Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Herlambang Saleh

Pramoedya Ananta Toer: Dari Rasa Rendah Diri Menjadi Sastrawan Besar

Sastra | 2025-02-05 13:27:11

 

Pramoedya Ananta Toer, lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, adalah salah satu sastrawan terbesar Indonesia. Karya-karyanya, seperti Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), menjadi mahakarya yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penindasan.

Novel "Bumi Manusia" (1980) adalah salah satu karya sastra Pramoedya yang paling fenomenal. Novel ini adalah bagian pertama dari Tetralogi Buru, yang menceritakan tentang perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda pada awal abad ke-20. Novel ini mengisahkan kehidupan Minke, seorang pemuda Jawa yang bersekolah di sekolah Belanda di Surabaya. Minke kemudian terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menghadapi banyak kesulitan serta tantangan. Novel ini membahas tema-tema seperti kolonialisme, rasisme, dan perjuangan kemerdekaan. Pramoedya juga mengeksplorasi identitas bangsa Indonesia dan peranannya dalam sejarah.

Pram kecil tumbuh dengan perasaan rendah diri dan takut mengutarakan pendapat. Salah satu penyebabnya adalah nilai rendah Pram dalam Bahasa Belanda, yang membuatnya merasa minder bergaul dengan teman-temannya. Apalagi, sang ayah adalah bintang kelas saat seusia Pramoedya, sehingga ayahnya menaruh harapan besar pada Pram sebagai anak sulung dari delapan bersaudara. Kondisi ini menjadikan Pram mengalami rasa rendah diri. Dari kondisi tersebut, Pramoedya mulai menulis.

Selain itu, Pram tidak seperti anak-anak seusianya yang biasanya menamatkan pendidikan tingkat dasar dalam tujuh tahun. Pramoedya membutuhkan 10 tahun karena tiga kali tidak naik kelas. Suatu kali, ketika Pramoedya lulus pendidikan tingkat dasar, ia ingin melanjutkan ke MULO. Ia datang kepada ayahnya dan dijawab dengan keras, "Anak bodoh, kembali ke SD!"

Saat tahun ajaran baru, Pramoedya kembali ke SD dan ditanya oleh salah satu gurunya dalam bahasa Belanda, "Mengapa kembali ke sini? Kan, kamu sudah lulus." Seketika, Pramoedya mengambil buku-bukunya dan lari menuju kuburan di dekat sekolah itu yang dikenal angker di Kelurahan Tambahrejo, Blora. Pikiran dan hatinya kalut. Pramoedya memegang sebatang pohon jarak dan menjerit sekuat-kuatnya. Peristiwa ini menjadi titik tolak Pramoedya yang dulunya “bodoh” menjadi sosok yang bertanggung jawab dan tidak bodoh.

Sebagai penutup, perjalanan hidup Pramoedya Ananta Toer adalah bukti bahwa dari rasa rendah diri dan tantangan yang berat, seseorang bisa bangkit dan menjadi sosok yang luar biasa. Pramoedya berhasil mengubah rasa minder dan kesulitan yang dihadapinya menjadi kekuatan untuk menulis dan berkarya. Karya-karyanya tidak hanya menjadi warisan sastra yang berharga, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk terus berjuang dan tidak menyerah pada keadaan. Pramoedya Ananta Toer adalah contoh nyata bahwa dengan tekad dan semangat, seseorang bisa mengatasi segala rintangan dan mencapai puncak prestasi. (hes50)

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer saat menjalanimasa tahanan di Pulau Buru tahun 1977. Foto: Kompas/SINDHUNATA

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image