Implikasi Kenaikan PPN 12 Persen : Menjerat dan Membebani Kelas Menengah-Bawah
Info Terkini | 2025-01-03 22:34:31Pemerintah Indonesia mengeluarkan dan menetapkan kebijakan baru secara resmi yaitu menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan dalam peningkatan tarif ini menjadi sebuah kelanjutan dari pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sebagai pertimbangan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga mendukung dalam program-program yang akan dilakukan Presiden saat ini yaitu Prabowo Subianto.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% hanya diberlakukan untuk barang mewah sekaligus produk-produk premium. Akan tetapi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti memberikan keterangan resmi bahwasanya kenaikan tarif PPN akan diberlakukan untuk seluruh barang maupun jasa yang selama ini sudah dan memang dikenakan tarif PPN sebelumnya yakni 11%.
Artinya, kebijakan dalam kenaikan tarif PPN ini tidak hanya berlaku bagi barang mewah namun juga akan diberlakukan bagi barang serta jasa yang sebelumnya sudah dikenai PPN dan biasa dibeli oleh masyarakat secara luas. Contoh barang-barang yang terkena dampak kenaikan tarif PPN ini adalah sabun mandi, sabun cuci, makanan di restoran, pulsa, tiket konser hingga langganan dalam layanan video streaming.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan dalam peningkatan tarif PPN didesain dengan adanya ancaman dan kondisi guncangan ekonomi yang jauh lebih besar di dalam negeri terlebih terhadap pelemahan daya beli masyarakat yang terjadi pada kelas menengah ke bawah. Sementara itu, pengenaan tarif PNN ini sebagai besar diterapkan pada kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah yang mengisyaratkan adanya lingkaran kelas yang tidak pernah bisa terselesaikan karena masyarakat kelas menengah ke bawah akan terus ditekan dengan kebijakan yang tidak diuntungkan namun di sisi lain mendapatkan bantuan dari pemerintah sebagai sebuah keringanan. Bentuk bantuan yang diberikan seperti halnya kebijakan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 yang memuat rincian bahwa kebutuhan pokok bebas dari tarif PPN seperti beras, daging, ikan, minyak goreng, sayur, buah, susu hingga cabai.
Jika PPN 12% resmi diberlakukan dan diterapkan maka akan mempengaruhi tingkat daya beli masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah dengan penghasilan yang minimum. Bagi rumah tangga yang berada pada kelas menengah ke bawah, kebijakan dalam kenaikan tarif PPN ini dapat mempengaruhi kemampuan dalam memenuhi kebutuhan lain seperti barang nonesensial, seperti hiburan, pariwisata, dan retail yang menurun.
Stimulus yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat juga tidak terlalu berdampak karena dampaknya hanya sementara dan masih terdapat barang-barang strategis lain yang tetap dikenai PPN sebesar 115 dengan 1% nya akan ditanggung pemerintah seperti Minyakita, tepung terigu, dan gula industri.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memiliki prediksi bahwa kenaikan PPN menjadi 12% mulai Januari mendatang akan dapat memicu inflasi yang jauh lebih tinggi. Prediksi ini dikumpulkan dari analisis makro-ekonomi, keuangan dan kebijakan publik dalam tatanan riwayat perekonomian Indonesia. Berikut beberapa dampak akibat kenaikan tarif PPN 12% yang dirasakan masyarakat kelas menengah ke bawah:
1. Bertambahnya Jumlah Pengeluaran
Potensi akan hadirnya kenaikan inflasi dari ketetapan dalam kenaikan tarif PNN 12% menjadi sebuah tekanan ekonomi bagi kelas menengah ke bawah. Pengeluaran yang dimiliki pada kelompok masyarakat tersebut akan semakin besar dengan tingkat pendapatan yang tidak mencukupi dan akan memperburuk kondisi ekonomi mereka. Direktur Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar memberikan pernyataan bahwa potensi kenaikan pengeluaran yang dialami masyarakat kelas menengah ke bawah mencapai Rp 354.293 per bulan yang membuat masyarakat miskin akan tetap atau semakin miskin.
2. Harga Komoditas Masyarakat Meningkat
Kebijakan dalam pengecualian terhadap barang maupun jasa tertentu tidak sepenuhnya terlaksana, karena masih terdapat barang dan jasa dengan kebijakan tertentu yang tetap dikenai PPN walaupun sudah masuk dalam kategori bebas PPN. Kebijakan pengecualian kebutuhan barang pokok dari PPN sudah menjadi sebuah kebijakan sejak tahun 2009 yang sama sekali tidak menunjukkan bentuk realisasi yang optimal dan bahkan hampir semua komoditas saat ini dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
3. Konsumsi Rumah Tangga Tumbuh Negatif
Pendapatan yang tidak meningkat diiringi dengan jumlah harga barang konsumsi yang meningkat akan menimbulkan gejolak dalam kebutuhan pemenuhan rumah tangga yang akan menunjukkan gejolak penurunan. Kenaikan tarif PPN yang menjerat masyarakat kelas menengah ke bawah akan menurunkan konsumsi rumah tangga dan dapat masuk kategori negatif jika Upah Minimum Provinsi juga tidak mengalami kenaikan signifikan dan bahkan tidak sebanding dengan kebijakan dalam kenaikan tarif PPN.
Dibandingkan dengan menerapkan kenaikan tarif PPN 12% yang jelas berdampak bagi kehidupan masyarakat utamanya kelas menengah-bawah, pemerintah bisa menerapkan adanya penerapan pajak lain yang jelas dapat menambah pendapatan negara dalam pembangunan dan kemajuan tanpa memberikan beban terhadap masyarakat. Misalnya dengan kebijakan dalam penerapan pajak karbon, pajak kekayaan hingga pajak digital yang akan jauh lebih jelas serta tepat sasaran dalam penerapnya dan tidak memberikan beban yang justru menjadikan negara dalam ancaman gejolak ekonomi negatif dan menghambat kemajuan negara dengan lingkaran kemiskinan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.