Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ressy Nisia

Kejar Pajak Kendaraan Sampai Rumah: Inkompatibel Sistemik?

Info Terkini | 2024-11-15 09:51:17
Foto : pajak.com

“You don’t pay taxes, they take taxes” –Chris Rock-

Nampaknya ungkapan tersebut tepat untuk mengilustrasikan “jemput bola” pajak kendaraan di Indonesia saat ini. Beberapa waktu ini publik diramaikan terkait adanya pengejaran penunggak pajak kendaraan sampai rumah.

Dilansir Detik.com ( 7/11/2024), dari total 165 juta unit kendaraan terdaftar, separuhnya tidak membayar pajak. Diungkap Kakorlantas Polri Irjen Pol Aan Suhanan, untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat membayar pajak, tim Pembina Samsat akan mendatangi rumah pemilik kendaraan.

“Pendekatan soft power artinya kita akan proaktif kepada pemegang kendaraan bermotor dengan mendatangi rumah-rumah door to door untuk mengingatkan pengguna sepeda motor ini ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi salah satunya membayar pajak dan yang terpenting pengesahan STNK untuk validitas data kendaraan bermotor yang ada di kepolisian “ jelas Aan dikutip laman Korlantas Polri.

Kewajiban membayar pajak kendaraan tercantum dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 4, wajib pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor.

Namun peraturan tersebut kontradiktif dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2024 tentang PPnBM atas impor dan atau penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu yang ditanggung pemerintah tahun anggaran 2024. (CNBC, 21/2/2024)

Besaran pajak yang ditanggung pemerintah mencapai 100 persen. Artinya selama kurun waktu Januari-Desember 2024, pembelian mobil listrik tidak dikenakan PPnBM.

Komparasi atas dua fakta tersebut merefleksikan kebijakan pemerintah, pajak khususnya, tajam ke bawah tumpul ke atas.

Polemik Sistemik Pemalakan Pajak (Jibayah)

Berdasarkan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pihak pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fungsi pajak meliputi fungsi anggaran (budgeting), fungsi mengatur (regulated), fungsi stabilitas dan fungsi redistribusi.

Dalam negara yang menganut ideologi sekularisme-kapitalisme, pajak merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara yang menentukan kebijakan fiskal, anggaran belanja negara hingga pendistribusian anggaran demi tercapainya stabilitas anggaran negara.

Dengan utang luar negeri Indonesia per Agustus 2024 mencapai 425,1 miliar dolar AS atau setara Rp 8.461,93 triliun, mau tidak mau negara perlu menggenjot penarikan pajak sebagai salah satu pendapatan utama negara untuk mencicil utang luar negeri tersebut.

Namun sangat disayangkan penarikan pajak tersebut dirasa “pilih kasih”. Rakyat kecil yang hanya mampu membeli sepeda motor dikejar sampai rumah demi menunaikan kewajiban pajak. Padahal selama ini rakyat sudah sangat dibebani oleh serangkaian pajak baik itu benda maupun jasa.

Sementara kaum kapitalis (pemilik modal) mengimpor mobil listrik bebas dari pungutan pajak.

Sebetulnya hal ini bukanlah hal yang tabu, mengingat negara kita menganut ideologi sekularisme-kapitalisme dimana penerapan ideologi ini khas dengan pemisahan agama dari kehidupan dengan tujuan perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam hal ini, para kapitalis mendapat keuntungan pembebasan pajak atas barang mewah. Tidak hanya itu, para kapitalis dimanjakan dengan serangkaian instrumen keringanan pajak seperti tax amnesty (penghapusan denda keterlambatan pajak), insentif pajak dan fasilitas perpajakan-kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Reformasi Sistem Ekonomi

Polemik pajak tidak bisa diselesaikan kecuali dengan solusi mendasar atau fundamental. Perlu reformasi sistemik untuk merunut kembali base building (bangunan dasar) penyusunan anggaran.

Faktanya kebijakan anggaran pada negara kapitalistik tidak memberikan jaminan kesejahteraan pada rakyat tetapi malah membebani rakyat. Kondisi defisit kas negara akibat cicilan utang negara yang membengkak dan mengguritanya korupsi, harus dibebankan pada rakyat dengan serangkaian pungutan pajak.

Hal ini tentu mengkhianati kewajiban negara, dimana seharusnya negara berperan sebagai pengurus (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyat.

Rasanya mustahil menyandarkan kesejahteraan rakyat pada sistem sekularisme-kapitalisme, dimana serangkaian kebijakannya dianggap tidak pro rakyat dan menguntungkan kaum kapitalis.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, APBN dibentuk secara syariah, dimana pendapatan dan pengeluaran negara wajib dalam rel Islam. Sistem ekonomi Islam bertujuan untuk memperoleh keberkahan, mensejahterakan rakyat dan memberikan keadilan pada rakyat.

Dalam sistem ekonomi Islam, BUMN dijadikan sebagai pengelola pendapatan dari kepemilikan umum, tidak diberikan kepada individu, swasta dalam negeri, asing maupun aseng. Sehingga dari pengelolaan aset dan SDA, negara memperoleh hasil maksimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selain dari kepemilikan umum, Islam memiliki pendapatan dari kepemilikan negara berupa jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, ‘usyur, 20% rikaz, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad serta berbagai lahan dan bangunan milik negara.

Pengeluaran anggarannya pun digunakan untuk menjamin kebutuhan primer individu rakyat (sandang, pangan, papan), dan primer kolektif (pendidikan, kesehatan, keamanan).

Islam menjalankan ekonomi riil tanpa riba dan menggunakan emas dan perak sebagai mata uang untuk menghindari inflasi.

Dengan kebijakan pemasukan dan sumber-sumber pendapatan negara tersebut Islam tidak menjadikan pajak sebagai instrumen utama pendapatan negara.

Pungutan (dzarabah) dalam Islam hanya diperbolehkan syariah dalam 4 kondisi: 1. Bersifat temporal ketika Baitul Maal kosong atau tidak mencukupi kebutuhan; 2. Dalam rangka memenuhi kebutuhan syar’i negara dan kaum muslimin secara umum; 3. Dipungut hanya dari kaum muslimin; 4. Dipungut dari warga yang mampu yang telah memenuhi kebutuhan primernya.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw, yang diriwayatkan Abu Daud dan Daruquthni, “Tidaklah halal mengambil hak/harta orang muslim, kecuali dengan kerelaan orang tersebut".

Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image