Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Senja yang Tertunda

Sastra | 2024-11-21 19:53:09
Sumber foto: Canva

Bandung, 1995
Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 ketika Ratih melangkah keluar dari gedung fakultas ekonomi. Langit cerah khas siang hari Bandung menyambutnya, namun pikirannya berkabut oleh kejadian setengah jam lalu. Udara Bandung yang sejuk membelai wajahnya, membawa aroma campuran antara bunga kertas yang mekar di sepanjang pagar kampus dan wangi gorengan dari kantin yang masih ramai dengan mahasiswa. Surat berwarna biru muda itu masih terlipat rapi dalam buku catatannya—surat dari Dimas, teman seangkatannya yang selama ini hanya dia kenal sebagai mahasiswa pendiam yang selalu duduk di pojok kelas.
"Temui aku di Taman Sari jam 8 malam ini. Ada yang ingin kusampaikan."
Begitu isi surat itu, singkat namun membuat jantung Ratih berdebar tak karuan. Selama tiga semester berkuliah, ini pertama kalinya Dimas menunjukkan gesture yang lebih dari sekadar anggukan sopan saat berpapasan di koridor. Di luar gedung fakultas, suara dengung motor bebek bercampur dengan celoteh mahasiswa yang baru selesai kuliah, menciptakan simfoni khas kampus di siang hari.
Pukul 15.30, Ratih sudah berada di kamar kosnya. Ruangan berukuran 3x4 meter itu dipenuhi poster Slank dan Dewa 19 yang ditempel rapi di dinding bercat krem. Sebuah kipas angin tua berderik pelan di sudut ruangan, mengibaskan tirai tipis berwarna ungu yang menggantung di jendela. Di hadapannya, cermin oval memantulkan bayangan gadis berusia 19 tahun yang kebingungan memilih baju. Sahabatnya, Nina, duduk di tepi tempat tidur bermotif bunga-bunga sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamu yakin mau ketemu dia? Dimas yang pendiam itu?" tanya Nina untuk kesekian kalinya, tangannya sibuk membolak-balik majalah HAI edisi terbaru.
Ratih mengangguk mantap. "Entahlah, Nin. Ada sesuatu dari cara dia memandang yang berbeda. Seperti... dia melihat sesuatu dalam diriku yang orang lain tidak lihat."
"Halah, kebanyakan nonton film romantis kamu!" Nina melempar bantal ke arah Ratih yang tertawa. Aroma pengharum ruangan beraroma vanila bercampur dengan wangi mi instan dari kamar sebelah, menciptakan atmosfer khas kehidupan anak kos.
Pukul 17.00, hujan turun membasahi Bandung. Dari jendela kosnya yang berembun, Ratih bisa melihat paying-payung warna-warni bermunculan di jalanan, sementara beberapa anak kecil berlarian mencari tempat berteduh dengan tawa riang. Aroma tanah basah mulai merayap masuk melalui celah jendela, bercampur dengan wangi kopi dari warung di seberang jalan. Dia sempat berpikir untuk membatalkan pertemuan ini, tapi hatinya menolak. Ada sesuatu yang membuatnya yakin, malam ini akan menjadi malam yang mengubah hidupnya.
Pukul 18.45, hujan mereda menjadi gerimis halus. Ratih melangkah keluar dengan payung lipat biru mudanya—sewarna dengan surat Dimas. Lampu-lampu jalan mulai menyala satu persatu, menciptakan pendar kekuningan yang memantul di genangan air. Aroma petrichor menguar dari aspal basah, bercampur dengan wangi bengkoang dari pedagang kaki lima yang mulai bersiap pulang. Suara klakson angkot dan denging motor RX-King sesekali memecah keheningan malam yang mulai turun.
Taman Sari tampak sepi ketika Ratih tiba pukul 19.50. Lampu-lampu taman menyala redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di genangan air. Suara jangkrik bersahutan dari semak-semak, diselingi gemerisik daun beringin yang tertiup angin malam. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat sosok familiar berdiri di bawah pohon beringin besar.
