Yakin Childfree Bikin Hepi?
Agama | 2024-11-21 07:05:43Belum lama ini didapat temuan dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 yang berjudul "Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia", bahwa sebanyak 8% atau 71 ribu perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun tidak ingin memiliki anak atau childfree. Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), pevalensi childfree juga ditemukan meningkat selama empat tahun terakhir.
Childfree sendiri mengacu pada individu dewasa atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui proses adopsi. Tren ini, tidak ada kaitannya dengan fertilitas seseorang, tapi murni karena pilihan.
"Banyak masyarakat memilih childfree karena beranggapan bahwa ada harga mahal yang harus dibayar serta banyak aspek sosial, ekonomi, bahkan psikologi yang harus dikorbankan dalam parenting," tulis laporan, dikutip Rabu (13-11). (Cnnindonesia, 13-11-2024)
Childfree Buah dari Kapitalisme
Masyarakat dalam alam kapitalisme, harus berjibaku memenuhi kebutuhan hidupnya. Semuanya berbayar, baik pangan, sandang, papan, termasuk akses untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Maka wajar jika kehadiran anak dianggap menjadi beban, sebab membuat mereka harus berhitung biaya tumbuh kembang anak, hingga beberapa tahun ke depan.
Childfree adalah istilah yang menggambarkan keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak, kadang kala untuk menggambarkan pasangan yang tidak bisa memiliki anak. Childfree terjadi karena berbagai penyebab, mulai dari ide hak reproduksi perempuan hingga biaya hidup tinggi.
Tampak kental ide feminisme di sini, bahwa wanita bebas mengutarakan penolakannya terhadap kehamilan, persalinan, termasuk pengasuhan anak. Pola pikir liberal yang terus diaruskan memengaruhi kalangan muda, terutama yang biasa berinteraksi dengan media sosial. Mirisnya negara memberi ruang pemahaman yang rusak melalui ide Hak Asasi Manusia (HAM). Seolah ini adalah ide yang benar dan kekinian, hingga mereka mengambilnya. Terjadi pergeseran pada peran ibu. Berharap bahagia dengan mengikuti tren ini, padahal bertentangan fitrah manusia.
Inilah buah penerapan kapitalisme, yang tegak pada asas sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Maka Allah SWT tidak mendapat peran di dalam kehidupan. Sejalan dengan itu, negara tidak memberi jaminan terpenuhinya hak-hak warga negara. Akibatnya, kesejahteraan pun semakin sulit dijangkau. Negara pun abai, hanya menjadi regulator yang berpihak pada para kapital, untuk memastikan mereka berjaya.
Dalam sekularisme, seluruh aktivitas manusia bertujuan untuk memperoleh materi. Maka hilanglah konsep rezeki, sebab childfree hanya mempertimbangkan manfaat dan kesenangan pribadi, tanpa aspek agama sama sekali. Bayangkan jika tren ini dibiarkan terus berkembang, maka negeri ini akan kehilangan generasi penerus.
Islam Tanpa Childfree
Dalam Islam, anak bukan semata tanggung jawab orang tua untuk memenuhi setiap fase pertumbuhannya. Di sana terdapat peran negara melalui kekuatan dan perangkatnya, yang akan mengakomodir kebutuhan anak tadi, hingga ia siap memimpin dunia.
Islam menjadikan setiap anak berharga, laksana mutiara umat. Karenanya kehadiran anak sangat dinantikan, bahkan dipersiapkan sejak usia dini dengan memberinya beragam asupan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikisnya. Keimanannya dibentuk, kesehatan dan keamanannya dijaga, potensinya dikembangkan. Orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, bersinergi melakukan hal itu.
Maka jelas bahwa Islam menolak ide childfree, dan akan membentengi umat, dari masuknya beragam pemikiran yang merusak. Negara tidak akan membiarkan kemungkaran merebak di tengah masyarakat. Sebaliknya akan menjaga pemikiran, dengan penguatan akidah, serta penerapan syariat secara menyeluruh. Hingga setiap individu mengerti betul akan perannya masing-masing dalam menegakkan agama Allah.
Dalam Islam, para ibu tidak hanya sebagai ummu wa robbatul baiyt, tetapi juga menyadari tanggung jawabnya sebagai ummu ajyal (ibu generasi). Mereka akan berusaha menjadi pintar dan terus beramal salih, agar dapat mentransfer ilmu kepada buah hatinya.
Demikian pula para ayah yang bertanggung jawab mencari nafkah dan menjaga keimanan keluarganya. Negara tidak membiarkannya menyelesaikan urusannya sendiri, namun memberi jaminan kesejahteraan setiap warganya dengan pemenuhan seluruh kebutuhan primer mereka baik pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan komunal seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, individu per individu.
Karenanya anak bukanlah beban, tetapi ia merupakan aset yang luar biasa bagi peradaban. Dalam Islam, penjagaan generasi merupakan amanah Allah SWT yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Maka wajib bagi kita menjaga mereka, membentuknya, agar menjadi bagian dari umat terbaik (khairu ummah).
Wallahu 'alam bishshawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.