Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nor Fitri Amelia

Bapak dan Dua Sayapnya

Sastra | 2024-11-15 13:05:37

"Bapak! Beliin Panji sepatu baru dong!"
Panji Adinata, begitulah nama yang diberikan oleh Bapak kepada putra bungsu nya. Panji, seorang remaja berusia enam belas tahun, dengan tubuh yang tinggi serta rambut yang sedikit ikal, hidungnya yang mancung menambah karisma diwajahnya, membuat Panji menjadi lebih tampan.
Bapak sendiri adalah seorang pria tua yang hampir berumur enam puluh tujuh tahun, ia memiliki dua orang anak. Anak pertamanya bernama Arrayan Adinata, seorang remaja yang hanya berjarak satu tahun di atas adik nya, Rayan memiliki paras yang sangat mirip dengan Bapak, hingga tak sedikit orang yang mengira jika Rayan dan Bapak adalah kakak beradik, karena wajah mereka yang plek ketiplek.
Bapak dan kedua anaknya tinggal disebuah rumah kecil yang terletak tak terlalu jauh dari perkotaan, Ibu sudah meninggalkan mereka sejak Panji masih berusia tiga bulan.
Bapak yang saat itu sedang duduk melamun di kursi goyang, dikejutkan oleh si bungsu yang berteriak meminta sepatu baru.
Ia menatap anak bungsunya sambil tersenyum, "Iya, nanti ya. Sekarang bapa belum ada uang nya, sepatu yang lama dijahit aja dulu ya kalo bolong."
Panji nampak kecewa dengan jawaban Bapak, "Bapak mah selalu gitu! Giliran abang Ray yang minta sesuatu pasti selalu cepat diturutin kemauannya. Sebenarnya Panji anak bapak atau bukan sih, Pak?" Ucapnya dengan nada sedikit marah.
Bapak sedikit terkejut dengan ucapan Panji, "Kamu anak bapak, Ji. Tapi bapak bener-bener minta maaf, bapak belum ada uang sekarang, bapak usahain secepatnya beliin sepatu baru buat Panji."
Panji mendengus kesal dan berlalu meninggalkan Bapak begitu saja.
Rayan yang baru selesai mandi, sedikit bingung melihat adiknya yang berjalan dengan cepat dan sedikit menghentakkan kaki dengan lebih keras.
"Kenapa lagi Panji, Pak?" Tanya nya sambil berjalan mendekati bapak dan duduk didekatnya.
"Ya gitulah, Ray. Adik mu minta sepatu baru, tapi bapak lagi ga ada uangnya kalo sekarang. Kamu ada tabungan ga? Kalo ada, bapak pinjam dulu buat beliin adik kamu sepatu, nanti dua hari lagi bapak ganti, ya?"
Rayan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Gimana ya, Pak. Ray juga ga ada tabungan lagi, tabungan Ray yang kemaren udah habis buat bayar spp sekolah Ray sama Panji."
Bapak menghela nafas lelah, "Nyari pinjaman dimana lagi ya, Ray. Orang-orang disini udah pada ga mau pinjemin bapak uang."
Rayan berfikir sejenak lalu menatap Bapak, "Gimana kalo Rayan kerja, Pak? Rayan bisa kerja paruh waktu buat bantu bapak."
"Halah, ga usah lah. Bukan tanggungjawab kamu buat bantu keuangan keluarga. Selagi masih ada bapak, bapak bakal tetap usahain apapun buat keluarga ini, kewajiban kamu cuman belajar dan banggain bapak, itu aja."
Rayan terdiam, ia menghela nafas lelah lalu tersenyum tipis kearah Bapak, "Iya, Pak. Rayan bakal usaha buat bisa bikin bapak bangga."
Bapak ikut senyum lalu mengusap kepala putra sulungnya itu.
Hari itu berlalu dengan cepat, tidak terasa hari sekolah kembali tiba. Pagi-pagi sekali, hujan yang cukup deras mengguyur kota itu, membasahi setiap sudut jalanan.
Rayan berjalan sambil menenteng sepatu ke arah depan pintu, Bapak menatap keluar rumah dengan tatapan khawatir.
"Kenapa, Pak?" Tanya Rayan.
Bapak hanya menggeleng, tetapi masih dengan raut wajah khawatir.
