Jembatan Menuju Mimpi
Sastra | 2024-11-12 19:05:19Fajar masih enggan menampakkan diri ketika Rika sudah bersiap dengan seragam putih abu-abunya. Di depan cermin kusam yang tergantung di dinding bambu rumahnya, ia merapikan dasi yang sedikit miring. Cermin itu, seperti hidupnya, penuh goresan namun masih bisa memantulkan harapan.
"Rika, sudah siap, Nak?" suara serak ibunya terdengar dari dapur yang hanya berjarak dua langkah dari kamarnya.
"Sudah, Bu," jawab Rika sambil menyelempangkan tas lusuhnya.
Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah hampir dua minggu absen. Bukan karena sakit atau malas, tapi karena harus membantu ibunya berjualan kue keliling setelah ayahnya terbaring sakit. Uang tabungan keluarga mereka sudah habis untuk biaya rumah sakit, dan kini giliran biaya sekolahnya yang terancam tidak bisa dibayar.
Di tengah perjalanan menuju sekolah, Rika berhenti sejenak di depan warung untuk membeli sebungkus nasi. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk makan siang nanti. Ia tak ingin merepotkan ibunya yang sudah harus bangun dini hari untuk membuat kue.
"Rika! Tunggu!"
Suara familiar itu membuat Rika menoleh. Rani, sahabatnya sejak SD, berlari kecil menghampirinya.
"Kamu akhirnya masuk juga! Aku kangen banget tau," Rani memeluknya erat. "Gimana keadaan ayahmu?"
Rika tersenyum tipis. "Sudah lebih baik, tapi masih belum bisa kerja."
"Terus... sekolahmu gimana? Kata Bu Hartini kemarin, kalo sampai akhir bulan ini belum bayar SPP..."
"Iya, aku tau," potong Rika. Matanya menerawang ke arah gedung sekolah yang mulai terlihat di kejauhan. "Tapi aku pasti bisa nyelesaiin ini semua."
Di kelas, Rika berusaha fokus pada pelajaran meski pikirannya kerap melayang pada tumpukan tagihan di rumah. Saat istirahat, ia mengeluarkan buku sketsanya - satu-satunya harta berharga yang ia miliki, hadiah ulang tahun dari ayahnya tahun lalu.
"Wah, gambarmu makin bagus aja!" puji Rani yang mengintip dari balik bahunya. "Kamu masih inget kan cita-citamu jadi ilustrator?"
Rika mengangguk pelan sambil melanjutkan coretan pensilnya. Sejak kecil, ia memang bermimpi menjadi ilustrator buku anak-anak. Setiap malam, setelah membantu ibunya berjualan, ia selalu menyempatkan diri untuk menggambar, berlatih, dan belajar dari tutorial di ponsel pinjaman dari sepupunya.
Suatu hari, saat sedang berjualan kue bersama ibunya, Rika melihat pengumuman lomba desain maskot untuk festival kota yang akan diadakan bulan depan. Hadiah utamanya cukup untuk membayar tunggakan sekolah dan biaya pengobatan ayahnya.
Tanpa pikir panjang, Rika mendaftarkan diri. Setiap malam, ia mencuri waktu di antara tugas sekolah dan membantu ibunya untuk mengerjakan desainnya. Kadang ia harus menggambar di bawah cahaya lilin ketika listrik rumahnya diputus karena tunggakan.
"Kamu yakin bisa menang?" tanya ibunya suatu malam, melihat Rika yang masih berkutat dengan sketsanya meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Harus bisa, Bu," jawab Rika mantap. "Ini bukan cuma soal lomba. Ini soal mimpi kita semua."
Hari pengumuman pemenang tiba. Dengan jantung berdegup kencang, Rika berdiri di antara peserta lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa seni atau desainer profesional. Rika hampir menyerah saat melihat karya-karya pesaingnya yang begitu bagus.
"Dan pemenang lomba desain maskot Festival Kota tahun ini adalah..."
Rika memejamkan mata, tangannya menggenggam erat sketsa yang telah ia kerjakan dengan sepenuh hati.
"...Rika Pratiwi dengan karyanya 'Semangat Kota'!"
Air mata Rika mengalir deras saat menerima piala dan amplop berisi hadiah uang. Juri mengatakan bahwa karyanya terpilih karena memiliki keunikan dan makna mendalam - sebuah maskot yang menggambarkan semangat pantang menyerah warga kota dalam menghadapi berbagai kesulitan.
"Ternyata hambatan bisa jadi jembatan ya, Bu," kata Rika pada ibunya malam itu, sambil memandangi piala yang berkilau di atas meja makan mereka yang sudah reyot.
Ibunya tersenyum haru. "Kamu benar, Nak. Kalau bukan karena kesulitan kita, mungkin kamu ga akan sekuat dan sepandai sekarang."
Sejak itu, hidup Rika perlahan membaik. Kemenangannya dalam lomba membuka banyak kesempatan. Ia mulai menerima pesanan ilustrasi dari penerbit-penerbit kecil, dan dengan penghasilan tambahannya, ia bisa membantu pengobatan ayahnya sampai sembuh total.
Kini, setiap kali Rika melihat cermin kusam di kamarnya, ia tidak lagi melihat goresan-goresan sebagai tanda kemalangan. Baginya, goresan-goresan itu adalah peta menuju mimpinya - sebuah pengingat bahwa kadang-kadang, hambatan yang kita hadapi justru menjadi jembatan yang mengantarkan kita pada impian yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.