Dimas sudah menunggunya, dengan jaket denim yang selalu dia pakai ke kampus. Rambutnya yang hitam legam sedikit basah oleh gerimis, dan kacamatanya berembun tipis. Di tangannya, sebuah walkman hitam tergenggam erat, headphone silver mengalung di lehernya.
"Kamu datang," kata Dimas pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam desau angin malam. Aroma cologne maskulin samar-samar tercium, bercampur dengan wangi hujan yang masih tersisa.
Ratih mengangguk, "Iya."
"Ada... ada yang ingin aku perdengarkan." Dimas mengulurkan walkman-nya dengan tangan sedikit gemetar. "Aku sudah merekam ini berkali-kali sampai sempurna."
Ratih menerima walkman itu, memasang headphone di telinganya. Bunyi 'klik' pelan terdengar saat dia menekan tombol play. Sebuah lagu mengalun lembut—Dimas memainkan gitar dan menyanyikan "Bintang di Surga" dari Peterpan dengan versinya sendiri. Suara petikan gitar akustik yang hangat berpadu dengan suara Dimas yang lembut, menciptakan melodi yang membuat malam terasa lebih intim. Di antara lirik-liriknya, terselip kata-kata yang membuat mata Ratih berkaca-kaca:
"Untuk Ratih, yang selama ini diam-diam ku perhatikan. Yang tawanya membuat hatiku menghangat. Yang kebaikannya membuat aku ingin menjadi manusia yang lebih baik."
Pukul 20.30, mereka duduk berdampingan di bangku taman. Gerimis telah berhenti sepenuhnya, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan. Suara gemericik air dari kolam kecil di tengah taman menciptakan melodi alam yang menenangkan. Cahaya bulan yang mulai mengintip dari balik awan membentuk kilauan perak di permukaan genangan air. Dimas menceritakan bagaimana dia selalu memperhatikan Ratih dari kejauhan, bagaimana dia mengagumi kecerdasan dan ketulusan gadis itu saat membantu teman-temannya yang kesulitan dalam mata kuliah Akuntansi.
"Aku bukan orang yang pandai berkata-kata," ujar Dimas. "Tapi aku ingin kamu tahu, perasaan ini... lebih dari sekadar kagum."
Ratih tersenyum. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya, rasa yang selama ini tidak pernah dia rasakan. Di kejauhan, suara kereta api terakhir melintasi rel dengan denging panjang yang melankolis. "Kamu tahu, Dimas? Kadang cinta tidak perlu kata-kata yang indah. Cukup dengan ketulusan."
Mereka menghabiskan dua jam berikutnya berbincang tentang segala hal—dari musik hingga mimpi-mimpi mereka. Bunyi kertak kayu bangku taman yang sudah tua mengiringi setiap gerakan mereka. Dimas bercerita tentang keinginannya menjadi musisi, sementara Ratih membagi impiannya membangun sekolah untuk anak-anak kurang mampu. Sesekali terdengar suara burung hantu dari pohon beringin tua, seolah menjadi saksi bisu pertemuan dua hati yang mulai menemukan resonansinya.
Pukul 22.00, mereka berjalan pulang dengan perasaan yang berbeda dari enam jam sebelumnya. Lampu-lampu jalan yang temaram menciptakan bayangan panjang di trotoar basah. Bukan sebagai dua orang asing yang canggung, tapi sebagai dua hati yang mulai menemukan resonansinya. Suara derap langkah mereka berpadu dengan gemerisik angin malam yang membawa wangi melati dari pekarangan rumah-rumah tua di sepanjang jalan.
Di persimpangan jalan menuju kos Ratih, di bawah lampu jalan yang berpendar kuning, Dimas memberanikan diri menggenggam tangan gadis itu. Tangannya yang hangat kontras dengan udara malam yang mulai dingin. "Boleh aku antar kamu pulang lagi besok?"
Ratih mengangguk, tersenyum. "Tentu."
Malam itu mungkin bukan akhir dari sebuah penantian, tapi justru awal dari sebuah perjalanan. Karena terkadang, cinta pertama tidak selalu tentang ending yang sempurna. Kadang, ia adalah prolog dari kisah yang jauh lebih indah—seperti gerimis yang membersihkan udara sebelum fajar yang cerah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image