Tak lama kemudian, Panji keluar dari kamar dengan mengenakan hoodie dan tas yang terlihat sangat penuh, ia berjalan dengan acuh dan langsung pergi berjalan kaki ke sekolah.
"Panji! Kamu ngapain hujan-hujanan!?" Teriak Bapak. Namun bukannya berhenti, Panji malah semakin cepat berjalan.
Bapak ingin mengejar, namun ditahan oleh Rayan. Ia menatap Bapak sambil sedikit menggeleng, "Nanti Bapak sakit." Ucapnya.
"Lebih baik Bapak yang sakit daripada adik mu." Bapak yang tak peduli, tetap pergi mengejar Panji sambil menenteng payung ditangan kanannya.
Siang pun tiba, hujan sudah mulai reda. Bapak tinggal seorang diri dirumah karna anak-anaknya yang masih berada disekolah, Bapak terlihat membawa sebuah costum badut keluar rumah.
Ia berjalan sambil memasang kepala badut yang ia bawa. Bapak berhenti didepan lampu merah dan mulai bertingkah aneh untuk menghibur orang-orang disana.
Badut penghibur, itulah pekerjaan Bapak. Rayan dan Panji tidak mengetahui angkan pekerjaan Bapak, Bapak bersikeras menutupi pekerjaan nya agar anak-anaknya tidak merasa malu mempunyai bapak yang hanya bekerja sebagai badut penghibur.
Tidak seceria keliatannya, didalam costum itu Bapak justru merasa tersiksa karena hawa panas yang mulai menyerang, tapi apapun akan ia lakukan agar bisa memenuhi keinginan kedua anaknya.
Tak terasa malam telah tiba, Bapak sudah pulang sebelum anak-anak nya tiba dirumah, bahkan saat ini Bapak sudah menyiapkan makan malam untuk mereka.
"Rayan, Panji, ayo makan dulu!" Teriaknya dari arah dapur.
Rayan yang mendengar teriakannya bergegas menghampiri dan duduk lesehan di dekat Bapak, lalu tak lama setelahnya, Panji menyusul.
Rayan menatap Bapak dengan heran, karena Bapak yang terlihat tidak seperti biasanya, "Bapak kok keliatan pucat, Bapak sakit?"
"Engga, Bapak sehat. Mana pernah Bapak sakit?" Bapak menjawab dengan sedikit tawa di akhir.
Mereka bertiga makan dengan penuh rasa syukur karena masih bisa makan malam itu.
"Pak, kapan sih Panji dibeliin sepatu?" Tanya Panji yang membuka obrolan diantara mereka ber tiga.
Bapak menatap Panji sambil senyum dengan sedikit paksaan, "Sabar ya, Ji. Uang Bapak baru kekumpul empat puluh dua ribu."
"Sebenarnya kerjaan Bapak, apa sih!? Masa ngumpulin uang seratus lima puluh aja lama banget? Panji juga udah harus bayar uang buku, Pak. Wali kelas Panji udah nagih nagih terus, malu Panji, Pak."
Rayan menatap adiknya itu dan ikut berucap, "Kamu yang sabar dong, Ji. Bapak juga udah usaha buat kita."
"Kita? Bapak usaha buat Abang aja! Setiap aku pengen sesuatu, Bapak selalu lama buat ngasih nya, tapi setiap Abang yang minta, Bapak selalu usahain secepat mungkin."
"Panji!"
"Sudah-sudah.." Bapak berusaha menengahi pertikaian antara Rayan dan Panji, "Rayan sudah cukup, memang benar apa yang dikatakan oleh adikmu. Panji, Bapak minta maaf ya belum bisa mewujudkan apa yang kamu mau, nanti Bapak cari kerja tambahan, ya.."
Panji memutar bola matanya dengan malas, "Awas aja kalo minggu depan sepatu Panji belum di beliin."
Ditengah malam, Rayan terbangun dari tidurnya karena haus. Ia berjalan kearah dapur dan meminum air dari teko, waktu ingin kembali ke kamarnya, ia melihat kamar Bapak yang sedikit terbuka.
Rayan mengintip dan masuk, ia menatap Bapak nya yang tertidur dengan wajah kelelahan, entah kenapa tangannya bergerak untuk memegang dahi Bapak.
