Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hirzi Azka Maulana

Kesenjangan antara Program Studi Kedokteran dan Kebidanan

Eduaksi | 2024-12-26 08:12:07
Foto: RSUD dr.Soetomo. Sumber: Laman Facebook RSUD dr.Soetomo

Fakultas Kedokteran, atau yang sering disingkat FK, merupakan salah satu Fakultas yang paling diminati oleh siswa di seluruh Indonesia, berdasarkan data SNPMB tahun 2023, 7 dari 20 prodi terfavorit pada SNBT tahun 2023 adalah prodi kedokteran, linear dengan hal tersebut, prodi kedokteran dikenal sebagai salah satu prodi dengan persaingan yang paling ketat dalam seleksi masuknya, baik itu SNBP, SNBT, dan Mandiri, semua ini membuat prodi kedokteran dianggap sebagai prodi yang sangat 'prestisius' bagi masyarakat.

Kembali lagi pada Fakultas Kedokteran, pandangan masyarakat tersebut membuat satu satunya hal yang terlintas di kepala mereka saat mendengarkan frasa 'Fakultas Kedokteran' hanyalah dokter, sampai sampai mereka lupa bahwa yang namanya fakultas tidak selalu terdiri dari 1 prodi saja, begitupun juga dengan Fakultas Kedokteran, jarang diketahui oleh masyarakat umum bahwa ada 1 prodi lagi dalam Fakultas Kedokteran, prodi itu adalah Kebidanan

Selain masyarakat, mahasiswa prodi Kedokteran pun juga mengalami hal yang sama, banyak diantara mereka yang tidak menyadari kehadiran mahasiswa kebidanan di tengah lingkungan mereka, mereka baru menyadarinya pada saat ospek fakultas atau pemilihian komisiaris tingkat angkatan, lantas apakah ini bisa menjadi dasar dari sebuah kesenjangan?

Awalnya saya menganggap ini sebagai suatu fenomena yang sangat biasa, jangankan mengidentifikasi suatu prodi dalam jurusan, beberapa siswa SMA saja masih tidak mengetahui perbedaan fakultas dan program studi, namun pandangan saya mulai berubah pada saat saya mulai berkenalan dengan teman teman di fakultas saya, terutama mereka yang perempuan. Di awal perkenalan, saya selalu menanyakan asal program studinya, kedokteran atau kebidanan? namun nyatanya banyak diantara mereka justru merasa tidak nyaman dan cenderung merasa diremehkan dengan pertanyaan tersebut, tidak sampai disitu, jika mahasiswa yang saya ajak kenalan berasal dari program studi kebidanan, mereka menjawabnya dengan malu malu dan cenderung menunjukkan sikap minder dan insecure.

Data pun menunjukkan bahwa dokter memiliki pengakuan masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bidan, menurut survei Kementerian Kesehatan 2020, 80% masyarakat mengakui dokter sebagai profesi yang sangat penting, sedangkan bidan hanya 40%, lantas apa saja kesenjangan yang mendasari hal ini?

Kesenjangan Pendidikan

1. Jumlah mahasiswa : Program studi kedokteran memiliki jumlah mahasiswa yang lebih banyak dibandingkan dengan program studi kebidanan. Menurut data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) 2020, jumlah mahasiswa kedokteran mencapai 113.036, sedangkan kebidanan hanya 14.011.

2. Rasio mahasiswa-dosen : Rasio mahasiswa-dosen program studi kedokteran lebih rendah dibandingkan dengan kebidanan. Data Kemenristekdikti 2020 menunjukkan rasio mahasiswa-dosen kedokteran sebesar 11:1, sedangkan kebidanan sebesar 14:1.

Kesenjangan Kompetensi

1. Standar kompetensi : Program studi kedokteran memiliki standar kompetensi yang lebih tinggi dan kompleks dibandingkan dengan kebidanan. Standar kompetensi kedokteran ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sedangkan kebidanan ditetapkan oleh Konsil Kebidanan Indonesia (KKI).

2. Durasi pendidikan : Program studi kedokteran memiliki durasi pendidikan yang lebih panjang dibandingkan dengan kebidanan. Kedokteran membutuhkan waktu 6 tahun, sedangkan kebidanan hanya 4 tahun.

Kesenjangan Karir

1. Penghasilan : Dokter memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bidan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, penghasilan dokter mencapai Rp 15.000.000 - Rp 30.000.000 per bulan, sedangkan bidan mencapai Rp 5.000.000 - Rp 10.000.000 per bulan.

2. Jumlah lowongan : Jumlah lowongan kerja untuk dokter lebih banyak dibandingkan dengan bidan. Menurut data Kementerian Kesehatan 2020, jumlah lowongan kerja dokter mencapai 10.000, sedangkan bidan hanya 2.000.

Memang benar bahwa dalam struktur hierarki tenaga medis dan tenaga kesehatan, dokter memiliki posisi yang lebih tinggi daripada seorang bidan, namun berdasarkan prinsip kesejawatan yang selalu dipegang teguh oleh seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan, hierarki dalam dunia kesehatan memang benar adanya, namun dalam melaksanakan tugasnya, semua saling membutuhkan, membantu dan melengkapi satu sama lain, sehingga tak ada satupun profesi didalamnya dapat dikesampingkan, begitu juga dengan seorang bidan.

Pentingnya profesi bidan juga diakui oleh Menteri Kesehatan pada Kongres XVII Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Bidan pada November 2023 lalu, disana beliau menegaskan peran strategis bidan dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak yang diakui secara global, beliau juga menyoroti pentingnya perluasan layanan bidan hingga ke tingkat desa sebagai upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), data pun juga membuktikan menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) yakni dari 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup (2015) menjadi 177 kematian per 100.000 kelahiran hidup (2020). Serta menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) yakni dari 23 kematian per 1.000 kelahiran hidup (2015) menjadi 15 kematian per 1.000 kelahiran hidup (2020), semua itu tentu tidak terlepas dari peran krusial dari para bidan di Indonesia.

Referensi

1. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (2020). Statistik Pendidikan Tinggi.

2. Konsil Kedokteran Indonesia. (2020). Standar Kompetensi Dokter.

3. Konsil Kebidanan Indonesia. (2020). Standar Kompetensi Bidan.

4. Badan Pusat Statistik. (2020). Penghasilan Dokter dan Bidan.

5. Kementerian Kesehatan. (2020). Jumlah Lowongan Kerja Dokter dan Bidan.

6. Kementerian Kesehatan. (2020). Survei Pengakuan Masyarakat Terhadap Dokter dan Bidan

7. Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik Kesehatan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image