Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Rufi'an dan Tamparan Takdir

Sastra | 2024-12-05 09:08:42
Sumber foto: YouTube

Rufi'an memandangi tangannya setiap pagi. Tangan yang telah menampar pipi seorang murid. Tangan yang sama yang biasa mengaduk adonan jemblem, menghitung receh kembalian, dan menengadah memohon ampun kepada Allah. Di sudut bibirnya selalu tersungging senyum tipis setiap kali mengingat rasa sakit yang kini berbalik menampar dirinya sendiri.
Di dapur yang sempit, istri Rufi'an menatap suaminya dengan hati teriris. Sudah berminggu-minggu ia menyaksikan perubahan dalam diri lelaki yang dinikahinya dua puluh tahun lalu itu. Dulu, di jam-jam seperti ini, dapur mereka akan dipenuhi aroma manis adonan jemblem dan tawa renyah suaminya yang bercerita tentang kelakuan murid-muridnya. Kini yang tersisa hanya keheningan yang menggigit dan senyum aneh yang tak pernah ia pahami.
"Pak, sudah waktunya berangkat lapor," ia mengingatkan dengan lembut, meski hatinya memberontak ingin berteriak, memprotes ketidakadilan yang menimpa suaminya.
Matanya berbinar. Ya, lapor. Sebuah ritual yang selama ini ia kira hanya absen biasa. Tersangka – status yang bahkan tak ia sadari telah melekat di punggungnya. Getaran nikmat menjalar di tulang belakangnya setiap kali mengingat kebodohannya sendiri.
Setiap Senin dan Kamis, pukul setengah tujuh pagi, motor tuanya akan melaju ke Polres Kepanjen. Tiga puluh menit perjalanan yang ia nikmati sebagai ritual penebusan dosa. Waktu-waktu yang dulu ia gunakan untuk membuat jemblem, kini digantikan dengan kekosongan yang terasa manis di lidahnya – seperti puasa yang menyucikan jiwa.
"Saya tidak tahu status itu apa," begitu jawabnya pada setiap orang yang bertanya. Ada kilat kebanggaan di matanya saat mengucapkan kalimat itu, menikmati setiap tatapan iba yang diterimanya. Baginya, setiap pandangan kasihan adalah cambuk yang membuatnya merasa hidup.
Eko, sang wali kelas, memiliki pergulatan batinnya sendiri. Setiap pagi ia menyaksikan Rufi'an berangkat ke sekolah dengan motor tuanya, selalu lebih pagi dari siapapun. Ada rasa bersalah yang menggerogoti setiap kali mengingat statusnya yang ia sembunyikan dari Rufi'an. "Khawatir beliau syok," begitu ia berdalih di depan para pejabat. Tapi dalam hatinya, ia tahu ada ketakutan lain - ketakutan akan hancurnya seorang guru yang ia hormati. Namun kini, melihat senyum tipis yang selalu tersungging di bibir Rufi'an, Eko mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya yang lebih terguncang - Rufi'an, atau justru dirinya sendiri?
Di ruang guru, bisik-bisik masih sering terdengar. Para guru muda yang baru mengajar beberapa tahun menatap Rufi'an dengan campuran rasa takut dan kagum. Mereka melihat dalam dirinya bayangan masa depan yang menakutkan sekaligus memesona - bagaimana sebuah niat baik bisa berujung malapetaka, bagaimana dedikasi bisa berubah menjadi derita. Tapi yang membuat mereka lebih takjub adalah cara Rufi'an menyikapi semua ini.
Tuntutan 70 juta rupiah terasa seperti mahkota duri yang ia pilih untuk dikenakan sendiri. Ketika menawar menjadi 2 juta dan ditolak mentah-mentah, senyum tipis mengembang di bibirnya yang kering. Tentu saja mereka menolak. Bukankah itu yang ia harapkan? Bukankah penderitaan ini yang pantas ia terima?
Setiap malam, mimpi yang sama menghantuinya. Dalam mimpi itu, tangannya bergerak lambat, mendarat di pipi muridnya seperti belaian maut. Ia terbangun dengan keringat dingin dan jantung berdebar, tapi ada kepuasan yang tak bisa dijelaskan terpancar dari matanya yang lelah.
Gorengan jemblem yang tak lagi ia buat kini berganti dengan rasa hampa yang memabukkan. Para pelanggan setianya mungkin bertanya-tanya ke mana perginya penjual jemblem favorit mereka. Tapi bagaimana menjelaskan bahwa kehilangan ini adalah kenikmatan tersendiri baginya?
Setiap kali pengacara menawarkan bantuan, ia tersenyum dan mengangguk sopan. Dalam hati, ia tahu bahwa ia tidak menginginkan jalan mudah. Biar saja proses hukum ini menggulungnya seperti ombak menghantam karang. Bukankah karang menjadi indah justru karena diterjang ombak?
Ya, zaman memang sudah berubah. Tapi bagi Rufi'an, perubahan ini adalah berkah terselubung. Setiap tamparan yang ia berikan kini berbalik menjadi ribuan tamparan ke wajahnya sendiri. Dan anehnya, ia menikmati setiap detiknya dengan khidmat.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Rufi'an duduk di depan rumahnya, mendengarkan adzan Isya berkumandang dari mushola. Marbot mushola, yang sudah hafal kebiasaan Rufi'an duduk di beranda setelah Isya, kadang bertanya-tanya apa yang dipikirkan guru agama itu. Ia masih ingat bagaimana dulu Rufi'an selalu membagi jemblem gratis setiap selesai pengajian. Kini, dalam keremangan lampu teras, ia hanya melihat sosok yang tenggelam dalam diamnya sendiri, dengan senyum yang entah ditujukan pada siapa.
Di sudut ruang tamunya yang sempit, Rufi'an duduk sendirian. Matanya menatap kosong ke arah figura ijazah guru agama yang tergantung di dinding. Dua puluh lima tahun mengabdi, dan inilah hadiah yang ia terima. Tapi anehnya, bukannya pahit, ia justru merasakan manis yang aneh. Seolah setiap tamparan takdir ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar, sebuah ujian yang memurnikan jiwanya yang telah lama berkarat oleh rutinitas.
Dan ia tersenyum. Karena dalam kegelapan ini, dalam rasa sakit ini, dalam segala kehilangan ini, ia telah menemukan dirinya yang sejati. Seorang guru yang menemukan pencerahan dalam kegelapan, kenikmatan dalam derita, dan kemuliaan dalam kehinaan.
Di kejauhan, suara adzan masih mengalun. Dan dalam keremangan senja, sosok Rufi'an masih tersenyum. Sebuah senyum yang hanya dipahami oleh mereka yang telah menemukan nikmat dalam derita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image