"Panas.." Ucap Rayan ketika tangannya menyentuh dahi Bapak.
Rayan kembali ke dapur untuk mengambil kain serta air. Kain itu di basahi nya sedikit lalu ditempelkannya ke dahi Bapak, setelahnya Rayan segera pergi dari kamar Bapak dan kembali ke kamar nya untuk menyambung tidur.
Malam kembali berlalu dengan cepat. Pagi ini seperti biasa, Bapak menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, walaupun hanya nasi goreng polos, tetapi itu sangat berharga karena dimasak dengan penuh cinta dari Bapak, meskipun masih sedikit tidak enak badan, tetapi Bapak tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja didepan anak-anak nya.
Pagi itu disekolah, Panji yang baru saja datang mendapat olokan dari teman satu kelas nya — Farel, begitulah orang-orang memanggil bocah nakal itu.
"Hahaha, sepatunya minta makan! Kasih makan dong sepatunya, biar ga kebuka terus!" Begitulah bunyi ejekannya.
Dandy — salah satu teman dari Farel, ikut mengolok-olok Panji, "Iya, tuh! Kalo miskin mending ga usah sekolah daripada malu-maluin diri sendiri kaya gitu!"
Setelahnya terdengar gelak tawa dari seisi kelas sepuluh ips dua.
"Diam deh lo pada!" Panji mencoba membela diri.
"Kenapa? Emang benar kan? Lo itu cuman anak dari seorang badut penghibur! Nanti beberapa hari lagi adek gue ulangtahun, bilangin ke Bapak lo buat datang, haha!" Farel kembali berucap.
Panji mengepalkan kedua tangannya dengan kuat, "Bapak ku bukan badut!"
Farel menyunggingkan senyum, "Bukan badut gimana? Orang jelas-jelas gue liat sendiri Bapak lo di lampu merah pake costum badut!"
Bugh!
Sebuah pukulan mendarat di pipi Farel. Farel yang tidak siap sedia, langsung tersungkur akibat pukulan dari Panji.
Perkelahian panas terjadi, ini bukan lah Panji vs Farel, tetapi Panji vs tiga orang teman Farel, Panji di keroyok dan dipukuli habis-habisan. Teman-teman dikelasnya hanya melihat tanpa bisa menolong, hingga akhirnya datang salah seorang guru yang memisahkan mereka.
Sepulang sekolah, Bapak terkejut melihat wajah putra bungsu nya yang penuh dengan lebam, Panji langsung masuk ke kamar untuk menghindari pertanyaan dari Bapak.
Bapak menatap Rayan dengan tatapan penuh pertanyaan, berharap si sulung mengetahui apa yang terjadi dengan di bungsu.
"Ray ga tau, Pak. Dari tadi Ray tanya ga di jawab jawab sama anaknya." Ucap Ray sembari melepas sepatunya.
Bapak menghela nafas dan langsung berjalan menuju kamar Panji.
Tok Tok Tok
Ketukan pintu terdengar, tapi Panji enggan untuk menyahut. Hingga akhirnya Bapak masuk dengan sendirinya.
"Anak bungsu Bapak kenapa?" Tanya Bapak dengan lemah lembut sambil berjalan dan duduk di tepi kasur Panji.
Panji diam, tak menjawab pertanyaan dari Bapak.
"Ji.. Panji kenapa? Cerita sama Bapak."
Panji menatap Bapak dengan malas, "Pak, emang bener ya Bapak kerja sebagai badut penghibur?"
Sekarang giliran Bapak yang diam.
Panji tertawa garing, "Berarti emang bener apa yang dibilang temen-temen Panji di sekolah. Kenapa sih, Pak? Dari banyaknya pekerjaan, kenapa Bapak harus jadi badut!? Panji malu, Pak! Panji malu.. Sekarang temen-temen Panji udah tau kalo Panji anak dari seorang badut penghibur, pantesan ya Bapak ga pernah banyak punya uang, orang kerjaannya cuman sebagai badut penghibur."
Bapak menatap Panji dengan sorot mata yang terlihat sangat lelah, "Ji.. Bapak minta maaf.."
