin menguat. Seorang biarawan Tiongkok pernah menulis dengan penuh semangat mengenai Indonesia, khususnya di kota yang kini dikenal sebagai Palembang, ibu kota Kerajaan Sriwijaya yang sangat kuat.

Pada masa itu, kota Palembang telah menjadi pusat perdagangan dan jalur maritim yang menghubungkan China dengan India. Di wilayah ini, agama-agama India mulai berkembang dengan pesat, tidak hanya di pesisir, tetapi juga di pedalaman, jauh dari pelabuhan-pelabuhan besar.

Kerajaan Sriwijaya dan Pengaruh Agama dari India

Kemaharajaan Sriwijaya, yang berdiri selama sekitar enam abad, berhasil mengendalikan jalur perdagangan utama antara China dan India, sehingga menjadikannya sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan sangat berpengaruh. Bahasa Melayu pun menjadi lingua franca atau bahasa perantara yang digunakan di seluruh wilayah laut Asia Tenggara. Agama-agama dari India, terutama Hindu dan Buddha, pun mulai berakar kuat di Jawa. Van Reybrouck menggambarkan ini sebagai kondisi bagaimana dua agama besar dari India terus mengalami perkembangan dan hidup secara berdampingan dengan damai.

Pada sekitar abad ke-8, Candi Borobudur dibangun di Jawa Tengah, yang menandakan sebagai kejayaan bangsa Nusantara sebab ini adalah bangunan Buddha terbesar di dunia. Dengan arsitektur bertingkat yang menakjubkan, Borobudur dihiasi dengan ribuan relief dan puluhan patung Buddha yang mengisahkan ajaran dan perjalanan spiritualitas dari seorang Buddha.

Tidak jauh dari Borobudur, Candi Prambanan yang bercorak Hindu mulai dibangun sekitar tahun 900 M. Candi ini setidaknya sama megahnya dengan Borobudur, dan patung sapi yang ditemukan di sana merupakan salah satu karya patung terbaik yang pernah kami lihat.

Meskipun agama Hindu dan Buddha memiliki ajaran yang bertolak belakang, keduanya berkembang bersama dalam harmoni di pulau Jawa dan Bali, dengan Buddha dihormati setara dengan dewa-dewa Hindu seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Puncak Perpaduan Budaya: Kerajaan Majapahit

Perpaduan budaya dari kedua agama ini mencapai puncaknya pada abad ke-14 dengan berdirinya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa. Kerajaan ini mencakup wilayah yang sangat luas, yakni terdiri dari sebagian besar kepulauan Nusantara, mulai dari Malaysia hingga Papua Nugini.

Meskipun Majapahit tidak memiliki struktur ala kerajaan Romawi yang bersatu dan terpusat, di mana penguasa pusat memiliki kekuasaan mutlak, kerajaan Majapahit dikenal karena dibangun dengan fondasi kerja sama yang erat antara raja-raja pusat dengan para vasal-vasal di tingkat lokal. Dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan pada abad ke-20, Majapahit kemudian dijadikan sebagai prototipe sejarah yang sangat dihargai, sebagai bukti bahwa pernah ada sebuah kemaharajaan yang besar dan megah, yang berasal dari tanah air sendiri.

Majapahit menjadi simbol yang sangat penting dalam perjuangan Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaannya, dan banyak elemen dari budaya Majapahit yang tetap hidup dalam identitas nasional Indonesia hingga saat ini. Warna merah dan putih yang digunakan dalam bendera Revolusi dan kini menjadi warna bendera nasional Indonesia, berasal dari simbol kerajaan Majapahit. Capaian dalam seni dan budaya Majapahit juga sangat luar biasa: mulai dari arsitektur, ukiran kayu, batik, tarian, hingga bahasa Jawa, semuanya mencapai tingkat kehalusan yang belum pernah tercapai sebelumnya.

Di dalam istana-istana Majapahit, puisi epik ala India seperti Mahabharata dan Ramayana kerap dipentaskan dalam bentuk yang khas Jawa: wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit di sini adalah sebuah bentuk seni yang luar biasa, yang menyuguhkan cerita-cerita epik yang heroik, penuh ketegangan, kekerasan, dan kadang disertai dengan humor dan unsur kelucuan, yang dipentaskan sepanjang malam. Sebagai info tambahan, Presiden pertama dan Proklamator Indonesia, Ir. Sukarno, sangat menggemari wayang ini.

Dalam konteks perwayangan, sang dalang, atau pendalang, duduk bersila dan memainkan berbagai peran dalam cerita, sementara lampu minyak yang redup memproyeksikan siluet dari wayang kulit yang terbuat dari kulit kerbau. Musik gamelan yang mengiringi pertunjukan ini memiliki irama poliritmik yang lembut dan memukau, yang pada abad ke-20 kemudian mempengaruhi komposer-komposer Barat seperti Claude Debussy, Erik Satie, dan John Cage, sebagaimana dijelaskan oleh Van Reybrouck.

