#8 Serial Joko Tingkir: Bab 8: Warisan dan Kebijaksanaan
Sastra | 2024-11-30 13:41:26
Warisan dan Kebijaksanaan (Versi Cerita dengan Penambahan Elemen Legenda) Malam di istana Pajang terasa sunyi, seolah-olah alam semesta ikut merasakan ketegangan yang menyelimuti hati Sultan Hadiwijaya. Di tengah ketenangan itu, ada satu kisah yang selalu menjadi pembicaraan di kalangan para pendekar dan rakyat Pajang: percobaan pembunuhan terhadap Sultan yang hampir mengguncang kerajaan. Suatu malam yang penuh dengan gelap dan dingin, saat Sultan Joko Tingkir tengah beristirahat setelah seharian memimpin pertemuan penting dengan para pejabat kerajaan, ancaman yang sangat besar datang menghampiri. Sebuah rencana licik yang digerakkan oleh sekelompok pendekar terlatih dari Bagelan yang dipimpin oleh seorang ahli silat bernama Ki Gede Kentolan. Ki Gede Kentolan adalah seorang pendekar yang sangat terampil, namun dipenuhi rasa dendam terhadap Sultan Hadiwijaya. Ia percaya bahwa hanya dengan menyingkirkan Sultan, ia bisa mengembalikan kekuatan dan kemuliaan kelompoknya, yang merasa terhina oleh kedudukan Hadiwijaya yang baru. Dengan pengikutnya yang setia, mereka merencanakan pembunuhan besar-besaran terhadap sang Sultan. Malam itu, mereka bergerak cepat dan diam-diam menuju istana. Para pendekar yang dipilih sudah dilatih untuk menghadapi segala situasi, bahkan dalam keadaan yang sangat sunyi. Mereka membawa keris Setan Kober, sebuah senjata legendaris yang konon memiliki kekuatan gaib. Dikisahkan bahwa keris tersebut dapat menembus tubuh siapa saja tanpa menimbulkan suara, dan bagi yang terkena bilahnya, mereka akan jatuh tanpa sempat melawan. Namun, meskipun mereka sudah mengintai dengan cermat, ada sesuatu yang tidak mereka ketahui: Sultan Hadiwijaya bukanlah pria biasa. Ilmu kebal dan kemampuan bertarung yang dimilikinya, hasil dari latihan keras dan petualangan panjangnya, telah menguatkan tubuh dan batinnya. Bahkan dalam tidurnya, ia terjaga oleh kekuatan gaib yang ia dapatkan dari guru-gurunya, termasuk Ki Ageng Selo, yang mengajarkannya ilmu kebal dan pengendalian diri. Pada saat seratus pendekar itu masuk ke kamar Sultan, mereka terkejut. Sultan Hadiwijaya, yang tampaknya sedang tidur dengan tenang, justru menyambut mereka dengan tatapan tajam dari matanya yang tak terlihat. Gerakan-gerakan mereka yang hendak menyambar tubuhnya tak membuahkan hasil. Tiap serangan yang datang, baik dari keris Setan Kober yang terhunus maupun serangan tangan kosong, terhenti sebelum mengenai tubuh Sultan. "Apakah kalian tidak tahu, bahwa aku dilindungi oleh kekuatan yang lebih besar daripada apa yang kalian percayai?" suara Hadiwijaya terdengar begitu dalam dan penuh wibawa, meskipun ia masih terbaring di atas ranjang. Satu demi satu, serangan para pendekar itu dipatahkan. Mereka merasakan seolah tubuh mereka dihantam angin yang sangat kencang, meskipun tak ada pergerakan yang terlihat. Keris Setan Kober yang semula berkilau tajam itu tak mampu menembus selimut yang membalut tubuh Sultan, bahkan sehelai benang pun tidak terputus oleh senjata tersebut. Ki Gede Kentolan, yang menjadi pemimpin kelompok itu, berteriak marah. "Kita sudah disiapkan dengan segala cara, dan tak ada yang bisa menghalangi kita! Mengapa dia tidak bisa terluka?!" Namun, tanpa diduga, suara Sultan terdengar lebih keras. "Kalian bukan hanya melawan aku, tetapi juga melawan kekuatan yang jauh lebih besar, yang menjaga tanah ini dan rakyatnya." Saat itu, cahaya redup dari pelita di ruangan mulai berubah. Para pendekar merasa tubuh mereka lemas, seolah-olah ada sesuatu yang mencekam mereka dari dalam. Satu per satu, mereka terjatuh ke tanah, lemah tak berdaya. Ki Gede Kentolan pun terjatuh dengan keris Setan Kober yang terlepas dari tangannya, terlempar jauh dari jangkauan. Dengan kekuatan batinnya yang luar biasa, Sultan Hadiwijaya menahan mereka dengan tidak menggunakan kekerasan fisik, tetapi dengan kekuatan energi yang mengalir dari dalam dirinya—suatu kekuatan yang ia peroleh melalui pengajaran panjang dari para guru silat dan spiritual. Setelah beberapa saat, Sultan akhirnya bangkit dari tempat tidurnya, meskipun tampak tenang dan tidak marah. Ia mendekati Ki Gede Kentolan yang masih terbaring lemah di lantai. "Kenapa kalian mengkhianati kerajaan ini?" tanya Sultan dengan suara yang sangat dalam. "Kalian mungkin berpikir bahwa membunuhku akan mengembalikan kemuliaanmu, tetapi yang kalian lakukan hanya akan membawa kehancuran bagi kalian sendiri." Ki Gede Kentolan, yang kini tak berdaya, menatap Sultan dengan pandangan kosong. "Kami... hanya ingin... kekuatan..." "Setiap kekuatan yang diperoleh dengan cara licik akan membawa kehancuran," jawab Sultan, "Ini adalah pelajaran yang harus kalian pahami." Dengan satu gerakan, Sultan mengusir mereka dari istana tanpa memberikan hukuman yang lebih keras. Namun, ia memastikan bahwa mereka tak akan pernah mengancam kerajaan Pajang lagi. ---
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.