Ketimpangan Zonasi Sekolah di Kabupaten Kediri
Kebijakan | 2024-12-27 18:53:09Pendidikan merupakan hal sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Bahkan, ada pepatah yang berbunyi “ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina ” yang menunjukan bahwa memang sepenting itu pendidikan, sampai- sampai negeri Cina pun kita datangi demi menuntut ilmu. Untuk mendapatkan pendidikan pada masa sekarang, terdapat berbagai seleksi agar kita bisa mendapatkan fasilitas dan tempat terbaik untuk mengemban ilmu. Tidak hanya melalui jalur afirmasi, tes, dan prestasi, terdapat juga jalur zonasi. Jalur zonasi ini, sudah secara efektif diterapkan hampir di seluruh daerah di Indonesia sejak tahun 2017, contohnya di Kabupaten Kediri.
Sistem zonasi yang diterapkan di Kabupaten Kediri, seperti banyak kota lainnya di Indonesia, dirancang untuk memastikan bahwa siswa dapat mengakses pendidikan berkualitas dekat dengan tempat mereka agar mengurangi mobilitas. Kebijakan ini juga bertujuan untuk mengurangi kesenjangan akses pendidikan dan memastikan bagi semua anak. Zonasi adalah salah satu dari 4 sistem Penerimaan Peserta Didik Baru yang dicetuskan oleh bapak Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Sistem zonasi dikeluarkan pada tahun 2017 yang bertujuan untuk mempercepat kebijakan pemerataan mutu pendidikan yang dilakukan dengan cara pendekatan layanan berbasis geospasial.
Muhadjir Effendy saat itu mengatakan, dengan adanya sistem zonasi ini tidak ada lagi yang namanya sekolah favorit dan tidak favorit. Menurutnya dengan sistem ini pemerataan pendidikan akan terwujud. Menurut Muhadjir, dengan adanya sistem ini murid pintar tidak rebutan di sekolah favorit sehingga mereka akan berkumpul semua. Sebaliknya, murid yang kurang pintar akan mendapat kesempatan belajar bersama dengan murid pintar. Namun, dalam prakteknya, sistem ini telah menimbulkan berbagai masalah salah satunya ketidakadilan dalam penerapan zonasi.
Sebagai suatu kebijakan, sistem zonasi pun masih menyisakan banyak persoalan hingga saat ini. Setidaknya ada dua pokok permasalahan, yakni sinkronisasi sistem zonasi dari pusat hingga daerah serta sebaran sekolah negeri yang tidak merata. Ketidakjelasan sistem zonasi dari pusat hingga daerah berdampak pada pelaksanaannya yang tidak seragam dan rawan tindakan curang. Migrasi kartu keluarga yang menyebabkan maraknya kasus jual- beli KK, joki rumah sebagai titik daftar, manipulasi surat keterangan tidak mampu, hingga jual- beli bangku oleh aparat daerah( RT hingga Camat) marak terjadi.
Para orang tua ingin anaknya mendapatkan sekolah yang layak. Contohnya, saat terjadi migrasi KK ke lokasi lebih dekat sekolah, hal ini merugikan warga setempat. Penduduk yang sudah berdomisili lama dengan nilai akhir sekolah baik akan kalah dengan warga pindahan ( KK baru) yang belum tentu nilai akhirnya baik, tetapi lebih dekat dengan sekolah. Sinkronisasi teknis pelaksanaan sistem zonasi dan sebaran sekolah menimbulkan satu kejadian yang cukup , yakni munculnya blankspot di banyak daerah. Blankspot merupakan wilayah yang jauh dari sekolah negeri manapun sehingga kalah bersaing dengan mereka yang tinggal di lebih dekat.
Artinya, apa pun model zonasi yang diterapkan tetap tidak mampu menjangkau seluruh wilayah, khususnya lokasi tempat tinggal calon siswa. Pemusatan wilayah pendidikan sering kali tidak memperhatikan keterjangkauan masyarakat, khususnya jarak permukiman dengan sekolah. Hal ini ditambah dengan laju perkembangan wilayah yang pesat, tetapi tidak diimbangi laju pertumbuhan sekolah. Hasilnya, muncul ketidakadilan. Seperti hal di Kabupaten Kediri, banyak calon siswa yang mempermasalahkan mengenai batas jarak perebutan jalur zonasi saat verifikasi. Bahkan banyak juga daerah yang menjadi blankspot di Kabupaten Kediri, contohnya adalah Desa Doko, Sukorejo, dan Gogorante. Ketiga desa di atas adalah contoh korban ketidakadilan dari kebijakan zonasi karena dimanapun mereka daftar pasti akan terpental.
Daerah mereka jauh dari sekolah negeri manapun yang membuat mereka terpaksa bersekolah di sekolah swasta yang juga jaraknya belom tentu dekat. Ditambah juga kualitas antar sekolah di Kabupaten Kediri masih sangat timpang yang mana mustahil bagi siswa untuk tidak berpikir “semua sekolah sama saja, tidak ada yang favorit”. Jadi, semua yang direncanakan oleh pemerintah pusat belom dapat terlaksana dengan baik di Kabupaten Kediri, malah bersifat kontradiktif dan menimbulkan banyak masalah serta menimbulkan ketidakadilan.
Dengan banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh sistem zonasi, pemerintah harus segera mengkaji ulang dan menemukan jalan keluar dari permasalahan ini. Sementara itu, saya sebagai mahasiswa yang berkontribusi untuk kemajuan negeri ingin memberikan beberapa solusi untuk permasalahan ini. Yang pertama, mendorong semua penyelenggara pendidikan untuk berkomitmen penuh bebas dari segala bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme agar mendorong tercapainya pemerataan pendidikan. Yang kedua, menyamakan atau meratakan semua kualitas dari sekolah di Kabupaten Kediri baik dari pengajar maupun fasilitas agar terwujudnya gagasan awal, yaitu “semua sekolah sama, tidak ada sekolah favorit”.
Ketiga, meratakan sekolah di beberapa daerah blankspot di Kabupaten Kediri agar muncul keadilan bagi seluruh orang yang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Ketiga solusi diatas merupakan contoh solusi yang dapat dilakukan mengatasi permasalahan yang muncul akibat zonasi. Tentu saja, solusi saya belum tentu bisa menjadi solusi yang terbaik dan masih sangat bisa disempurnakan serta dikembangkan. Kesimpulan yang dapat saya berikan adalah melihat dari banyaknya ketidakadilan yang muncul di Kabupaten Kediri, pemerintah daerah khususnya pemerintah pusat perlu bertindak segera dan lebih memperhatikan daerah-daerah yang menjadi blankspot agar terwujudnya pemerataan seperti yang direncanakan oleh pemerintah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.