Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Badai di Toko Buku

Sastra | 2024-11-15 19:44:24
Sumber foto: Canva

Aroma kertas baru bercampur wangi kopi dari kedai seberang jalan mengisi ruangan Toko Buku Sejati sore itu. Cahaya matahari yang mulai meredup menerobos lewat jendela kaca besar, menciptakan bayangan panjang dari rak-rak buku yang berjajar rapi. Di sudut ruangan, sebuah kipas angin tua berputar pelan, menimbulkan suara dengung halus yang berirama dengan detik jam dinding.

Jam dinding tua di Toko Buku Sejati menunjukkan pukul 16.30. Rina menghela napas panjang sambil menata buku-buku yang baru datang. Debu-debu halus berterbangan di bawah sinar matahari senja yang menyusup masuk, menari-nari seperti mengejek kegelisahan hatinya. Sudah dua minggu sejak toko buku keluarganya mengalami penurunan penghasilan drastis akibat maraknya toko buku digital. Hari ini adalah batas waktu pembayaran cicilan bank, dan ia masih belum tahu harus mendapatkan uang dari mana.

Di luar, awan kelabu mulai bergulung-gulung di langit Jakarta. Suara gemuruh petir sayup-sayup terdengar dari kejauhan, seolah menjadi pengiring symphony kegelisahan yang berkecamuk dalam dada Rina. Beberapa daun kering tersapu angin, berputar-putar di depan pintu kaca toko.

"Selamat sore," sapa seorang pria paruh baya yang masuk ke toko, membawa serta aroma hujan yang mulai turun rintik-rintik. Rina memaksakan senyum ramah, meski hatinya sedang kacau.
"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mencari buku tentang memulai bisnis dari nol. Anak saya baru di-PHK, dan dia butuh inspirasi untuk bangkit."
Mendengar kata 'PHK', hati Rina berdesir. Udara lembab yang menyelimuti toko terasa semakin menyesakkan. Ia teringat bagaimana ayahnya yang dulu bekerja sebagai manajer bank, juga terkena PHK lima tahun lalu. Saat itulah mereka memutuskan membuka toko buku ini dengan uang pesangon. Toko yang kini di ambang kebangkrutan.
"Mari, Pak. Saya antar ke bagian bisnis dan motivasi," Rina mengantar pelanggan itu sambil menahan air mata yang mulai menggenang.

Pukul 17.00. Hujan mulai turun lebih deras, menciptakan melodi staccato di atap toko. Suara gemericik air dari talang yang tersumbat menambah orkestra senja yang sendu. Seorang gadis remaja masuk dengan wajah kusut, membawa tetes-tetes air di ujung rambutnya. Sepatunya yang basah meninggalkan jejak di lantai vinyl cokelat tua. Ia langsung menuju rak novel remaja dan duduk di lantai, membaca sambil sesekali mengusap mata. Rina mengamatinya dari meja kasir. Ada yang tidak beres.
"Boleh saya duduk di sini?" tanya Rina, mendekati gadis itu. Aroma vanilla dari pengharum ruangan bercampur dengan bau hujan yang menguar dari baju si gadis.
"Oh... iya, Kak." Gadis itu buru-buru mengusap matanya.
"Saya lihat kamu sedang sedih. Mau cerita?"
"Nilai ujian saya anjlok, Kak. Padahal sudah belajar mati-matian. Orang tua pasti kecewa. Rasanya... rasanya mau menyerah saja."
Rina tersenyum lembut, suara hujan di luar menjadi latar yang menenangkan. "Kamu tahu? Dulu saya juga pernah dapat nilai merah di semua mata pelajaran saat SMA. Tapi itu bukan akhir dari segalanya."
"Benarkah? Lalu bagaimana?"
"Saya belajar bahwa kegagalan itu bukan akhir, tapi bagian dari proses. Seperti tokoh-tokoh dalam novel yang kamu baca ini. Mereka selalu menghadapi konflik sebelum mencapai ending yang bahagia."
Pukul 17.45. Petir menyambar, membuat lampu toko berkedip sejenak. Seorang wanita tua masuk dengan tertatih-tatih, payung hitamnya meneteskan air ke lantai. "Maaf, Nak. Boleh saya istirahat sebentar di sini? Hujan mulai turun, dan rumah saya masih jauh."
"Tentu saja, Bu. Mari duduk." Rina menawarkan kursi kayu jati tua di dekat kasir. Kursi itu sudah ada sejak toko pertama kali dibuka. "Mau minum teh hangat?"
"Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali." Wanita itu tersenyum, menampakkan kerutan di wajahnya yang teduh. Uap hangat mengepul dari cangkir teh, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya hujan. "Sudah 40 tahun saya mengajar, baru pensiun tahun lalu. Sekarang hidup dari pensiunan yang kecil. Tapi saya selalu bersyukur."
"Bagaimana caranya Bu, tetap bersyukur dalam kesulitan?"
"Hidup ini seperti buku, Nak. Ada bab yang menyenangkan, ada yang menyedihkan. Tapi setiap bab punya maksudnya sendiri. Yang penting bagaimana kita memaknainya."
Pukul 18.15. Hujan masih deras di luar, menciptakan tirai air yang mengaburkan pemandangan jalanan. Lampu-lampu toko mulai menyala satu persatu, berkelap-kelip memantul di genangan air. Rina menatap tiga amplop di lacinya: tagihan listrik, surat peringatan dari bank, dan surat pengunduran diri yang sudah ia siapkan. Percakapan dengan ketiga pengunjung tadi berputar dalam benaknya, berbaur dengan aroma kertas dan hujan yang memenuhi toko.
Tiba-tiba ponselnya berdering, suaranya memecah keheningan yang tercipta. Nomor tidak dikenal.
"Halo, dengan Rina dari Toko Buku Sejati?"
"Ya, benar."
"Saya dari Perpustakaan Kota. Kami tertarik dengan proposal kerjasama yang Anda kirim minggu lalu. Bisakah kita bertemu besok untuk membicarakan detail kontrak pengadaan buku?"
Rina tertegun. Proposal yang ia kirim tanpa harapan itu... diterima?
Pukul 18.30. Hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik halus dan aroma tanah basah yang menyegarkan. Rina memandang keluar jendela, melihat pelangi samar di langit senja yang mulai memerah. Ia mengambil surat pengunduran diri dari laci dan merobeknya perlahan, suaranya bergemerisik lembut di antara tetesan air yang masih turun.
"Benar kata Ibu tadi," gumamnya, sambil menghirup dalam-dalam aroma khas toko bukunya. "Setiap bab dalam hidup punya maksudnya sendiri."
Rina mengeluarkan buku catatan dan mulai menulis rencana untuk menghidupkan kembali toko bukunya. Suara pena yang bergesekan dengan kertas bercampur dengan dengung kipas angin dan tetes-tetes air terakhir dari atap. Mungkin ia bisa menambahkan pojok baca dan kafe kecil. Atau mengadakan workshop menulis untuk remaja. Atau...
Jam dinding menunjukkan pukul 18.30. Dua jam telah berlalu, membawa tiga orang asing yang tanpa mereka sadari telah menyelamatkan Rina dari badainya sendiri. Di luar, langit mulai cerah, sama seperti harapan yang kini bersemi di hati Rina. Karena terkadang, di tengah badai, yang kita butuhkan hanyalah pengingat bahwa kita tidak sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image