Ziarah Kubur dan Tahlilan: Di Balik Larangan Muhammadiyah
Agama | 2024-12-21 23:52:41Ziarah kubur dan tahlilan seringkali jadi perdebatan dimana banyak yang bersepsi bahwa Muhammadiyah melarang adanya ziarah kubur dan tahlilan. Anggapan publik terkait dengan hal ini semakin menjalar kemana mana, sampai kadang publik menyamakan muhammadiyah dengan salafi. Padahal ada hal-hal yang menjadi alasan mengapa Muhammadiyah menetapkan seperti itu.
Ziarah kubur sejatinya ialah anjuran dari nabi. Pada awalnya nabi memang melaran adanya ziarah kubur karena dapat menjadi sarana untuk menyekutukan allah. Namun Seiring berjalannya waktu, nabi saw. Menganjurkan untuk menziarahi kubur, sebab dapat melembutkan hati, mengingatkan kematian dan memoersiapkan kematian.
“Diriwayatkan dari Buraidah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Dahulu aku pernah melarang ziarah kubur, maka telah diizinkan bagi Muhammad berziarah kubur bundanya. Maka berziarahlah kubur, sebab hal itu mengingatkan akhirat”.(HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Muhammadiyah sama sekali tidak melarang adanya ziarah kubur, namun penyelewengan dalam praktik ziarah kubur menyebabkan kesalahan dalam ritual ziarah itu yang membuat Muhammadiyah memutuskan untuk sebaiknya meninggalkan hal hal yang tidak sesuai dalam ajaran islam, dan mengerjakan yang sesuai dengan syari'at. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir mengatakan "seringkali menjadikan kubur sebagai tempat untuk menkeramatkan Kuburan dan orang yang berada di kubur itu, lalu meminta minta dengan orang yang ada di kubur itu dengan alasan wasilah, padahal bisa langsung kepada Allah. Berdoa di kuburan tidak apa apa, berdoa dimana saja boleh, tapi menjadikan berdoa di kuburan itu identik dengan agama itu yang masalah".
Adapun tahlilan (la ilaha illallah) merupakan zikir yang sangat di anjurkan, zikir merupakan suatu amalan yang sangat di anjurkan Allah, dan ganjaran yang luar biasa. Rasul saw besabda: “maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik).
Dalam praktek keseharian masyarakan, khususnya indonesia tahlilan di adakan berkenaan dengan upacara kematian, hal ini cenderung memberatkan pihak yang sedang berduka. Menurut Fatwa Tarjih yang diterbitkan dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003, tahlilan dilarang jika dikaitkan dengan kematian selama tujuh hari, empat puluh hari, atau seratus hari, seperti yang dilakukan oleh orang Hindu. Selain itu, dia sering harus meminjam uang kepada tetangga atau saudaranya untuk membayar biaya, yang membuatnya terlihat tabzir (berbuat mubazir).
Perbuatan semacam itu dilarang pada masa Rasulullah saw. Beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, termasuk Abdullah bin Salam dan rekannya, meminta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu seperti yang mereka lakukan saat masih beragama Yahudi. Mereka meminta izin, namun Nabi saw tidak memberikan izin, dan kemudian turun surah Al-Baqarah ayat 208
Menurut Fatwa Tarjih, situasi Islam adalah yang sesuai dengan syari'at Islam dan bebas dari semua larangan Allah, seperti syirik, takhayyul, bid'ah, khurafat, (TBC) dan lainnya.
Kesimpulan:
Baik ziarah kubur maupun tahlilan sebenarnya merupakan sunnah yang di anjurkan oleh syari'at islam. Namun, praktek yang terjadi di antara umat telah bergeser ke arah yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Alasan Muhammadiyah dengan tanggapan terhadap ziarah kubur adalah karena di jadikan sebagai sarana menyekutukan Allah, menganggap kubur keramat dan berdoa melalui perantara orang yang sudah meninggal.
Adapun tentang tahlilan Muhammadiyah melarang tahlilan yang berkenaan dengan upacara kematian tujuh hari, empat puluh hari, dan seterusnya. Hal ini karena dapat membebani pihak ahli warid yang sedang berduka.
Selama tidak melakukan hal-hal yang di luar syariat maka sejatinya boleh saya, tidak ada yang dapat melarang hal yang nabi anjurkan, termasuk Muhammadiyah. Yang dilarang hanyalah praktek-praktek yang diluar dengan yang diperintakan nash (Al-Qur'an dan Sunnah)
Namun pada dasarnya tiap kelompok tentu saja memiliki dasar dalam berpendapat, baik yang membolehkan maupun yang melarang. Tiap kelompok cukup menjalani apa yang dia yakini tanpa mendiskreditkan kelompok lain.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.