Problematika Kurikulum Merdeka: Tepat atau Cacat?
Pendidikan dan Literasi | 2024-12-21 19:12:42Dalam menghadapi perubahan zaman, sistem pendidikan menjadi perlu untuk terus diperbarui. Pendidikan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum pendidikan. Menurut Kemdikbud, ada empat kurikulum yang sudah pernah diterapkan, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi Tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, Kurikulum 2013, dan Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum 2013 yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan peserta didik pascapandemi Covid-19. Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi kurikulum alternatif untuk mengatasi kemunduran pembelajaran selama pandemi Covid-19. Kurikulum ini telah diberlakukan secara bertahap mulai tahun 2022/2023 pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah berencana untuk menerapkan Kurikulum Merdeka di satuan pendidikan yang ada di seluruh Indonesia.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperkenalkan tiga karakteristik dari Kurikulum Merdeka, yakni pengembangan soft skills dan karakter, fokus pada materi esensial, dan pembelajaran yang fleksibel. Projek untuk menguatkan pencapaian Profil Pelajar Pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.
Kurikulum Merdeka juga menawarkan tiga pilihan implementasi kurikulum secara mandiri, yaitu mandiri belajar, mandiri berubah, dan mandiri berbagi. Program yang ditawarkan Kurikulum Merdeka sangat menarik. Akan tetapi, apakah kurikulum ini sudah layak untuk ditetapkan menjadi kurikulum nasional?
Pendidikan merupakan lembaga untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Bukan menciptakan sumber daya manusia yang apa adanya. Oleh karena itu, pergantian kurikulum di satu sisi tepat untuk dilakukan. Namun, tidak serta merta pergantian kurikulum pendidikan merupakan hal yang tepat.
Dikutip dari situs website Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga tahun 2024, sebanyak 369.875 sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Dengan adanya perubahan kurikulum pendidikan, tentunya timbul beberapa problematika. Sejak Kurikulum Merdeka diperkenalkan, ada banyak keraguan dari berbagai pihak. Perpindahan kurikulum menuai berbagai kritik dari para guru. Padahal, guru memegang peran penting dalam penerapan kurikulum. Sebaik-baiknya konsep sebuah kurikulum, jika guru sebagai peran penting belum siap, maka akan menjadi sia-sia.
Kepala bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri yang dikutip dari alinea.id, mengatakan bahwa Kurikulum Merdeka membebani guru. Mempraktikkan kurikulum tersebut, menurutnya, terlalu rumit. Masalah lainnya juga timbul. Guru-guru mengalami kebingungan, terutama untuk siswa yang dari segi kehadiran dan nilainya bermasalah tetapi tetap harus naik kelas. Jika mengikuti kurikulum sebelumnya, kata Iman, siswa yang nilainya bermasalah tidak akan dinaikkan.
Salah satu sistem Kurikulum Merdeka yang mengharuskan siswa selalu naik kelas ini akan memberikan dampak negatif kepada siswa. Siswa akan kehilangan motivasi untuk belajar, toh ngga belajar pun tetap naik kelas. Apalagi, sistem Ujian Nasional untuk lulus dari jenjang saat ini sudah dihapus.
Dikutip dari aplikasi Quora dengan pertanyaan Apa tanggapanmu terkait kurikulum merdeka?, 27 jawaban yang 80 persen penjawabnya adalah siswa, mayoritas mengeluhkan capek, lelah, pusing.
"Kurikulum ini tuh bikin pusing, di kurikulum merdeka ada yang namanya P5 (Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila), nah P5 ini ngebuang waktu banget, saya udah 2 projek mengalami P5 dan dalam 1 proyek bisa 1 sampai 2 minggu terpakai hanya untuk P5. Saat P5 pun tidak ada pembelajaran, ini membuat banyak materi yang tertinggal," kata salah satu siswa dengan nama pengguna Jeish Salim.
"Sama pemisahan pemilihan materi juga bikin bingung, murid dipaksa menentukan cita cita dari kelas X, padahal untuk cita cita juga harus diikuti sama universitas dan untuk membuat keputusan masuk ke jurusan apa di universitas, minimal ya kelas XI semester 2. Malah bagusan kurikulum yang sebelumnya di mana jika saya memilih jurusan IPA kemungkinan pemilihan di jurusan universitas akan lebih banyak," lanjut Salim.
Kekhawatiran lain juga turut menghantui, yaitu kemampuan berpikir kritis. Kurikulum Merdeka lebih menekankan pada kreativitas dan inovasi. Kegiatan menghafal dan berpikir kritis tidak menjadi prioritas di kurikulum ini. Siswa terbiasa untuk bekerja secara berkelompok sehingga cara berpikir kritis siswa tidak terasah.
Bukti dari turunnya berpikir kritis siswa dapat kita saksikan di konten TikTok dengan akun Alwijo. Di konten video miliknya, Alwijo menanyakan kepada siswa tentang pengetahuan umum. Namun, siswa dengan inisial B tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan yang ditanyakan.
“Siapa wakil presiden pertama Indonesia?” tanya Alwijo.
“Prabowo Prabowo.” jawab B.
Miris. Dengan sistem pendidikan yang ditawarkan, seharusnya Kurikulum Merdeka menciptakan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan dengan sumber belajar yang mudah diakses. Namun, hasilnya malah sebaliknya. Siswa merasa terbebani, guru yang belum siap, serta dibutuhkan modal yang tidak sedikit bahkan harus merogoh dari dana pribadi. Bahkan, siswa tidak bisa menjawab pertanyaan yang seharusnya bisa dijawab.
Putranti Elok,
Mahasiswi S1 Manajemen, Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.