Ahmada
#2 Jejak Sang Ksatria: Epos Joko Tingkir Bab 2
Sastra | 2024-11-19 14:01:57
Bab 2: Perjalanan Menuntut IlmuMatahari mulai memanjat langit, mewarnai cakrawala dengan semburat oranye keemasan. Pengging yang sebelumnya gemerlap dengan semangat para warganya, kini tampak berbeda. Bekas-bekas pertempuran masih terlihat; sisa-sisa rumah yang hangus, reruntuhan pagar kayu, dan tanah yang becek oleh darah. Karebet memandangi desa yang ia cintai dengan hati yang berat, namun dalam benaknya telah tertanam tekad yang tak tergoyahkan: ia harus menjadi lebih kuat, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melindungi mereka yang tak mampu.“Mas Karebet,” suara lembut Sekar memecah lamunannya. Gadis itu mendekat, dengan wajah masih pucat dan mata berkaca-kaca. “Kau yakin ingin pergi sejauh itu? Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?”Karebet menoleh dan menatap Sekar dalam-dalam. Ada perasaan yang saling terjalin di antara mereka, perasaan yang tidak perlu diucapkan. “Aku harus, Sekar. Ki Prawiro sudah mengajarkan banyak, tapi aku merasa itu belum cukup. Di luar sana, ada guru-guru yang konon memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi. Hanya dengan ilmu itu aku bisa melindungi desa ini.”Sekar diam, menundukkan kepala. Ia tahu Karebet benar, tetapi hatinya enggan berpisah. Namun, sebelum ia sempat berkata lebih, Ki Prawiro muncul dari balik kerumunan warga.“Karebet, keputusanmu sudah bulat?” tanya Ki Prawiro dengan nada serius. “Jika kau ingin mencari ilmu di luar sana, jalan yang kau pilih tidak akan mudah. Akan ada cobaan yang bahkan bisa merenggut nyawamu.”Karebet mengangguk tegas. “Aku siap, Ki. Aku tidak ingin peristiwa semalam terulang lagi. Jika harus bertaruh nyawa, aku rela melakukannya demi desa ini.”Ki Prawiro menatap pemuda itu dengan mata yang penuh rasa bangga sekaligus khawatir. “Baiklah, jika itu kehendakmu. Aku akan memberimu arah. Pergilah ke selatan, ke arah hutan Purwodadi. Di sana, ada seorang pertapa yang dikenal sebagai Ki Ageng Sela. Ia bukan hanya seorang ahli silat, tetapi juga seorang bijak yang menguasai ilmu kanuragan tingkat tinggi.”Mata Karebet menyala mendengar nama itu. Ki Ageng Sela, nama yang ia dengar dalam cerita-cerita lama tentang pendekar sakti yang bisa mengendalikan petir. Tanpa berpikir panjang, ia mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk berangkat keesokan harinya.***Perjalanan Karebet menuju hutan Purwodadi tidak mudah. Ia melewati hutan-hutan lebat yang penuh dengan suara binatang malam, mengarungi sungai yang dingin dengan arus yang deras, dan menghadapi gangguan dari para perampok jalanan yang mencoba merampas barang bawaannya. Namun, setiap tantangan itu ia hadapi dengan ketenangan dan keberanian. Setiap ayunan pedangnya membawa kekuatan dan ketelitian yang ia pelajari dari Ki Prawiro, tetapi hatinya terus berteriak, meminta lebih.Suatu malam, ketika bintang-bintang mulai muncul dan hutan di sekitarnya terasa begitu sunyi, Karebet bertemu dengan seorang pria berjubah putih yang duduk di bawah pohon beringin tua. Wajah pria itu dipenuhi keriput, tetapi sorot matanya tajam, seolah bisa menembus jiwa siapa pun yang menatapnya.