Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nafra Alyssa

Dinamika Algoritma Media Sosial: Bagaimana Pengaruhnya terhadap Pola Konsumsi Konten

Teknologi | 2025-03-18 16:54:10

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Setiap hari, miliaran orang di seluruh dunia mengakses platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan Twitter/X untuk mencari hiburan, memperoleh informasi, atau sekadar berkomunikasi dengan orang lain. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi konten digital mengalami peningkatan yang pesat, didorong oleh perkembangan teknologi dan kemudahan akses internet. Namun, di balik kenyamanan ini, ada mekanisme kompleks yang bekerja di dalam platform-platform tersebut, yaitu algoritma.

Ilustrasi Penggunaan Sosial Media

Algoritma media sosial memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan konten apa yang akan muncul di beranda pengguna. Dengan tujuan mempertahankan pengguna agar tetap aktif dalam platform, algoritma bekerja dengan cara menganalisis perilaku setiap individu, lalu menyajikan konten yang dianggap paling menarik bagi mereka. Ini berarti bahwa setiap pengguna memiliki pengalaman yang berbeda, meskipun berada dalam platform yang sama. Personalisasi konten seperti ini memungkinkan pengguna untuk menemukan informasi yang sesuai dengan minat mereka, tetapi di sisi lain, juga menimbulkan berbagai konsekuensi, seperti pembentukan gelembung informasi, kecanduan media sosial, serta penyebaran informasi yang belum tentu valid.

Cara Kerja Algoritma dalam Media Sosial

Algoritma media sosial merupakan sistem pemrograman yang dirancang untuk menyortir, memprioritaskan, dan merekomendasikan konten kepada pengguna berdasarkan data yang dikumpulkan dari aktivitas mereka di platform. Dengan kata lain, algoritma berfungsi sebagai "penjaga gerbang" yang menentukan apa yang layak dilihat oleh seseorang di linimasa atau halaman eksplorasi mereka.

Menurut Rahmawati (2018) pada jurnal penelitian oleh Amelia Tri dkk, (2024) mengemukakan bahwa algoritma media sosial bekerja dengan cara menyusun informasi yang disajikan kepada pengguna berdasarkan preferensi dan interaksi sebelumnya, sehingga mempengaruhi jenis konten yang dikonsumsi oleh pengguna. Di setiap platform, algoritma memiliki cara kerja yang berbeda, meskipun prinsip dasarnya tetap sama. Misalnya, di Instagram, algoritma mempertimbangkan berbagai faktor seperti jumlah likes, komentar, dan waktu yang dihabiskan seseorang untuk melihat suatu postingan. Jika seseorang sering berinteraksi dengan konten tertentu, maka konten serupa akan lebih sering muncul di beranda mereka.

Di TikTok, sistem rekomendasi berfokus pada waktu tontonan—semakin lama seseorang menonton sebuah video, semakin besar kemungkinan video tersebut disebarkan ke lebih banyak orang. Sementara itu, YouTube menggunakan kombinasi dari histori tontonan, jumlah klik, dan engagement untuk menyarankan video yang dianggap relevan bagi pengguna. Twitter/X, di sisi lain, mengutamakan interaksi langsung, trending topics, dan aktivitas pencarian untuk menentukan konten yang ditampilkan. Faktor utama yang mempengaruhi algoritma adalah engagement, durasi tontonan, relevansi, dan interaksi antar pengguna. Semakin tinggi tingkat keterlibatan seseorang dengan suatu konten, semakin besar kemungkinan konten tersebut disebarkan ke lebih banyak orang. Hal inilah yang menyebabkan beberapa unggahan menjadi viral dalam waktu singkat, sementara konten lain sulit untuk mendapatkan perhatian.

Pengaruh Algoritma terhadap Pola Konsumsi Konten

Salah satu dampak utama dari algoritma media sosial adalah terbentuknya gelembung informasi. Karena algoritma bekerja dengan menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, mereka cenderung hanya melihat informasi dari sudut pandang tertentu. Akibatnya, seseorang bisa terjebak dalam lingkungan digital yang hanya memperkuat opini dan keyakinan mereka sendiri, tanpa terpapar sudut pandang lain yang mungkin lebih objektif. Hal ini dapat mempersempit wawasan dan bahkan memperkuat bias kognitif, karena seseorang hanya mendapatkan informasi yang selaras dengan apa yang ingin mereka dengar.

Selain itu, algoritma juga berkontribusi terhadap fenomena FOMO (Fear of Missing Out), yaitu ketakutan akan ketinggalan informasi atau tren terbaru. Media sosial dirancang agar pengguna terus merasa perlu untuk menggulir layar dan mengecek pembaruan secara berkala. Hal ini mendorong kebiasaan doom scrolling, di mana seseorang terus-menerus menggulir layar tanpa henti, sering kali tanpa tujuan yang jelas. Kebiasaan ini dapat mengurangi produktivitas, meningkatkan kecemasan, dan membuat seseorang merasa lelah secara mental.

