Rakyat Diuber Pajak, Indikasi Penerapan Sistem Rusak?
Politik | 2024-11-25 18:51:37Oleh Sumiyah Umi Hanifah
Pemerhati Kebijakan Publik
Slogan "Orang Bijak Taat Pajak," "Bangga Bayar Pajak," dan "Lunasi Pajaknya, Awasi Penggunaannya," sudah tidak asing di telinga kita. Slogan ini sengaja digaungkan pemerintah dengan maksud agar rakyat taat membayar pajak. Akhir-akhir ini pemerintah begitu gencar mempromosikan pungutan pajak kepada rakyatnya. Padahal perekonomian masyarakat Indonesia yang sedang jungkir balik, banyak individu atau badan usaha yang tidak sanggup membayar pajak. Jangankan untuk membayar pajak, sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok atau untuk biaya operasional sehari-hari saja banyak yang "kelimpungan."
Negara melalui peraturan perundang-undangan, mewajibkan warganya untuk membayar berbagai jenis pajak. Salah satunya adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Dilansir dari laman oto.detik.com, Kamis, 7/11/2024, menurut Kepala Koordinator Lalu Lintas (Korlantas), Irjen pol Aan Suhanan, menyebutkan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat dalam mentaati peraturan pemerintah terkait dengan kewajiban melakukan perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang dilakukan 5 tahun sekali itu sangat minim. Dari jumlah 165 juta unit kendaraan terdaftar, hanya setengahnya yang bayar pajak.
Meskipun demikian, pihak kepolisian tidak kehabisan akal, menurutnya pemerintah akan mengambil kebijakan yang dianggap akan membuat masyarakat menjadi patuh membayar pajak kendaraannya. Pemerintah akan nekat melakukan program "jemput bola" atau "door to door," yaitu akan menyambangi rumah pemilik kendaraan yang tercatat belum bayar pajak. Tujuannya untuk menyadarkan dan mengingatkan warga untuk segera membayar pajak. Adapun langkah kedua yaitu dengan cara melaksanakan penegakkan hukum bagi warga yang terbukti tidak melunasi pembayaran pajak.
Banyak pihak yang menyangsikan keberhasilan program ini. Sebab, masyarakat yang enggan atau memilih tidak membayar pajak itu bukannya tidak mau bayar pajak, akan tetapi disebabkan karena kondisi ekonomi mereka yang tidak memungkinkan untuk bayar pajak. Mahalnya Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) menjadi salah satu penyebab mereka tidak sanggup membayar pajak. Maka tidak heran jika masyarakat banyak yang menanti adanya "pemutihan pajak kendaraan." Yakni, sebuah kebijakan dari negara untuk membebaskan biaya balik nama kendaraan bagi masyarakat, dalam jangka waktu yang ditentukan.
Pemerintah sengaja mengambil kebijakan ini dengan maksud agar pajak kendaraan yang telah "mati" atau menunggak, akan bisa "hidup" atau dibayarkan pajaknya kembali. Sehingga pemasukan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor mengalir kembali' ke Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Kebijakan negara yang menguber rakyatnya untuk segera melunasi PKB hingga ke rumah-rumah dinilai tidak adil. Pasalnya, perlakuan negara terhadap rakyat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan perlakuannya terhadap pengusaha asing, yang mengekspor produk mereka ke Indonesia.
Tentu kita masih ingat, pada bulan Februari 2024 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah membebaskan pajak (bea) bagi masuknya kendaraan mobil mewah ke Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tahun 2024, Tentang PPNBM atas impor atau penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu, yang ditanggung pemerintah pada tahun anggaran 2024. Tidak main-main, besaran pajak yang ditanggung pemerintah mencapai 100 persen. Dengan kata lain, selama kurun waktu bulan Januari-Desember 2024, pembelian mobil listrik tidak dikenakan pajak. (cnbcindonesia.com, 21/2/2024)
Kebijakan kontradiktif yang diterapkan negara ini jelas menyakiti hati rakyat. Rakyat yang tengah terpuruk ekonominya justru dikejar-kejar pajak, sedang para pengusaha asing berkantong tebal banyak mendapatkan keringanan/penghapusan pajak. Dalam sistem kapitalis, rakyat dipaksa membayar pajak, dengan dalih untuk kesejahteraan rakyat dan untuk pembangunan. Padahal, rakyat sendiri tidak pernah menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut. Faktanya, pembangunan infrastruktur yang dijanjikan oleh pemerintah hanya menguntungkan oligarki semata. Buktinya masih banyak daerah terpencil di pelosok negeri yang sama sekali belum tersentuh pembangunan. Sementara pajak diwajibkan kepada seluruh rakyat, tanpa kecuali.
