PPPK dan Pendidikan Swasta: Kebijakan yang Menggerus Kolaborasi, Memupuk Kesenjangan
Sekolah | 2024-11-16 23:52:12Bangsa ini terancam kehilangan lapisan masyarakat pendidikan. Kehilangan ini tercermin dalam kebijakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kebijakan ini mendorong sekolah-sekolah swasta kehilangan tenaga pengajar. Guru-guru yang lolos PPPK yang semula dari sekolah swasta harus pindah mengajar di sekolah negeri.
Keluh kesah dari sekolah-sekolah swasta meluap-luap atas kebijakan PPPK yang salah memahami membangun lingkungan pendidikan, kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru. PPPK mendorong dan memberikan peluang bagi guru honorer yang selama ini bekerja tanpa status kepegawaian yang jelas untuk mendapatkan posisi yang lebih baik.
Guru yang lolos PPPK menerima gaji yang lebih tinggi dan berbagai tunjangan, serta jaminan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan guru honorer. Namun, guru-guru yang berasal dari sekolah swasta dan lulus PPPK harus dialokasikan ke sekolah-sekolah negeri. Kesejangan dalam hal distribusi tenaga pengajar antara sekolah swasta dan negeri muncul.
Kesenjangan dalam hal distribusi tenaga pengajar pada sekolah-sekolah swasta, menciptakan kekosongan formasi pendidikan, serta seolah-olah negara ingin bersaing dengan swasta (lapisan masyarakat pendidikan) dalam membangun kualitas pendidikan di Indonesia. Masalahnya, membangun kualitas pendidikan, bukan hanya tanggung jawab negara, melainkan tanggung jawab semua lapisan masyarakat dengan status apapun.
Sekolah swasta seolah-olah bukan tanggung jawab negara, karena lembaga tersebut dikelola secara mandiri dan tidak sepenuhnya berada di bawah kewenangan negara. Paradigma ini mengekspos, gagal memahami konteks sejarah, kemiskinan gagasan perencanaan dan kekurangan dalam perencanaan strategis dalam menanggapi dinamika kebutuhan pendidikan, baik dari aspek kualitas guru, kesejahteraan guru, dan kualitas pendidikan.
Sekolah Negeri dan Swasta
Pada masa kolonial Belanda, sekolah pertama untuk anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School (ELS), didirikan pada 24 Februari 1817 di Batavia (Jakarta). Pendidikan menengah dengan durasi 3 tahun baru dimulai tahun 1860, yaitu Hogere Burger School (HBS). Meskipun beberapa anak Bumiputera akhirnya diizinkan bersekolah di ELS dan HBS, hanya bangsawan dan tokoh terkemuka yang bisa mengaksesnya, menjadikannya sangat eksklusif.
Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama membangun pendidikan untuk semua golongan. Muhammadiyah telah memulai Pendidikan sejak 1912, bahkan KH. Ahmad Dahlan telah memulai sebelum tahun itu, dan mempelopori pendidikan modern di Indonesia.
Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia berupaya memperluas akses pendidikan melalui pembangunan sekolah negeri. Dengan sistem pendidikan yang terpusat, sekolah negeri bertugas memenuhi kebutuhan pendidikan dasar hinga menengah untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang status sosial.
Tantangan geografis dan keterbatasan anggaran membuat akses pendidikan di daerah-daerah terpencil masih sulit terwujud secara merata. Sekolah swasta kemudian hadir sebagai solusi alternatif. Berkat fleksibilitas manajemen dan dukungan dari lapisan masyarakat pendidikan, sekolah swasta dapat lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat-masyarakat setempat.
Muhammadiyah saat ini memiliki 5.346 sekolah dari tingkat dasar hingga menengah, Nahdlatul Ulama memiliki 7.832 madrasah, dan Taman Siswa mengelola 129 sekolah. Peran organisasi keagamaan dan yayasan ini sangat signifikan dalam membangun arah pendidikan di Indonesia. Belum lagi organisasi keagamaan dan yayasan lainnya.
Sekolah negeri dan swasta memiliki kontribusi besar dalam membangun pendidikan di Indonesia. Pemerintah harus memastikan akses sumber daya yang setara bagi semua sekolah, sementara sekolah swasta perlu mendukung visi pendidikan nasional.
PPPK Perlu Sentuhan Baru
Kebijakan PPPK yang hanya memprioritaskan sekolah negeri memicu kesenjangan kualitas guru, karena sekolah swasta harus mengandalkan guru honorer. Hal ini memperburuk tantangan sekolah swasta, terutama di daerah berkembang, yang sudah menghadapi keterbatasan pendanaan dan kualitas tenaga pendidik.
Tanpa dukungan dari pemerintah, sekolah-sekolah di daerah berkembang harus mengandalkan biaya pendidikan atau sumangan untuk gaji guru. Gaji guru yang rendah seringkali tidak adil, apalagi jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di sekolah negeri yang telah menjadi guru PPPK. Situasi ini mendorong guru-guru tersebut untuk mendaftarkan diri menjadi guru PPPK, sehinga terjadi kekosongan guru di daerah-daerah berkembang.
Kesejangan kesejahteraan antara guru PPPK di sekolah negeri dan guru honorer di sekolah swasta dapat mempengaruhi motivasi dan kinerja guru. Menurut Abraham Maslow, salah satu motivasi seseorang untuk bekerja adalah memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Jika, kebutuhan fisiologisnya tidak terpenuhi, maka akan terganggu dalam hal proses pembelajaran.
Kebutuhan fisiologis (kesejahteraan) guru tidak terpenuhi, dapat memicu perasaan tidak dihargai, tidak sepenuhnya memberikan sentuhan kasih dan cinta saat mengajar, dan aktualisasi dalam proses pembelajaran kadang tidak dihiraukan lagi. Banyak guru-guru yang memilih mencari penghasilan tambahan di luar menjadi seorang guru, akibatnya menjadi guru bukan prioritas lagi.
Situasi PPPK perlu ada sentuhan baru, terutama dalam pendistribusian pendanaan dan guru. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kosekuensi logisnya, pemerintah memastikan ketersediaan guru baik negeri maupun swasta dengan kualitas yang sama terpenuhi.
Abdul Mu’ti yang ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) akan meninjau kembali penempatan guru yang lolos PPPK, karena banyak keluhan penempatannya yang jauh dan keluhan-keluhan sekolah swasta yang kekurangan guru.
Rencana Abdul Mu’ti ini harus di dorong dan memang penempatan guru yang lolos PPPK harus ditinjau kembali. Jika memang ingin mensejahterakan guru, maka perlu langkah-langkah kenaikan gaji guru melalui sertifikasi seperti pada tulisan saya sebelumnya. Jika memastikan kualitas guru, tentu salah satu caranya, yaitu dengan sertifikasi berkelanjutan.
Abdul Mu'ti menyadari dampak dari kebijakan PPPK yang fokus pada sekolah negeri, yang menyebabkan kesenjangan besar. Jika kebijakan ini terus berlanjut dan tidak mendukung pernyataan Mendikdasmen terbaru, akan ada keterbatasan guru kompeten di sekolah swasta, ketimpangan kesejahteraan guru, perpindahan guru ke sekolah negeri, kekurangan tenaga pendidik di sekolah swasta, kesenjangan kualitas pendidikan, masalah finansial yang terus-menerus, dan penurunan persepsi masyarakat terhadap sekolah swasta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.