Bursa Karbon Indonesia dan Perdagangan Emisi Global
Sekolah | 2024-11-25 08:49:44Perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan global yang paling mendesak, mendorong negara-negara untuk berinovasi dalam kebijakan mitigasi emisi karbon, dan Indonesia, sebagai salah satu negara dengan potensi sumber daya alam terbesar, telah mengambil langkah signifikan dengan meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (BKI) pada 26 September 2023. Hal ini disampaikan oleh Wuku Astuti, yang merupakan Dosen Program Studi (Prodi) Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Widya Mataram (UWM) pada Senin (25/11) di Kampus UWM, Banyuraden, Gamping, Sleman.
BKI menjadi wadah utama untuk memperdagangkan sertifikat karbon di dalam negeri, sekaligus bagian dari komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris untuk mencapai target net zero emission pada 2060. “Namun, di tengah berbagai potensi yang ditawarkan, efektivitas bursa karbon ini perlu ditelaah lebih jauh, terutama dari perspektif ekonomi dan akuntansi lingkungan,” tambahnya.
Secara teoritis, bursa karbon merupakan salah satu implementasi konsep nilai ekonomi karbon (carbon pricing), di mana pelaku pasar yang mampu mengurangi emisinya dapat menjual kelebihan emisi dalam bentuk sertifikat karbon. “Pada tahun pertama operasionalnya, BKI mencatat volume perdagangan sebesar 613.894 ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e) dengan nilai transaksi mencapai Rp37 miliar. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia, angka ini menunjukkan potensi besar Indonesia dalam perdagangan karbon,” kata Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Akuntansi STIE YKPN ini.
Namun, keberhasilan awal ini tidak boleh menutupi tantangan yang mendasar. Dalam perspektif ekonomi akuntansi, salah satu isu kritis adalah validitas dan reliabilitas data emisi yang menjadi dasar perdagangan karbon. “Akuntabilitas dalam pelaporan emisi membutuhkan sistem yang komprehensif, mulai dari pengukuran emisi hingga audit sertifikat karbon, sehingga tanpa sistem ini, risiko terjadinya greenwashing—praktik manipulasi data untuk menunjukkan seolah-olah sebuah entitas lebih ramah lingkungan—akan meningkat,” tuturnya.
Tantangan lain yang perlu mendapat perhatian adalah kesenjangan kapasitas antara perusahaan besar dan usaha kecil-menengah (UKM). Sementara perusahaan besar memiliki akses terhadap teknologi hijau, banyak UKM yang masih terkendala biaya dan pengetahuan untuk berpartisipasi dalam pasar karbon.
Meskipun tantangan tersebut signifikan, potensi yang dimiliki BKI tidak bisa diabaikan. “Dengan kekayaan alam seperti hutan tropis dan ekosistem mangrove, Indonesia dapat memanfaatkan pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) dalam menghasilkan kredit karbon berkualitas tinggi, dimana kredit karbon yang berasal dari proyek restorasi hutan atau konservasi mangrove memiliki daya tarik tinggi di pasar internasional, mengingat dampak positifnya tidak hanya pada pengurangan emisi, tetapi juga pada keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat local,” tegasnya.
Dalam teori ekonomi lingkungan, nilai ekonomi karbon adalah bentuk internalisasi eksternalitas negatif, di mana pelaku ekonomi mulai mempertimbangkan dampak lingkungan dalam proses produksi mereka. “Sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam terbesar, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin di pasar karbon global, namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada bagaimana kebijakan ini diimplementasikan secara konsisten dan transparan, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat,” tutupnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.