Mirisnya lagi uang pajak banyak yang masuk ke kantong-kantong pejabat negara. Para oknum pejabat begitu rakusnya memakan uang rakyat. Sebagai bukti adalah maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh orang dalam. Sebut saja kasus korupsi pengemplangan pajak yang merugikan negara Rp300 triliun oleh Direktorat Jendral Pajak (DPJ) Yulmanizar dan rekan-rekannya pada tahun 2016-2017 yang lalu. Sistem Kapitalis terbukti melahirkan pejabat-pejabat korup. Pejabat yang suka sekali malak uang rakyat.
Inilah kehidupan dalam sistem kapitalis-liberalis. Negara tidak hadir sebagai pengurus urusan rakyat, tapi hanya berfungsi sebagai regulator. Penguasa dalam sistem batil ini bekerja bukan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi akan mengutamakan kepentingan para oligarki. Padahal, kaum oligarki datang ke negeri ini dengan maksud untuk menguasai perekonomian dalam negeri. Akibatnya banyak rakyat yang hidup dalam kubangan kemiskinan yang diciptakan oleh sistem. Sebab, harta hanya berputar di kalangan orang-orang tertentu saja. Ibarat pepatah, "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin." Rakyat diuber pajak, menjadi indikasi penerapan sistem rusak (salah).
Kondisinya akan berbeda, apabila negara menerapkan sistem Islam. Sebab, dalam sistem Islam (khilafah) pemimpin negara akan mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan rakyat. Fungsi kepemimpinan dalam Islam salah satunya adalah sebagai pengurus urusan rakyat dan untuk menjaga akidah umat. Khalifah bekerja sesuai dengan ketentuan syariat demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem Islam, sumber utama pendapatan negara bukan berasal dari pajak. Tidak seperti dalam sistem kapitalis, yang menjadikan pajak sebagai pilar ekonomi negara.
Dalam Islam, sumber pendapatan negara terbagi menjadi tiga pos.
1. Pos fa'i dan kharaj (berasal dari ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, dan dharibah).
2. Pos kepemilikan umum (berasal dari pengelolaan barang tambang, minyak dan gas, listrik, hasil laut, perairan, hutan, padang, dan rumput)
3. Pos Sedekah (berasal dari pengelolaan zakat, baik zakat mal maupun zakat perdagangan)
Dalam negara yang menerapkan sistem Islam (khilafah), penarikan pajak (dharibah) boleh dilakukan apabila Baitul Mal mengalami defisit (kosong). Dharibah merupakan pilihan akhir setelah tidak ada lagi pos-pos pemasukan negara lainnya. Dharibah adalah pajak yang diwajibkan kepada kaum Muslim yang kaya (mampu) saja, dan diperuntukkan bagi para para fakir, miskin, Ibnu Sabil, dan pelaksanaan kewajiban jihad, yang semuanya itu diperbolehkan oleh Allah Swt.
Sabda Rasulullah saw.,
"Tidak akan masuk Surga orang yang menarik cukai" (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Kesimpulannya adalah bahwa tidak boleh seorang kepala negara mengambil harta rakyat secara zalim dan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Sebaliknya, jika syariat Islam membolehkan pemungutan harta yang diwajibkan kepada rakyat (karena kondisi darurat), maka rakyat (kaum Muslim) harus taat. Demikianlah, bahwasanya Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Muslim dan nonmuslim semua diperlakukan sama oleh negara. Dengan demikian akan terwujud negara yang sejahtera, aman, adil, dan makmur. Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Wallahualam bissawwab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.