“Kau siapa, anak muda?” tanya pria itu tanpa membuka mata.Karebet tertegun. “Aku Mas Karebet dari Pengging, hendak mencari Ki Ageng Sela untuk belajar silat.”Pria itu membuka matanya perlahan dan menatap Karebet, tersenyum samar. “Banyak yang datang mencari Ki Ageng Sela, tapi tidak semua layak menerima ajarannya. Apa yang membuatmu berbeda dari yang lain?”Karebet merasa tantangan dalam pertanyaan itu, tetapi ia menjawab tanpa ragu. “Aku ingin belajar untuk melindungi mereka yang tak bisa melindungi diri mereka sendiri. Aku ingin menjadi kuat agar bisa menjaga tanah kelahiranku dari bahaya.”Pria itu mengangguk, seolah mendengar jawaban yang memuaskan. “Ikuti aku,” katanya singkat, lalu berdiri dan mulai berjalan ke dalam kegelapan hutan. Karebet mengikutinya tanpa ragu, meskipun setiap langkahnya membawa ketidakpastian.***Pelatihan bersama Ki Ageng Sela adalah ujian sejati bagi Karebet. Tidak hanya latihan fisik yang menguras tenaga, tetapi juga ujian mental yang membuatnya harus menghadapi ketakutan terdalamnya. Ki Ageng Sela mengajarkan ajian *Petir Biru*, ilmu kanuragan langka yang memerlukan pengendalian penuh atas emosi dan energi batin.“Dengar, Karebet,” kata Ki Ageng Sela pada suatu hari saat hujan turun deras, mengguyur mereka di atas bukit. “Ajian ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang menyatu dengan alam. Kau harus bisa merasakan setiap hembusan angin, setiap tetesan hujan. Jika kau bisa memahami ini, kau bisa mengendalikan kekuatan di sekitarmu.”Karebet berdiri di tengah guyuran hujan, merasakan setiap tetesan air menyentuh kulitnya. Dengan mata terpejam, ia mencoba menyatukan dirinya dengan alam, mengatur napasnya sesuai irama alam. Perlahan, di balik kelopak matanya yang tertutup, ia merasakan percikan energi yang mengalir di antara jari-jarinya, seperti aliran petir yang siap meledak kapan saja.Namun, pelatihan itu bukan tanpa risiko. Pada suatu malam, saat Karebet tengah mencoba menguasai jurus tersebut, ia kehilangan kendali dan hampir tersambar petir yang turun dari langit. Sekar yang diam-diam mengikuti perjalanan Karebet dan tiba di hutan Purwodadi untuk memberikan kabar dari desa, menyaksikan kejadian itu dari kejauhan. Wajahnya memucat, hatinya berdegup kencang saat melihat Karebet nyaris terjatuh dari tebing akibat ledakan energi yang tak terkendali.“Karebet!” teriak Sekar saat ia berlari ke arahnya. Tanpa pikir panjang, ia meraih tangan Karebet yang hampir jatuh.Karebet membuka matanya perlahan, menyadari kehadiran Sekar dan merasakan hangatnya genggaman tangan gadis itu. Di saat itu, ada perasaan yang lebih kuat dari semua ajian dan latihan yang pernah ia jalani. Perasaan cinta yang tiba-tiba menguat, seolah memberi kekuatan baru yang tak pernah ia sadari sebelumnya.“Sekar... kenapa kau di sini?” bisik Karebet dengan napas tersengal.“Aku tak bisa hanya menunggu di desa tanpa tahu kabarmu,” jawab Sekar dengan mata yang berlinang air mata. “Karebet, aku takut kehilangamu.”Ki Ageng Sela, yang melihat kejadian itu dari kejauhan, tersenyum kecil. Ia tahu bahwa kekuatan terbesar Karebet bukan hanya terletak pada otot atau ajiannya, tetapi pada hatinya yang mampu mencintai dan dicintai.Hari-hari berikutnya, pelatihan Karebet berjalan lebih lancar. Kini, ia bukan hanya berlatih untuk menjadi kuat, tetapi juga untuk kembali ke desa dan melindungi Sekar serta orang-orang yang ia cintai. Dan ketika akhirnya ia berhasil menguasai ajian *Petir Biru*, senyum kemenangan muncul di wajahnya, menandakan awal dari perjalanan baru yang lebih besar dan berbahaya.---