Pengaruh China dan Ekspansi Laut Zheng He

Di samping pengaruh India, elemen Tiongkok juga semakin berkembang pada masa ini. Mulai tahun 1405, armada besar yang dipimpin oleh laksamana kasim Zheng He melakukan tujuh ekspedisi besar melalui kepulauan Indonesia, melintasi Ceylon, India, Arab, dan bahkan pantai timur Afrika. Beberapa anggota ekspedisi Zheng He kemudian menetap di Indonesia, yang menjadi awal mula diaspora Tiongkok di wilayah tersebut.

Armada Zheng He sangat besar, dengan anggotanya yang terdiri lebih dari 300 kapal dan 27.000 pelaut, beberapa di antaranya mencapai panjang lebih dari 120 meter. Ini terjadi hampir satu abad sebelum Columbus memulai perjalanan ke dunia baru dengan tiga kapal caravella sepanjang 25 meter dan 90 orang.

Hal ini cukup mengejutkan, sebab saat di mana Portugal, negara pelaut terbesar Eropa saat itu belum berani keluar dari kawasan Maroko, Indonesia sudah terhubung dengan dunia luar tanpa perlu bantuan Eropa.

Penyebaran Islam melalui Jalur Perdagangan

Perdagangan yang terjalin antara kerajaan-kerajaan di kepulauan Indonesia dan dunia luar juga turut memfasilitasi penyebaran agama baru yang berasal dari wilayah Arab, yaitu Islam. Agama ini sangat menarik bagi para pedagang di Nusantara, yang sebagian besar berasal dari kelas menengah yang memiliki kepentingan dalam perdagangan yang menguntungkan dan saling menghormati. Islam menawarkan ajaran egaliter yang begitu penuh rahmat dan kasih sayang di tengah sistem feodalisme Jawa yang sangat hierarkis. Agama ini pun mengajarkan bahwa setiap orang, mulai dari bangsawan hingga rakyat jelata, harus berprilaku dengan kerendahhatian, melakukan ibadah shalat lima waktu, dan bersedekah untuk orang miskin.

Penyebaran Islam di Indonesia pada abad ke-15 dan ke-16 tersebut tidak melalui proses perpindahan penduduk secara besar-besaran atau bahkan penaklukan, melainkan hanya melalui dakwah (penyampaian kebenaran) secara damai, terutama di kota-kota pelabuhan. Masjid-masjid pertama yang dibangun di Indonesia pun memiliki corak Hindu-Buddha yang kental, dengan arsitektur yang lebih sederhana dibandingkan dengan masjid-masjid di era modern.

Seiring waktu, Islam pun menyebar dengan sangat masif ke seluruh wilayah kepulauan, meskipun Bali dan Papua tetap memeluk Hindu-Buddha dan animisme. Pada fase ini, para raja yang dahulu beragama Hindu-Buddha mulai menyatakan diri mereka sebagai sultan dan memeluk Islam serta kerajaan-kerajaan di Indonesia berubah menjadi kesultanan-kesultanan. Meski begitu, pertunjukan wayang kulit dan kebudayaan lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan aqidah tauhid-nya tetap dipertahankan sampai saat ini.

Kepercayaan Tradisional yang Tetap Bertahan

Van Reybrouck menyampaikan bahwa, meskipun Indonesia telah mengalami pergantian agama besar dari Hindu-Buddha ke Islam, kepercayaan tradisional terhadap roh leluhur dan dewa-dewi tetap hidup dan berkembang. Kepercayaan-kepercayaan tersebut tidak pernah sepenuhnya hilang, dan tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Contoh yang diutarakan oleh Van Reybrouck, misalnya di sebuah pantai di Jawa Selatan, Van Reybrouck pernah diberi nasihat untuk tidak mengenakan baju renang hijau karena ada sosok Ratu Kidul, sang dewi laut, yang mungkin akan menenggelamkan dirinya.

Kisah Van Reybrouck memang lucu dan penuh tawa, sebab Indonesia yang sudah melalui berabad-abad perkembangan zama, dengan Hindu-Buddha selama lebih dari 14 abad dan Islam yang berlangsung hampir 5 abad, kepercayaan-kepercayaan terhadap roh-roh halus ini terus bertahan dan berkembang di masyarakat hingga saat ini.

Kepercayaan terhadap roh leluhur dan dewa-dewi ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya asli yang bertahan, meskipun ada pengaruh luar yang datang dan berkembang. Ini juga mencerminkan ketahanan dan kemampuan masyarakat Indonesia untuk memelihara dan mengadaptasi kebudayaan lokal mereka dalam berbagai perubahan besar yang terjadi sepanjang sejarah.

Referensi

[1] David Van Reybrouck, Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World (New York City: W. W. Norton & Company, Incorporated, 2024), https://books.google.co.id/books?id=lA3wzwEACAAJ.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image