Fenomena Childfree: Pilihan Hidup Tanpa Anak Dalam Pernikahan Masyarakat Modern Di Indonesia
Gaya Hidup | 2025-01-05 23:17:10Dalam realita sosial, pernikahan merupakan satu siklus hubungan permanen antara laki-laki dan perempuan yang legal secara agama. Di mana sebagian besar dari mereka yang menikah akan dihadapkan fase baru yaitu mempertahankan garis keturunnya atau memiliki anak. Menikah dan memiliki anak menjadi menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat.
Dari prespektif sosial dan ekonomi, kehadiran anak dapat meningkatkan ekonomi keluarga karena dipercaya membawa rezeki dan mendapat pengakuan positif secara sosial dari masyarakat. Kecenderungan timbulnya anggapan terkait pernikahan yang tidak sempurna apabila sepasang suami istri tidak memiliki anak.
Hal tersebut tidak dapat disamaratakan, ada banyak pemakluman kondisi dimana pasangan tidak memiliki anak dikarenakan suatu alasan tertentu. Diantaranya jika pasangan memiliki kondisi yang secara alamiah tidak dapat memiliki anak. Secara general, pasangan yang tidak memiliki anak dikategorikan menjadi 2 bagian:
Pertama, keadaan dimana pasangan tidak memiliki anak karena suatu sebab yang mendesak, seperti: mandul, HIV, atau masalah kesehatan lainnya. Sedang mereka sebenarnya memiliki keinginan untuk memiliki anak.
Kedua, pasangan yang secara suka rela memutuskan untuk tidak memiliki anak meskipun mampu dan berpotensi untuk miliki anak atau sebutan modernnya childfree.
Istilah childfree muncul dalam konteks Euro-Amerika pada akhir abad ke-20 sebagai alternatif yang mewakili langkah yang melampaui negativitas yang melekat pada gagasan menjadi childless. Individu tanpa anak telah diakui dalam literatur setidaknya sejak tahun 1970-an, dan didefinisikan sebagi orang yang tidak memiliki anak dan tidak ingin memiliki anak di masa depan.
Berdasarkan laporan National Survey of Family Growth dikutip dari laman Good Doctor, tak kurang dari 15% wanita dan 24% laki-laki memutuskan untuk tidak memiliki anak. Sementara itu, di Kanada berdasarkan survey dari General Social Survey (GGS) pada tahun 2001 mengungkap bahwa 7% orang Kanada berusia 20-34 tahun, mewakili 434.000 orang menyatakan berniat tidak memiliki anak.
Sementara itu, 4% dari orang di Kanada menyatakan bahwa pernikahan merupakan hal yang penting. Namun, tidak miliki ketertarikan atau keinginan untuk memiliki anak. Selain itu, childfree didefinisikan dalam literatur sebagai keputusan, keinginan dan rencana untuk tidak memiliki anak. Definisi ini menjadikan childfree mengakui hak pilihan perempuan yang tidak merasa kehilangan karena tidak memiliki anak.
Saat ini istilah childfree bukan hal baru di kalangan masyarakat Indonesia, apalagi sejak Gita Savitri Devi atau kerap disapa Gita yang merupakan seorang influencer media sosial dan juga seorang penulis mulai menyuarakan terkait hal tersebut. Gita mengungkapkan bahwa ia bersama sang suami memutuskan untuk tidak memiliki anak atau childfree. Hal tersebut kemudian menuai pro dan kontra serta memunculkan pandang baru tentang stigma keluarga yang berbeda dari biasanya dalam berbagai macam perspektif.
Banyak yang beranggapan baik pendukung maupun penolak childfree mendasarkan argumennya pada persoalan krisis ekologis dengan asumsi yang serupa. Krisis ekologi dan overpopulasi dalam isu childfree diantaranya menyatakan bahwa pada pendukung childfree seringkali menggunakan penjelasan dari sisi sains sedangkan kebanyakan penolak childfree ditopang dengan dalih agama. Memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree dianggap tabu dan keluar dari nilai-nilai yang dianut masyarkat bahkan dalam agama Islam, serta merupakan perilaku yang egois dan individualistik.
Fenomena childfree menjadi salah satu topik yang memicu diskusi hangat di tengah masyarakat modern. Pilihan untuk tidak memiliki anak, baik karena alasan kesehatan, ekonomi, maupun preferensi pribadi, mencerminkan perubahan cara pandang terhadap institusi keluarga dan nilai-nilai tradisional. Meskipun keputusan ini sering kali mendapat stigma atau penolakan, terutama dalam budaya dan agama yang sangat mengedepankan pentingnya keturunan, ada ruang untuk memahami bahwa setiap individu atau pasangan memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka.
Dalam konteks Indonesia, isu childfree menantang kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai sosial, agama, dan budaya yang kita anut. Sebagai masyarakat yang majemuk, penting untuk membangun diskusi yang inklusif dan saling menghargai perbedaan pilihan hidup. Pada akhirnya, baik memilih memiliki anak maupun tidak, keduanya adalah keputusan yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan matang dan tanggung jawab terhadap diri sendiri, pasangan, dan lingkungan sekitar.
Dengan seiring berkembangnya waktu telah membukakan pemikiran masyarakat bahwa ada sebagian masyarakat yang memilih untuk tidak memiliki anak sebagai pilihan hidup mereka dengan berbagai alasan yang mendasari serta telah mempertimbangkan segala kemungkinan kedepannya. Childfree tidak hanya mengundang pro dan kontra, tetapi juga menawarkan kesempatan untuk memahami keberagaman pandangan hidup dan bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan saling menghormati.
Referensi:
Ramadhani, K. W., & Tsabitah, D. (2022). Fenomena childfree dan prinsip idealisme keluarga Indonesia dalam perspektif mahasiswa. LoroNG: Media Pengkajian Sosial Budaya, 11.
Dahnia, A. R., Adsana, W. F., & Putri, M. (2023). Fenomena childfree sebagai budaya masyarakat kontemporer Indonesia dalam perspektif mahasiswa. Al Yazidiy: Ilmu Sosial, 5(66), 66-85.
Damayanti, Y. D., Refiana, A. A., Fardan, N., & Aghotsi. (2022). Fenomena childfree di Twitter pada generasi millennial. Prosiding Konferensi Ilmiah Pendidikan.
Siswanto, A., & Nurhasanah, N. (2022). Analisis fenomena childfree di Indonesia. Bandung Conference Series: Islamic Family Law, 2(2). https://doi.org/10.29313/bcsifl.v2i2.2684
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.