Panji membuang pandangannya, tak ingin menatap wajah Bapak, "Udahlah, Pak! Walau beribu kali minta maaf pun, Panji tetap bakal di ejek di sekolah, Panji benci Bapak!"
Rayan yang saat itu menguping pembicaraan dari luar, merasakan sakit yang amat mendalam ketika ia mendengar adiknya berucap seperti itu di hadapan Bapak.
Ia berlalu dari kamar Panji dan duduk di tepian kasur kamarnya, "Mulai besok, Ray ga boleh nyusahin Bapak terus."
Sore mulai berganti malam, dan malam juga berganti pagi.
"Bapak, Ray hari ini pulang telat, ya! Ada kerja kelompok hari ini." Ucap Rayan sambil berjalan keluar rumah, bersiap untuk kembali menempuh perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki, sedangkan Panji sudah pergi terlebih dulu tanpa berpamitan.
Bapak hanya mengangguk dan tersenyum, Bapak masuk ke dalam rumah setelah anak-anak nya benar-benar pergi, ia kembali mengambil costum badut dan mulai bekerja lagi.
Sebenarnya bohong apa yang dikatakan oleh Rayan, Rayan bukan ada kerja kelompok, melainkan ia bekerja di sebuah tempat makan sebagai pencuci piring, hari ini Rayan memilih untuk tidak sekolah dan fokus untuk bekerja.
Hari demi hari berlalu dengan Rayan yang jarang pergi ke sekolah dan Panji yang masih enggan berbicara dengan Bapak.
Hari yang panas menjadi saksi bisu perjuangan Bapak untuk mencari nafkah dan menghidupi kedua anaknya. Tengah hari ini, Bapak memilih untuk duduk disebuah warung makan untuk beristirahat sebentar dan memesan air es. Bapak sedang tidak mengenakan costum badut saat ini, karena baru saja dilepasnya.
"Rayan, tolong bawakan segelas air es buat bapak itu!" Perintah yang pemilik warung.
Akhirnya Rayan keluar sambil membawakan segelas air es untuk Bapak yang sedang duduk di depan warung.
"Silahkan, Pak.."
"Rayan!?"
Rayan dan Bapak sama-sama terkejut, Rayan gelagapan memikirkan alasan yang pas untuk meyakinkan Bapak.
"Rayan apa yang kamu lakukan disini!? Siapa yang menyuruhmu untuk bekerja!? Pantas saja guru mu bilang kalo kamu jarang pergi ke sekolah, jadi ini alasan kamu tidak sekolah? Kamu pamit ke Bapak untuk sekolah, tapi apa? Kamu malah bekerja seperti ini." Ucap Bapak dengan nada yang sedikit marah.
"Anu.."
"Bapak ga habis fikir sama kamu, kan udah Bapak bilang kamu jangan kerja, Ray. Biar Bapak aja, selagi Bapak masih ada, kerja ga jadi kewajiban kamu."
Rayan menunduk, "Maaf, Pak.."
Bapak menghela nafas, ada perasaan marah dan kecewa terhadap si sulung, tetapi ia tak bisa menutupi kesedihannya di depan Rayan.
"Sudah, ayo kita pulang."
Rayan hanya bisa menurut untuk saat ini, sepanjang perjalanan menuju rumah, Bapak hanya diam dan tidak berbicara sepatah kata apapun, begitu juga dengan Rayan yang merasa bersalah.
Sore pun tiba, Panji pulang dengan wajah yang masam. Ia menatap sinis ke arah Bapak yang sedang duduk di kursi goyang sambil menjahit sarungnya yang sobek.
"Pak, mana uang buat bayar buku? Hari Senin udah terakhir pembayaran, kalo ga bisa beliin Panji sepatu, setidaknya Bapak ada uang buat bayar buku Panji."
Bapak mengangguk-angguk, "Iya, ada kok uangnya, nanti kamu bayar, ya.."
Panji hanya berdehem singkat dan langsung masuk ke kamar.
Sementara itu di kamar Rayan, Rayan sedang sibuk menghitung pecahan uang dua ribu an dan lima ribuan yang telah iyaa tabung beberapa hari ini.
"Tujuh puluh sembilan.. Aduh tanggung banget padahal seribu lagi delapan puluh." Ucapnya pada dirinya sendiri.