Menurut jurnal penelitian “Pengaruh Doom Scrolling Terhadap Mental Well-being Dimediasi Oleh Psychological Distress Pada Pengguna Media Sosial X Generasi Z” oleh M. Raydafa dkk, (2024) bahwa psychological distress dapat memediasi secara signifikan hubungan antara doom scrolling dengan mental well-being pada pengguna media sosial X generasi Z, yang artinya semakin tinggi pengguna terlibat dalam melakukan doom scrolling, maka semakin tinggi juga pengguna mengalami psychological distress dan memiliki dampak yaitu menurunnya tingkat mental well-being pada pengguna X generasi Z.

Selain menciptakan gelembung informasi dan mendorong kebiasaan scrolling berlebihan, algoritma juga memiliki kekuatan besar dalam membentuk tren di internet. Konten yang dianggap menarik oleh algoritma memiliki peluang lebih besar untuk menjadi viral, bahkan jika konten tersebut sebenarnya tidak memiliki nilai informatif yang tinggi. Hal ini sering terjadi di platform seperti TikTok, di mana tantangan atau tren tertentu bisa menyebar dengan sangat cepat dan diikuti oleh jutaan orang dalam waktu singkat.

Namun, ada sisi lain dari viralitas yang perlu diwaspadai. Tidak semua konten yang viral memiliki dampak positif. Beberapa tren yang muncul di media sosial bisa saja berbahaya atau menyesatkan, terutama jika informasi yang disajikan tidak didasarkan pada fakta. Dalam beberapa kasus, berita palsu atau hoaks dapat dengan mudah menyebar karena algoritma lebih memprioritaskan engagement daripada validitas informasi.

Tantangan Algoritma Media Sosial

Salah satu tantangan terbesar yang muncul akibat algoritma media sosial adalah penyebaran hoaks dan disinformasi. Karena algoritma dirancang untuk memberikan konten yang memicu reaksi tinggi, berita yang bersifat sensasional sering kali lebih mudah viral dibandingkan dengan berita yang berbasis fakta. Akibatnya, banyak orang yang tanpa sadar menyebarkan informasi yang belum terverifikasi, yang pada akhirnya dapat menyesatkan masyarakat secara luas. Selain itu, algoritma media sosial juga menimbulkan kekhawatiran terkait privasi dan keamanan data. Banyak platform mengumpulkan informasi pribadi pengguna untuk meningkatkan akurasi rekomendasi konten dan menyesuaikan iklan yang ditampilkan.

Namun, tidak semua pengguna menyadari sejauh mana data mereka digunakan atau siapa yang memiliki akses terhadap informasi tersebut. Dari sisi kesehatan mental, algoritma media sosial dapat memberikan dampak negatif jika digunakan secara berlebihan. Banyak pengguna yang merasa tekanan sosial karena terus-menerus membandingkan diri mereka dengan kehidupan orang lain yang ditampilkan di media sosial. Akibatnya, perasaan rendah diri, kecemasan, dan ketidakpuasan terhadap kehidupan sendiri dapat meningkat.

Strategi Mengoptimalkan Algoritma untuk Konsumsi Konten yang Sehat

Meskipun algoritma media sosial memiliki berbagai tantangan, bukan berarti pengguna tidak memiliki kendali atas apa yang mereka konsumsi. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga konsumsi konten tetap sehat dan tidak terjebak dalam dampak negatif algoritma. Salah satunya adalah dengan mengatur waktu layar. Banyak platform kini menyediakan fitur pengingat waktu yang dapat membantu pengguna mengontrol durasi penggunaan media sosial. Selain itu, pengguna juga dapat memanfaatkan fitur "Not Interested" atau "See Less" untuk mengatur rekomendasi konten agar lebih sesuai dengan preferensi mereka. Penting juga untuk selalu mencari sumber informasi dari berbagai sudut pandang agar tidak terjebak dalam gelembung informasi.

Dengan mengikuti akun-akun yang memiliki perspektif beragam, seseorang dapat mendapatkan wawasan yang lebih luas dan tidak hanya mengandalkan satu narasi saja. Selain itu, meningkatkan literasi digital juga menjadi kunci dalam menghadapi dinamika algoritma media sosial. Dengan memahami bagaimana algoritma bekerja, pengguna dapat lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang viral.

Algoritma media sosial memiliki peran besar dalam menentukan pola konsumsi konten pengguna. Dengan sistem yang menyesuaikan rekomendasi berdasarkan preferensi dan aktivitas pengguna, algoritma mampu menciptakan pengalaman yang lebih personal. Namun, dampak dari algoritma tidak selalu positif. Gelembung informasi, doom scrolling, penyebaran hoaks, dan masalah kesehatan mental adalah beberapa konsekuensi yang perlu diwaspadai.

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk lebih sadar dalam menyikapi cara kerja algoritma media sosial. Dengan membatasi waktu layar, mengatur preferensi konten, serta meningkatkan literasi digital, kita dapat menggunakan media sosial dengan lebih bijak dan sehat. Kesadaran ini akan membantu kita menikmati manfaat media sosial tanpa harus terjebak dalam dampak negatifnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image