Viral hingga Viktimisasi, Jejak Kelam Pelecehan di Ruang Digital
Lainnnya | 2025-01-07 23:29:38Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat berinteraksi. Pada tahun 2023, diperkirakan 4,9 miliar orang menggunakan media sosial seperti, Facebook, Youtube, Whatsapp, Instagram, Tiktok, dan Wechat, masing-masing menjadi media sosial teratas berdasarkan peringkat pengguna aktif bulanan (Wong and Bottorff, 2023). Media sosial sebagai salah satu produk revolusi digital, telah menjadi platform utama bagi jutaan pengguna untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan berekspresi. Namun, dibalik manfaat dan kemudahan yang ditawarkan, media sosial juga menjadi arena baru bagi berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan, termasuk pelecehan seksual.
Pelecehan seksual berbasis digital ialah serangkaian perilaku dan praktik, baik satu atau beberapa kejadian, oleh individu atau kelompok yang menggunakan teknologi, platform media sosial, dan/atau internet untuk mengirim atau memposting pesan langsung atau implisit yang bersifat melecehkan, mengancam, dan menguntit. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kekesalan, kesusahan, kerugian, rasa malu, kerusakan reputasi, atau memberikan tekanan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (Burns et al., 2024). Berdasarkan data SAFEnet Indonesia, pada 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik 4 (empat) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024. Menteri PPPA menyebutkan, korban KBGO pada rentang usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak, yaitu 272 kasus atau 57 persen dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen. “Kasus yang muncul terkait dengan pelecehan dan eksploitasi seksual perempuan maupun anak secara online hingga penyebaran konten intim non-konsensual merupakan salah satu bentuk KBGO yang mudah terjadi, bisa dialami siapapun, tetapi sangat minim solusi yang berkeadilan,” kata Menteri PPPA.
Salah satu contoh nyata pelecehan seksual di media sosial yaitu, semakin maraknya komentar tidak pantas dari netizen yang tidak relevan dengan konten yang dibagikan. Bahkan ketika pengguna mengenakan pakaian tertutup, netizen sering mengalihkan fokus ke hal-hal tidak senonoh dan menciptakan istilah-istilah melecehkan seperti "tobrut" untuk merendahkan korban.
Meski pelecehan digital ini sering terjadi, banyak korban memilih diam karena adanya narasi yang menyalahkan korban. Media sering meliput bahwa korban "memancing" pelecehan melalui pilihan pakaian, aktivitas olahraga, atau konten tarian, padahal semua ini adalah konten normal dan sah. Seharusnya pelaku, bukan pembuat konten yang bertanggung jawab atas tindakan pelecehan. Situasi ini menciptakan lingkungan tidak aman bagi pengguna media sosial, terutama perempuan, dalam mengekspresikan diri. Tidak jarang juga saat korban sudah berani untuk melapor, tetapi aparat keamanan malah menganggap remeh laporan peristiwa pelecehan seksual ini. Bahkan, korban dianggap bahwa dirinya turut menikmati pelecehan seksual yang dilakukan (Soponyono dan Paradiaz, 2022). Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental korban tetapi juga mencerminkan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menghormati harkat dan martabat sesama.
Rendahnya pemahaman masyarakat tentang pelecehan seksual menjadi tantangan serius yang membutuhkan edukasi. Mulai dari pemahaman dasar apa itu pelecehan seksual, faktor penyebab, jenis pelecehan, dampak psikologis dan sosial, hingga langkah pencegahan dan penanganan. Tanpa kesadaran mendalam, pelecehan seksual berisiko terus dinormalisasi, mencerminkan kurangnya empati sosial dan terus melakukan budaya viktimisasi. Dampaknya, korban tidak hanya mengalami penderitaan fisik dan psikologis, tetapi juga harus menghadapi stigma sosial dan minimnya dukungan dari lingkungan sekitar.
Referensi :
Burns, K., Halvey, O., Ó Súilleabháin, F., O’Callaghan, E., & Coelho, G. (2024). The Social Media, Online and Digital Abuse and Harassment of Social Workers, Probation Officers and Social Work Students in Ireland: A National Survey. The British Journal of Social Work. https://doi.org/10.1093/bjsw/bcae091
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/NTMxMQ==
Paradiaz, R., & Soponyono, E. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), 61-72.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.