Rayan memegang uangnya lalu tersenyum, "Tapi gapapa deh, ini juga udah cukup buat beliin Bapak baju koko, meskipun cuman yang harga lima puluh ribuan sih.. sisa nya bisa buat beliin Bapak kue yang kecil."
Besok adalah hari ulangtahun Bapak, dan Rayan berencana untuk membelikan Bapak sesuatu. Rayan menyimpan uangnya di dalam saku celana, lalu ia pergi ke kamar sang adik, pintu kamar Panji tidak tertutup, jadi Rayan langsung masuk tanpa permisi.
"Ji, besok Bapak ulangtahun. Bantu Abang buat meriahin ulangtahun Bapak, ya? Walaupun cuman satu kue kecil, tapi setidaknya besok jadi momen yang berkesan buat Bapak."
Panji memilih acuh dan fokus pada PR nya yang belum selesai, "Waktu Panji ulangtahun juga Bapak ga pernah ngasih apa-apa, Bang. Ngapain Panji harus cape cape meriahin ulangtahun Bapak?"
Rayan menepuk pundak saudaranya itu, "Mungkin, Bapak waktu itu ga ada uang, Ji. Kamu tau sendiri, Bapak itu udah tua, susah buat cari uang, jadi kita sebagai anak Bapak, harus bikin Bapak senang dihari ulangtahun nya.."
Panji menghela nafas, "Terserah."
Rayan tersenyum dan langsung pergi dari kamar Panji.
Keesokan harinya, seperti yang sudah di rencanakan oleh Rayan, ia membawa Bapak dengan posisi mata Bapak yang sudah ditutup dengan kain hitam.
"Aduh, Ray. Mau dibawa kemana ini, Bapak?"
"Ikut aja, Pak."
Rayan membawa Bapak kebelakang rumah, di sana sudah ada Panji yang memegang kue kecil dengan raut wajah terpaksa.
Rayan membuka tutup mata Bapak ketika sudah sampai ditujuan.
"Happy birthday to you.."
Suara Rayan mulai mengalun dengan merdu, menyanyikan lagu Happy Birthday untuk Bapak. Panji mendekat ke arah Bapak sambil membawa kue yang sudah dibeli oleh Rayan sebelumnya.
Bapak tersenyum dan sedikit meneteskan air mata, Bapak meniup lilin dan merentangkan kedua tangan untuk memeluk anak-anaknya.
Rayan langsung memeluk dan mencium Bapak, "Selamat ulangtahun, Bapak.. Maafin Rayan soal kejadian kemaren, ya.. Maaf juga kalo Ray belum bisa jadi anak yang ngebanggain Bapak.. Makasih ya, Pak, karena udah ngerawat Ray sama Panji sampai sebesar ini, makasih banyak, Bapak.. Ray sayang banget sama Bapak."
Bapak mencium pucuk kepala Rayan dengan air mata yang terus mengalir, "Bapak juga sayang banget sama Ray."
Panji masih berdiam diri ditempat, ia sedikit gengsi untuk sekedar memeluk Bapak. Bapak melirik ke arah Panji dan mengisyaratkan untuk mendekat, Panji menghela nafas dan mendekat untuk di peluk Bapak.
"Bapak sayang banget sama kalian berdua, maafin Bapak ya kalo belum bisa jadi yang terbaik buat kalian, maafin Bapak juga belum bisa bahagiain kalian.." Setelahnya, Bapak langsung mengecup kepala kedua anak remajanya.
Selang berpelukan sekitar lima menit, tubuh Bapak mulai melemah, Rayan yang merasakan nya langsung menahan tubuh Bapak agar tidak jatuh.
Hembusan nafas Bapak tak lagi terasa, "Pak.. Kalo Bapak ngantuk, tidur aja dulu di kamar.."
Hening dan tak ada sahutan, Panji juga merasakan hal yang serupa, tangan Bapak tak lagi kuat memeluknya, Panji keluar dari pelukan Bapak, begitu juga dengan Rayan, namun keduanya masih memegang erat badan Bapak.
"Pak.." Rayan kembali memanggil.
Tubuh Bapak mulai terasa dingin, Rayan semakin panik dibuatnya, ia mendekatkan jarinya kebawah hidung Bapak untuk mengecek nafas nya, setelah tidak merasakan hembusan nafas, Rayan kembali berpindah mengecek nadi dipergelangan tangan Bapak.