*Keteguhan Hati dan Ujian Jiwa*Beberapa minggu telah berlalu sejak Karebet memulai pelatihan intensif di bawah bimbingan Ki Ageng Sela. Fisiknya semakin kuat, tetapi latihan ini tak hanya tentang kekuatan jasmani. Karebet belajar bahwa kekuatan sejati datang dari mengendalikan batin, memahami sumber daya dalam dirinya sendiri, dan mengatasi rasa takut serta amarah yang terkadang tak terkendali.Suatu sore, saat Karebet menyelesaikan meditasi di tepi sungai yang mengalir jernih, Sekar datang membawa pesan dari istana Demak. Tatapannya serius, seolah membawa kabar yang akan mengubah segalanya.“Ada yang datang dari Demak, Mas. Mereka mencari tahu keberadaanmu,” ujar Sekar, menatap Karebet dengan cemas. Angin semilir yang biasanya menenangkan kini terasa seperti membawa firasat buruk.Karebet menghela napas, mencoba menenangkan gelombang kecemasan yang muncul. “Pasti ada sesuatu yang terjadi di istana. Sultan Trenggono mungkin sedang menghadapi ancaman baru, dan ini bisa menjadi tanda bahwa waktuku di sini hampir selesai.”Mata Sekar melembut, namun sorot ketakutan tetap tak bisa ia sembunyikan. “Kau harus berhati-hati, Mas. Dunia istana penuh dengan tipu muslihat. Jika kau kembali, aku takut akan ada bahaya yang mengintaimu.”Karebet meraih tangan Sekar, merasakan detak jantungnya yang berdebar di balik kulitnya. “Aku tahu, Sekar. Tapi kewajibanku tak bisa kuabaikan. Demi tanah kelahiran dan juga demi dirimu, aku harus menghadapinya.”Malam itu, Karebet duduk di depan perapian, matanya menatap api yang menari dengan liar. Ki Ageng Sela menghampirinya, membawa pundi-pundi kecil berisi serbuk yang berkilau keperakan.“Ini adalah penawar dan pelindung, Karebet,” kata Ki Ageng sambil meletakkan pundi itu di pangkuannya. “Sebelum kau melangkah ke istana, kau harus tahu bahwa tak hanya kekuatan senjata yang akan menyelamatkanmu, tetapi juga kebijaksanaan dalam membaca gerak-gerik lawan dan kawan.”Karebet menatap gurunya, memahami bahwa yang akan dihadapinya di istana bukan hanya pertempuran fisik, tetapi juga politik yang rumit. “Terima kasih, guru. Saya akan memanfaatkan segala pelajaran yang telah kau ajarkan.”***Keesokan paginya, Karebet berangkat ke istana dengan perasaan campur aduk. Sepanjang perjalanan, bayangan tentang Sultan Trenggono dan para petinggi istana bermain di benaknya. Sejarah mencatat betapa kuatnya Dinasti Demak, tetapi kekuatan itu sering kali terancam dari dalam oleh intrik dan ambisi para bangsawan yang haus kuasa.Ketika ia tiba di gerbang istana, Karebet disambut oleh suara gong besar yang berdentang, pertanda pertemuan besar akan dimulai. Di dalam aula utama, para pembesar istana duduk dengan ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Di atas singgasana, Sultan Trenggono menatap Karebet dengan mata tajam.“Karebet, engkau telah dipanggil kembali karena negeri ini berada di ambang perpecahan,” ucap Sultan. “Aku mempercayakanmu dengan misi penting untuk menjaga keamanan dan mengatasi ancaman dari pihak-pihak yang bersekongkol melawan kerajaan.”Karebet membungkuk hormat, tetapi hatinya berdebar. Tantangan yang ada di depannya kini jauh lebih besar dari sekadar latihan di hutan. Ia tahu bahwa di antara para bangsawan itu, mungkin ada pengkhianat yang siap menikam dari belakang.Di sela-sela keramaian, matanya bertemu dengan sosok yang tak terduga. Seorang perempuan berbalut kebaya ungu muda dengan senyum tipis yang tersirat misteri. Dialah Roro Purnami, seorang putri dari kalangan bangsawan yang dikenal cerdas dan berani. Pertemuan pandangan itu seakan mengisyaratkan bahwa perjalanan Karebet di istana tak hanya akan penuh dengan pertempuran, tetapi juga ujian hati.Sekembalinya ke kamarnya, Karebet duduk termenung, memikirkan setiap detail yang ia lihat dan dengar. Tidak ada yang mudah di istana ini, dan ia tahu bahwa langkah kecil sekalipun bisa memicu gempa besar. Sementara itu, bayangan Sekar yang menunggu di pinggiran hutan terus menghantuinya, menjadi sumber kekuatan dan kelemahannya.---
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.