Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rudian Hendrik, Mahasiswa Univ. Airlangga

Media Sosial Menjadi Lapak untuk Menjual Kesedihan

Trend | 2025-01-03 07:13:53
gambar orang yang dikelilingi oleh fenomena kesedihan

Media sosial telah berkembang menjadi ruang publik yang memudahkan orang untuk berbagi cerita, pengalaman, dan emosi di era digital yang serba terhubung ini. Sayangnya, tren baru-baru ini menunjukkan adanya kecenderungan untuk menggunakan kesedihan sebagai "komoditas" di media sosial. Kisah pilu hingga tragedi pribadi diungkapkan dengan gamblang demi mendapatkan simpati, perhatian, atau bahkan uang.

Kesedihan sebagai Konten Viral

Fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan algoritma media sosial untuk fokus pada konten emosional. Peluang untuk menjadi viral meningkat seiring dengan tingkat emosi yang terkuras. Pengguna sering menggunakan hal ini untuk mengunggah momen sedih mereka. Misalnya, video yang menampilkan tangisan saat kehilangan pekerjaan, curahan hati setelah berpisah, atau kisah sedih lainnya yang diceritakan dengan cara yang dramatis. Tujuannya untuk apa? Pasti ada maksud tersembunyi di balik itu semua. Sering kali mereka menggunakan untuk mendapatkan interaksi dan mendapatkan likes, komentar, dan followers. Bahkan kesedihan ini dapat diubah menjadi peluang bisnis bagi mereka yang kreatif melalui monetisasi platform, kerja sama dengan merek, atau donasi dari penonton.

Batas Antara Kejujuran dan Eksploitasi

Namun, pertanyaan etis muncul, sampai di mana batas kejujuran dan penggunaan kesedihan di media sosial? Ada beberapa orang yang mempertanyakan apakah tindakan itu benar-benar didasarkan pada kebutuhan untuk berbagi cerita atau hanya memanfaatkan empati publik untuk keuntungan pribadi. Fenomena ini menjadi semakin sulit ketika berkaitan dengan masalah sensitif seperti penyakit, kemiskinan, atau kehilangan anggota keluarga. Bahkan dalam situasi tertentu, pengguna mungkin menyampaikan kisah yang tidak benar sepenuhnya untuk memancing emosi audiens. Ini pasti menimbulkan bias dan menyalahgunakan perhatian masyarakat.

Peran Penonton dalam Menguatkan Tren Ini

Tidak dapat dipungkiri bahwa penonton memiliki peran yang signifikan dalam menguatkan tren ini. Algoritma platform otomatis akan mengirimkan konten serupa ke linimasa saat sebuah cerita sedih memiliki ribuan hingga jutaan interaksi. Terakhir, siklus "kesedihan sebagai komoditas" terus berulang, mendorong lebih banyak orang untuk menulis cerita yang sama. Selain itu, mengonsumsi konten jenis ini biasanya dilakukan tanpa mempertimbangkan dengan cermat. Penonton mudah terjebak dalam drama tanpa memverifikasi kebenaran informasi atau memahami konteksnya. Oleh karena itu, empati publik dapat dimanipulasi, dan narasi palsu kerap mendapat tempat yang tidak perlu.

Dampak pada Kesehatan Mental

Di balik popularitasnya, fenomena ini membahayakan penonton dan pembuat konten. Ada tekanan bagi pembuat konten untuk terus membuat cerita yang lebih menyedihkan agar tetap relevan di internet. Sementara itu, bagi penonton, terlalu banyak konten emosional dapat menyebabkan "kelelahan empati" atau kelelahan emosional. Ironisnya, media sosial, yang seharusnya berfungsi sebagai alat untuk mendekatkan dan mendukung satu sama lain, bisa menjadi tempat yang memanfaatkan luka pribadi untuk tujuan tertentu.

Menjadi Pengguna yang Bijak

Sebagai pengguna media sosial, kita harus lebih berhati-hati dalam menangani fenomena ini. Mari kita mulai mempertanyakan alasan di balik konten yang kita lihat daripada hanya menjadi pelanggan pasif. Apakah cerita itu memberi pelajaran, menginspirasi, atau hanya menggunakan emosi? Pada akhirnya, media sosial hanyalah alat, dan pilihan kita tentang bagaimana menggunakannya. Media sosial harus diubah menjadi tempat untuk berbagi empati yang tulus, bukan tempat untuk menjual kesedihan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image