Negara Tanpa Pajak, Mungkinkah?
Politik | 2025-01-13 22:35:32Pada tanggal 31 Desember 2024, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi lampung memanggil sedang menggelar aksi tolak kenaikan PPN 12 % di area kantor DPRD Provinsi Lampung. Dilansir dari kompas tv, masa aksi menilai bahwa peraturan menteri keuangan no. 131/2024 yang ditetapkan pada 31 Desember 2024 tersebut dan mengatur PPN 12 % hanya berlaku untuk barang mewah ini dikhawatirkan sewaktu-waktu akan berubah hingga PPN 12 % pun bisa berlaku secara umum sesuai dengan undang-undang.
Kenaikan PPN menjadi 12% rasanya bukan solusi dari permasalahan perekonomian masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini dikarenakan akar permasalahan terpuruknya masyarakat saat ini bukan hanya pada kenaikan tarif pajak menjadi 12%, tapi karena adanya pemberlakuan pajak itu sendiri dan kebijakan yang ditegakkan atas kepentingan semata.
Berdasarkan data yang dilansir dari website Direktoral Jenderal Anggaran tahun 2023 tersebut dapat ditunjukkan bahwa pengaruh pajak itu sangatlah besar dalam perekonomian saat ini hingga 82% dari total penghasilan APBN di Indonesia. Maka itulah mengapa penetapan pajak ini bersifat wajib di Indonesia karena posisinya yang sangat berpengaruh dalam pemasukan dana APBN.
Namun pada kenyataannya apakah anggaran belanja negara yang dikeluarkan oleh APBN dinilai sudah merata dalam penyediaan fasilitas umum dan pendanaan bagi rakyat tergolong miskin? Nyatanya tidak demikian, hal ini dibuktikan dengan banyaknya masalah kesenjangan yang semakin meningkat, diantaranya adalah tidak meratanya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Mengutip riset berjudul ”Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin: Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024” yang dirilis Center of Economic and Law Studies (Celios), kekayaan 50 triliuner teratas Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.
Secara ideal, pemenuhan hajat hidup masyarakat memang seharusnya bisa dibiayai oleh kekayaan SDA yang dikelola dengan baik oleh negara, sehingga pajak tidak menjadi sumber utama pendapatan negara. Seperti yang kita ketahui Indonesia memiliki SDA yang nilainya sangat besar. Jika dikelola secara efisien dan adil, hasil dari SDA ini seharusnya mampu membiayai kebutuhan pembangunan negara, termasuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat.
Pengolahan SDA menjadi produk dengan nilai tambah (hilirisasi) dapat menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar daripada hanya mengekspor bahan mentah. Misalnya, nikel yang diolah menjadi baterai kendaraan listrik memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi daripada nikel mentah. Jika undang-undang dan kebijakan ekonomi Indonesia benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, SDA bisa dikelola oleh negara melalui BUMN atau koperasi rakyat, sehingga keuntungannya langsung dirasakan oleh masyarakat, tanpa harus terlalu bergantung pada pajak. Hal ini hanya bisa dirasakan jika sistem yang bertumpu saat ini adalah sistem Islam di mana negara mempunyai tanggung jawab untuk mengelola SDA tersebut untuk kesejahteraan masyarakat.
Wallahu a'lam bis Showwab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.