"Innalilahi.."
Seketika, tangisan Rayan pecah. Hari itu, tepat dimana hari yang harusnya menjadi hari bahagia, malah berubah menjadi hari berduka.
Bapak meninggal, tepat di pelukan kedua anaknya.
Panji tak berkutik, ia diam ditempat sambil melamun memandangi Bapak yang sudah tertutup dengan kain kafan.
"Bapak.. Jangan tinggalin Ray sama Panji, Pak.. Bapak belum sempat pake baju koko yang Ray beliin.."
Suasana duka menyelimuti keluarga itu, kepergian Bapak membuat Rayan sedikit terpukul, Panji juga menjadi lebih banyak diam setelah kepergian Bapak.
Hari demi hari berlalu, Rayan masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Bapak, ia masuk ke kamar Bapak untuk melihat-lihat barang Bapak lagi.
Rayan membuka lemari dan menemukan sebuah kotak yang lumayan besar disana, ia membuka kotak itu dan melihat didalamnya berisi dua buah kotak kecil lagi, Rayan membuka salah satu kotak dan didapati nya sepucuk surat yang ditulis di selembar kertas kecil.
Panji.. Ini sepatu baru buat Panji.. Maafin Bapak ya kalo sepatunya ga seperti apa yang kamu pengen.. Maafin Bapak kalo sering bikin kamu kecewa, Panji anak Bapak yang hebat. Bapak bangga punya anak kayak Panji dan abang Ray, terus tumbuh jadi anak yang kuatnya, Panji.. Jangan sering berantem sama abang nya, soalnya nanti kalo Bapak udah ga ada, yang jagain Panji itu abang Ray.. Panji boleh kok benci Bapak, Bapak gapapa kalo Panji harus benci sama Bapak, tapi satu hal yang harus Panji tau, walaupun Panji benci sama Bapak , tapi Bapak tetap sayang banget sama Panji.Sehat selalu, bungsu kecil nya Bapak..
Air mata Rayan kembali mengalir deras, ia membuka kotak satunya lagi dan ditemukannya sebuah buku novel dan sepucuk surat lagi disana.
Ini untuk abang Ray..Bapak ingat, abang Ray pernah minta novel kan, ya? Bapak ga tau abang Ray suka cerita apa, jadi Bapak belikan sembarang :) Maaf kalo abang Ray ga suka sama ceritanya..Abang jangan sering marahin adek nya, ya.. Bapak tau, abang Ray kesal karna adek yang semena-mena sama Bapak, tapi itu juga karna kesalahan Bapak yang ga bisa bahagiain kalian..Bapak minta maaf kalo Bapak banyak salah, ya.. Nanti kalo Bapak udah ga ada, jagain adeknya bener-bener ya, jangan sampe adek disakitin sama orang, abang juga harus bener-bener jaga diri sendiri, abang anak kuat, abang anak hebat.Tetap tumbuh sebagai anak yang kuat, ya. Abang Arrayan Adinata..Bapak sayang banget sama anak sulung Bapak ini..
Tangis Rayan semakin menjadi, hingga Panji datang menghampiri ke kamar Bapak.
"Kenapa lagi sih, Bang? Ikhlasin aja dong Bapak. Berisik tau ga tangisan Abang itu." Ucap Panji yang berdiri di depan pintu kamar Bapak.
Rayan menatap Panji dan berjalan sambil membawa sebuah kotak sepatu beserta suratnya.
"Ini, Bapak beliin buat kamu."
Panji bingung, ia segera mengambil kotak itu dan mulai membaca suratnya. Setelah membaca surat itu, seketika Panji menangis dengan kencang nya, ia terduduk di depan kamar Bapak sambil menangis tersedu-sedu.
"Bapak.. Maafin Panji, Pak.. Panji nyesel pernah ngomong kalo Panji benci Bapak.. Maafin Panji, Pak.." Ucapnya dengan nada sedikit berteriak sambil menangis.
Rayan hanya bisa memeluk si bungsu sambil menenangkannya dari tangis.
Ya.. Begitulah. Kadang, sesuatu akan sangat berarti jika ia sudah tiada, jadi hargailah sesuatu selagi masih ada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image