Menghindari NPWP dan PKP Secara Jabatan: Jangan Biarkan Beban Pajak Menumpuk!
Eduaksi | 2025-01-16 21:53:22Apakah kalian tahu kalau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menerbitkan NPWP dan PKP secara sepihak? Hal ini bisa terjadi jika kalian tidak memenuhi kewajiban pendaftaran pajak. Sebagai pengusaha, kalian mungkin tiba-tiba menerima surat yang menginformasikan bahwa kalian telah didaftarkan sebagai Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Apa dampaknya? Yuk, simak lebih lanjut.
Apa Itu NPWP dan PKP Secara Jabatan?
Mungkin beberapa dari kalian sudah tidak asing dengan istilah NPWP atau Nomor Pokok Wajib Pajak. Nah, untuk istilah PKP mungkin masih agak asing ya. Lalu, ‘secara jabatan’ itu apa pula? Mari kita berkenalan dengan istilah-istilah tersebut.
Nomor Pokok Wajib Pajak atau yang sering kita dengar dengan singkatan NPWP merupakan identitas yang penting bagi Wajib Pajak karena berfungsi sebagai nomor identitas dalam administrasi pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU KUP, setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pengusaha Kena Pajak atau PKP ialah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Sesuai Pasal 2 ayat (2) UU KUP, setiap pengusaha wajib melaporkan usahanya pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP. Kewajiban ini dikecualikan bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Kewajiban untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usaha memiliki jangka waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perpajakan, untuk lebih lanjut dapat dilihat pada artikel Jangka Waktu Pendaftaran NPWP dan PKP.
Maksud dari “secara jabatan” yakni ketika Wajib Pajak atau Pengusaha tidak menunaikan kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP tanpa memerlukan permohonan atau inisiatif dari pihak yang bersangkutan.
Misalnya, Budi seorang pengusaha yang saat ini omset atau peredaran brutonya sudah lebih dari Rp4,8 miliar, namun Budi belum melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. DJP secara jabatan dapat mengukuhkan Budi sebagai Pengusaha Kena Pajak berdasarkan data yang dimiliki DJP.
Kewajiban perpajakan bagi mereka yang didaftarkan atau dikukuhkan secara jabatan dimulai sejak Wajib Pajak memenuhi syarat subjektif dan objektif, paling lama 5 tahun sebelum diterbitkannya NPWP atau dikukuhkannya sebagai PKP.
Contoh:
PT Tebar Garam telah berdiri sejak Februari 2019 dan mulai beroperasi pada bulan Oktober di tahun yang sama. Pada tahun 2025, PT Tebar Garam diterbitkan NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan data yang dimiliki DJP. Dari data tersebut, ditemukan bahwa PT Tebar Garam telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sejak tahun 2020. Sehingga, kewajiban perpajakan PT Tebar Garam yang timbul terhitung sejak tahun 2020.
Tentu, kelalaian dalam menunaikan kewajiban untuk mendaftarkan diri dan melaporkan usaha memiliki konsekuensi tersendiri. Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UU KUP, mereka yang diterbitkan NPWP atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. Apabila kewajiban ini dengan sengaja tidak dilakukan, dapat dijatuhi sanksi pidana sesuai Pasal 39 ayat (1) UU KUP.
Simulasi Perhitungan Sanksi Administrasi
Misalnya, CV Bukan Sembarang Sivi (CV BSS) telah berdiri dan beroperasi sejak tahun 2018. Sampai pada akhir tahun 2024, CV BSS masih belum mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya. Pada tahun 2025, CV BSS diterbitkan NPWP dan dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan oleh DJP. Berdasarkan data, CV BSS telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sejak tahun 2019.
Karena paling lama 5 tahun, kewajiban perpajakan CV BSS yang timbul terhitung sejak tahun 2020. Akibatnya, DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada CV BSS dengan mencantumkan utang pajak yang belum dibayar sebesar Rp600 juta.
Sesuai Pasal 13 ayat (2), jumlah utang pajak CV BSS ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB, dan dikenakan paling lama 24 bulan serta bagian bulan dihitung penuh 1 bulan. Tarif bunga dapat dilihat pada laman KMK Tarif Bunga.
Pajak terutang = Rp600 juta
Jumlah bulan = 24 bulan
Tarif bunga per bulan = 1,78% (misal)
Sanksi administrasi = (Rp600 juta) x (1,78%) x (24) = Rp201,36 juta
Total pajak dan sanksi CV BSS = Rp600 juta + Rp201,36 juta = Rp801,36 juta
Jadi, jumlah keseluruhan pajak dan sanksi yang harus dibayar oleh CV Bukan Sembarang Sivi adalah Rp801,36 juta.
Risiko Lain Jika Tidak Mendaftarkan Diri
Selain timbul utang pajak beserta sanksinya, masih ada risiko lain yang dapat terjadi apabila tidak mendaftarkan diri dan melaporkan usaha.
1. Pemeriksaan pajak yang intensif
Saat pihak DJP menerbitkan NPWP dan mengukuhkan PKP secara jabatan, sering diikuti dengan pemeriksaan yang mendalam terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan. Pemeriksaan ini dilakukan agar memastikan kewajiban perpajakan terpenuhi dengan benar. Selama pemeriksaan, akan dilakukan audit terhadap laporan keuangan, aktivitas, dan transaksi yang berkaitan dengan usaha. Apabila ditemukan indikasi tindak pidana seperti penggelapan pajak, dapat dijatuhi sanksi pidana.
2. Sengketa pajak yang rumit
Jika Wajib Pajak tidak setuju dengan keputusan pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atau banding. Tentu proses ini akan memakan waktu serta biaya.
3. Reputasi usaha yang terancam
Kredibilitas merupakan aspek penting bagi para pengusaha. Jika ketidakpatuhan terhadap pajak sampai ketahuan oleh pelanggan, hal ini akan berdampak buruk terhadap hubungan dengan pelanggan, mitra bisnis, bahkan institusi keuangan.
4. Denda tambahan akibat ketidakpatuhan berkelanjutan
Jika kelalaian dalam perpajakan terus dilakukan, sanksi tambahan akan terus menumpuk. Akibatnya, beban finansial ataupun hukum yang harus ditanggung akan semakin berat.
Solusi: Langkah Praktis untuk Menghindarinya
Supaya terhindah dari segala risiko di atas, lakukan beberapa langkah berikut ini untuk memastikan terpenuhinya kewajiban perpajakan.
- Segera mendaftarkan diri dan melaporkan usaha, bisa dilakukan secara elektronik atau langsung di KPP.
- Pahami dan patuhi ketentuan pajak yang berlaku.
- Rutin melaporkan dan membayar pajak serta hindari keterlambatan.
- Menjaga catatan keuangan dengan baik, pastikan rapi dan sesuai standar yang ditentukan.
- Pelajari pajak secara berkala seperti mengikuti seminar atau pelatihan perpajakan.
Penutup
Melalaikan kewajiban perpajakan tidak hanya sekadar utang pajak dan sanksi, tetapi juga dapat merugikan kalian secara reputasi baik untuk saat ini maupun di masa depan. Dengan memahami kewajiban perpajakan dan proaktif, kalian telah melindungi diri dari risiko hukum dan berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Yuk, tunaikan kewajibanmu dan jadilah Wajib Pajak yang bertanggung jawab karena pajak adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik!
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.